Google

Thursday, January 17, 2008

Perlu Dirancang Pola Kerjasama ABG untuk Menangani Masalah Rawan Pangan di Indonesia





Topic : Government

Cukup banyak berita yang menakutkan dalam beberapa minggu terakhir ini menyangkut Ketahanan Pangan Bangsa Indonesia. Pengalaman manis sebagai negara swasembada beras pada 1984 dan swasembada kedelai tahun 1992 kini tinggal kenangan. Gara-gara kelengahan kita semua maka kita lupa untuk mempertahankan ketahanan pangan itu. Kini tampaknya sudah terlambat karena harga kedelai dunia sudah meroket, begitu pula harga terigu. Akibatnya penjual roti, mi, tahu dan tempe kelimpungan. Belum lagi stok beras yang terancam akibat banjir dan bencana alam lainnya.

Apa yang kiranya bisa kita lakukan melalui kerjasama ABG (Academic, Business, Government) untuk mengatasi masalah ketahanan pangan/rawan pangan bangsa ini ?

Silakan berikan komentar Anda melalui blog ini.

Berikut beberapa berita terkait :

"RI Makin Tergantung Impor Kedelai"By Lahyanto Nadie
Bisnis Indonesia, Selasa , 15 Januari 2008

Penurunan bea masuk impor kedelai hingga 0% pun tidak akan secara signifikan menurunkan harga kedelai di pasar dalam negeri, bahkan Indonesia akan makin bergantung pada impor.

"Dalam jangka pendek kebijakan ini akan sedikit menurunkan harga kedelai karena bea masuk selama ini hanya 10%. Namun yang harus diwaspadai adalah makin bergantungnya kita pada impor," kata Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ilmu Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) Rina Oktaviani di Bogor hari ini.

Dia mengemukakan ketergantungan terhadap impor ini sangat berbahaya karena kedelai merupakan bahan pangan penting bagi bangsa Indonesia dan dikonsumsi dalam berbagai bentuk seperti tempe, tahu, kecap.

Sekarang ini saja, lanjut dia, sekitar 70% kedelai diimpor dan 60% di antaranya berasal dari Amerika Serikat (AS).

Pasok kedelai dari AS dikabarkan menurun karena konversi lahan kedelai menjadi jagung untuk produk biofuel. Harga kedelai di pasar internasional ini cenderung terus meningkat karena pasok yang makin terbatas.

Menurut dia, yang perlu segera dirumuskan oleh pemerintah adalah pemberian insentif untuk petani baik berupa kemudahan memperoleh sarana produksi seperti pupuk dan benih berkualitas, pemberian kredit permodalan, bantuan pengolahan dan teknologi, untuk merangsang peningkatan produksi dalam negeri.

"Di negara manapun, sektor pertanian itu selalu didukung [pemerintah], karena tingginya faktor risiko, `grace period` lama, dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak," katanya.

Dia mengakui kedelai lokal tidak menguntungkan bagi pengusaha karena harganya lebih tinggi dibanding kedelai impor. "Pada 2000 saja selisih harga antara kedelai lokal dan impor mencapai Rp1.016 per kg."

Rina Oktaviani juga menyinggung hambatan bagi pengusaha untuk memperoleh kedelai lokal di antaranya biaya transportasi yang mahal dan tingginya pungutan dari daerah produsen, baik yang resmi maupun pungutan liar.

"Pengusaha lebih mudah membeli kedelai dari AS daripada mendatangkan dari daerah," katanya.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan pemerintah memutuskan untuk menurunkan bea masuk impor kedelai hingga 0% untuk mengatasi lonjakan harga yang dipicu oleh naiknya harga kedelai impor hingga 100%.

Sejak 1998, impor kedelai Indonesia terus meningkat seiring dengan kebijakan Pemerintah untuk membuka kran impor, sementara luas areal penanaman makin merosot.

Impor kedelai yang hanya tercatat 394.000 ton pada 1998 melonjak menjadi 1,3 juta ton pada 1999 dan pada 2005 hingga 2006 impor rata-rata mencapai 1,2 juta ton.

Produktivitas kedelai lokal juga masih rendah rata-rata 1,3 ton per hektar, sementara rata-rata produktivitas dunia lebih dari 2 ton per hektar.

Indonesia pernah mengalami swasembada kedelai pada 1992 dengan produksi sekitar 1,8 juta ton.(ln)



"Kondisi Pertanian Kacau-balau"
Krisis Kedelai Bisa Memunculkan Ketidakpercayaan Rakyat kepada Pemerintah


Kompas, Kamis, 17 Januari 2008

Apa yang ditakuti bangsa ini benar-benar terjadi. Harga dan pemenuhan kebutuhan pokok warga yang berbasis pertanian sudah didikte bangsa lain. Ketika harga kedelai di pasar dunia naik, misalnya, Pemerintah Indonesia tak kuasa menahan laju kenaikan harga kedelai di dalam negeri.

Guru besar Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin saat dihubungi di Australia, Rabu (16/1), mengungkapkan, ketergantungan pangan bangsa ini sesungguhnya tengah berlangsung.

"Dulu pemerintah masih bisa membantah tidak ada ketergantungan pangan, tetapi kini terbuka satu per satu ketika harga kedelai di pasar dunia liar," katanya.

Gejolak harga yang terjadi pada kedelai di pasar dunia baru permulaan saja karena sesungguhnya persoalan yang sama akan menimpa komoditas lain. Setelah harga kedelai melonjak, disusul tepung terigu. Selanjutnya kenaikan harga bungkil kedelai sebagai bahan baku pakan ternak. Padahal, industri pakan ternak memproyeksikan kebutuhan bungkil kedelai 2008 sebanyak 1,6 juta ton.

Harga bungkil kedelai per Oktober 2007 naik 50,6 persen atau Rp 4.293/kg dari harga November 2006 sebesar Rp 2.850/kg.

Naiknya harga bungkil kedelai akan mendorong kenaikan harga pakan ternak, yang pada gilirannya mendorong kenaikan harga daging ayam dan telur. Menyusul komoditas jagung yang juga bakal terus naik. Naiknya harga jagung memperparah industri peternakan. Peternakan rakyat di sektor empat dan lima menghadapi tantangan berat.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, yang juga Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, menyatakan persoalan kelangkaan kedelai terjadi karena dua faktor.

Pertama, kondisi pertanian di Indonesia memang kacau-balau karena pemerintah tidak memiliki kebijakan memadai. Kedua, ketergantungan pada impor tidak dipersiapkan dengan baik dan disesuaikan siklus kebutuhan.

"Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan terbukti tidak ada koordinasi baik di dalam kabinet," katanya.

Penasihat Senior Pertanian dan Studi Kebijakan (CAPS) HS Dillon mengatakan, kemelut kedelai dan bahan pangan lainnya menunjukkan pemerintah tidak memiliki wawasan jangka panjang dalam kebijakan pertanian. "Pemerintah harus mengubah paradigma pertanian, ciptakan kedaulatan pangan. Jangan seolah-olah memahami masalah, tetapi masalah pertanian bertambah buruk," kata Dillon.

Mantan Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan Rizal Ramli menyatakan, kemelut perekonomian saat ini seolah mengulang krisis ekonomi pada tahun 1997 hingga 1998. Ketika itu harga beras melonjak 100 persen.

Gejolak perekonomian tahun 1998 itu berdampak hilangnya kepercayaan rakyat pada pemerintah yang ditandai kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998.

Produksi terus merosot

Kegagalan pembangunan pertanian mulai tampak dari produksi kedelai yang terus merosot. Tahun 1992 produksi kedelai masih tinggi, 1,8 juta ton. Tahun 1999 merosot menjadi 608.263 ton.

Contoh lain dari rentannya ketahanan pangan bangsa Indonesia tampak pula pada tepung terigu, sayur-mayur, gula pasir, telur, daging ayam, daging sapi, susu.
Sebagai contoh, tahun 2006 harga jagung dalam negeri Rp 950 per kg di tingkat petani. Tak lama berselang harga jagung dunia naik dari 135 dollar AS per ton menjadi 270 dollar AS per ton pada posisi Oktober 2007. Akibatnya, harga jagung lokal terdongkrak menjadi Rp 2.450 per kg.

Kenaikan harga jagung mendorong kenaikan harga telur, ayam pedaging, daging sapi, dan susu. Sebab, jagung merupakan komponen utama (51,4 persen) pakan unggas dan merupakan makanan berprotein sapi perah.

Nasib minyak goreng berbeda. Meski produksi minyak sawit mentah (CPO) melimpah, pemerintah tak mampu meredam kenaikan harga minyak goreng dalam negeri yang terseret tingginya harga CPO dunia.

Gula pasir dalam negeri juga rentan. Ketika harga gula melonjak, pemerintah buru-buru mengimpor gula kasar dan rafinasi, tanpa ada kemauan keras mencukupi kebutuhan gula sendiri. Kalau soal tepung terigu tidak perlu bicara. Khusus produk makanan berbasis terigu, perut bangsa ini sudah tergadaikan.

Kalaupun dikatakan masih tersisa komoditas pertanian yang relatif stabil, barangkali hanya beras. Namun jangan salah, apabila harga minyak mentah dunia dan semua kebutuhan pokok naik, harga beras tak dapat dikendalikan. Biaya produksi akan naik.
Kondisi ketahanan pangan makin gawat ketika alih fungsi lahan pertanian tak bisa dikendalikan. Tahun 2003 sampai 2004 saja luas lahan pertanian menyusut 703.869 hektar dari 8.400.030 hektar menjadi 7.696.161 hektar. Penyusutan terjadi di lahan beririgasi teknis, setengah teknis, irigasi sederhana, tadah hujan, dan pasang surut.

Pandangan lain disampaikan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Ardiansyah Parman. Mengutip proyeksi Development Prospect Group Bank Dunia, Ardiansyah mengatakan, kenaikan harga komoditas pangan, termasuk kedelai, akan berlanjut, tetapi dengan tingkat kenaikan lebih moderat pada tahun 2008.
Menanggapi penilaian atas kegagalan pembangunan pertanian, Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengatakan, pemerintah menyadari ketergantungan pangan yang begitu dominan tidak baik bagi ketahanan pangan.

Ditanya tentang tidak ada kemampuan meredam harga pangan dalam negeri akibat terseret harga pangan di pasar dunia, Anton justru mempertanyakan negara mana yang kuat menghadapi gejolak kenaikan harga dunia.

"Dilema yang dihadapi pertanian, keinginan untuk memberikan insentif kepada petani yang selalu dihadapkan pada rendahnya daya beli masyarakat," katanya. (MAS/SUT/DAY/LKT)

"Penemuan : Kedelai Hitam Lebih Unggul"

Harian Kompas, Kamis, 17 Januari 2008

Malang, Kompas - Sejumlah peneliti dari Badan Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) Malang, Jawa Timur, menemukan tiga varietas unggul kedelai hitam. Tiga varietas kedelai hitam itu memiliki kelebihan dibandingkan dengan kedelai impor atau kedelai lokal yang selama ini ditanam masyarakat.

Tiga varietas unggul kedelai hitam itu adalah 9837/K-D-8-175 (rencananya diberi nama Khibar atau kedelai hitam berukuran biji besar), 9837/W-D-5-211 (rencananya diberi nama Khipro atau kedelai hitam berprotein tinggi), dan W/9837-D-6-220 (rencananya diberi nama Khilau atau kedelai hitam berkotiledon hijau). Ketiganya diteliti sejak 1998.

Keunggulan ketiganya adalah bisa menghasilkan produksi kedelai lebih banyak sekitar 18 persen dibandingkan dengan kedelai lain seperti Cikuray, Burangrang, dan Wilis.

"Bahkan, kedelai hitam ini juga lebih unggul dibandingkan dengan kedelai Mallika yang dilepas Februari 2007. Sebab, kedelai Mallika memiliki daya hasil sebanyak 2,34 ton per hektar, sedangkan kedelai hitam memiliki daya hasil 2,51 ton per hektar," tutur seorang pemulia tanaman Balitkabi yang menemukan tiga varietas baru kedelai hitam tersebut, Ir Moch Muchlish Adie MS, Rabu (16/1) di Malang. Pemulia tanaman lainnya yang turut melahirkan tiga varietas kedelai hitam tersebut adalah Gatot Wahyu AS, Suyamto, dan Arifin.

Menurut Muchlish, keunggulan tiga kedelai itu adalah ketiganya merupakan jenis kedelai besar (14 gram/100 biji kedelai) seperti yang dipakai dalam industri tahu dan tempe sekarang ini di Indonesia. Selama ini yang banyak ditanam petani di Indonesia adalah jenis kedelai sedang (10 gram/100 biji kedelai). "Kedelai ini sangat cocok dengan kebutuhan industri, baik tahu-tempe atau kecap," ungkap Muchlish.

Keunggulan lainnya, ketiganya memiliki protein tinggi, yaitu mencapai 45,58 persen. Sementara kedelai impor dan kedelai yang banyak dibudidayakan di Indonesia saat ini memiliki kadar protein 6-37 persen. "Semoga kedelai ini bisa dilepas tahun ini dan segera bisa disosialisasikan serta dikembangkan. Harapannya, bisa sedikit mengikis ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor," ujar Muchlish. (DIA)