Google

Wednesday, January 23, 2008

Artikel Bagus Minggu Lalu Yang Tak Boleh Terlewatkan

Disebabkan website Kompas (khususnya Kompas Cetak) sedang diperbarui dengan platform berbentuk blog maka sejak Sabtu, 19 Januari 2008 situsnya susah diakses dan tidak update. Padahal, ada artikel bagus dari F Rahardi, penyair yang juga pakar masalah pertanian yang layak disimak para pembaca. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tulisan tersebut dimuat ulang di blog ini.


Dari Kedelai ke Gandum dan Kapas

Opini di Harian Kompas, Sabtu, 19 Januari 2008

Topic : Government

By F Rahardi



Tanaman Rami (Boehmeria nivea)


Kita bukan hanya bangsa tempe, tetapi juga bangsa yang sangat rapuh. Kalau impor kedelai kita hanya sekitar satu juta ton, impor gandum kita kini sudah mencapai lima
juta ton per tahun. Dan baju katun kita, hampir 100 persen bahannya harus diimpor.

Kita pernah bermimpi untuk membangun industri pesawat terbang, tetapi kita lupa membuat peniti, paku payung, dan jarum. Beberapa kali pejabat kita juga mencanangkan program agropolitan, tetapi lupa menanam kedelai hingga ketergantungan perajin tahu dan tempe kita pada kedelai impor amat tinggi.

Belakangan orang Amerika Serikat malas menanam kedelai karena jagung sebagai bahan etanol harganya lebih baik. Maka, harga kedelai pun naik sampai lebih dari 100 persen.

Sebenarnya, kita bisa dengan mudah mencukupi kebutuhan kedelai yang hanya sekitar dua juta ton per tahun. Lahan pantura Jawa saat musim kemarau kering kerontang. Dengan investasi air, baik menyedot air sungai, membuat sumur dalam, maupun menampung air hujan, lahan ini bisa amat produktif menghasilkan kedelai. Tetapi, aparat pemerintah kita memang keenakan, dengan upeti dari para importir kedelai. Hingga luas lahan kedelai terus menciut.

Masih ada pula alternatif lain. Kita punya BUMN dan banyak perusahaan perkebunan swasta besar. Bekas tebangan HTI, sawit, karet, dan lain-lain bisa dimanfaatkan untuk budidaya kedelai. Tentu harus dengan paksaan, sekaligus insentif dari pemerintah.
Sebenarnya kedelai adalah soal kecil bagi pemerintah dari sebuah negara sebesar Indonesia. LSM besar kita juga lebih tertarik ke eforia politik dibanding hal yang remeh-temeh demikian.

Juga bungkil

Melambungnya harga kedelai akibat terseret kenaikan harga BBM akan berimbas amat luas bagi perekonomian rakyat Indonesia sebab kedelai juga merupakan bahan bungkil pakan ternak serta ikan. Dan kembali, kita juga amat bergantung pada bungkil impor.

Kita sebenarnya punya kecipir (Psophocarpus tetragonolobus), dan koro benguk (Mucuna pruriens) sebagai bahan bungkil alternatif, yang produktivitas serta kandungan proteinnya lebih baik dari kedelai. Tetapi, tidak pernah ada upaya dari perguruan tinggi dan balai penelitian kita untuk mengurus dua komoditas ini.

Kita juga sudah sejak lama bisa membudidayakan gandum dengan benih dari India, Pakistan, dan Meksiko. Tiga negara ini dikenal sebagai perintis gandum tropis di dunia. Selain benih impor, balai penelitian kita, juga Badan Tenaga Atom Nasional, telah berhasil menciptakan varietas unggulan. Tetapi, tidak pernah ada niat mengembangkannya secara besar-besaran. Padahal, kawasan potensial untuk budidaya gandum cukup banyak. Mulai dari Kuningan (Jabar), Kopeng (Jateng), Tengger, Ijen (Jatim), seluruh dataran tinggi di Bali, NTB, NTT, dan Sultra.

Akibatnya, impor gandum kita terus membengkak, terakhir mencapai lima juta ton dengan nilai lebih dari Rp 7 triliun.

Niat untuk mengembangkan gandum tampaknya juga terganjal kepentingan para importir. Uang mereka terlalu kuat masuk ke kantong para pengambil keputusan di negeri ini. Hingga tiap kali orang miskin Indonesia makan mi instan, sebenarnya ia sedang ikut memperkaya petani gandum di negara maju, yang sebenarnya sudah cukup kaya.

Kapas versus rami

Kita pernah bangga sebagai produsen tekstil utama dunia, sebelum dihajar RRC dan India. Tetapi, kita amat rapuh sebab hampir 100 persen kebutuhan kapas untuk industri itu harus diimpor. Mesin-mesin tekstil modern kita sudah didesain untuk memintal dan menenun benang kapas. Bukan serat nabati lain. RRC dan India adalah dua negara yang populasi penduduknya di atas satu miliar jiwa. Mereka tidak kerepotan memberi baju rakyatnya karena tidak hanya mengandalkan kapas.

Tumbuhan yang lebih hebat dari kapas adalah rami (Boehmeria nivea). Pembalut mumi Mesir kuno dan juga kain kafan Yesus berbahan serat rami. Rami bukan kenaf (Hibiscus cannabinus) dan beda dengan yute (Corchorus olitorius dan Corchorus capsularis). India dan RRC amat mengandalkan tumbuhan penghasil serat nonkapas, terutama rami. Hingga serat rami hasil dekortikasi, disebut chinagrass, sebelum di-deguming menjadi serat rami top.

Beberapa tahun lalu, saat heboh kapas transgenik, sebenarnya aktivis LSM kita sedang dibodohi eksportir kapas dari AS. Dengan sibuk meributkan kasus kapas transgenik, LSM kita lupa, yang harus mereka urus bukan kapas, tetapi rami. Hingga kini, para pionir rami di Indonesia harus bekerja diam-diam dan modal sendiri sebab jika diketahui sindikat kapas dunia, program ini akan dimentahkan.

Besar kepala

Kita sering membanggakan diri sebagai bangsa yang besar. Sebab, kenyataannya populasi penduduk kita nomor empat di dunia. Kita juga negara kepulauan terbesar, punya hutan tropis terluas nomor dua, punya pantai terpanjang nomor dua, dan punya gunung api terbanyak. Tetapi, kita terlalu besar kepala hingga selalu menganggap diri hebat. Ini merupakan imbas yang amat kuat dari kultur Jawa, yang selalu ingin dianggap hebat.

Dalam kultur Jawa, gundukan tanah tidak disebut bukit, tetapi gunung. Ada Gunung Tidar, Gunung Kemukus, Gunung Srandil, yang semuanya hanya bukit kecil. Majikan, raja, dan Allah juga dipanggil dengan sebutan sama, Gusti. Gusti bendoro, gusti prabu, dan Gusti Allah. Ini merupakan sikap simbolis etnis yang tinggal di pulau kecil, tetapi ingin dianggap sama hebat dengan bangsa yang tinggal di benua, yakni India dan China. Sikap demikian tentu beda dengan agresivitas Inggris dan Jepang, yang juga tinggal di negara pulau.

Selain kedelai, gandum, dan kapas, kita juga sudah amat bergantung pada bawang putih impor, juga buah-buahan. Mulai dari apel, anggur, kurma, durian, lengkeng, dan leci. Padahal, semua buah itu bisa dibudidayakan dengan hasil cukup baik di negeri ini. Bahkan, durian monthong, yang dikembangkan Thailand, nenek moyangnya berasal dari Kalbar. Tetapi, inilah nasib bangsa besar, yang sekaligus juga besar kepala, yang menyebut gundukan tanah kecil sebagai gunung.

F Rahardi Penyair, Wartawan