Topic : Government
By Ari Satriyo Wibowo
Pola pendekatan ABG (Academic, Business, Government) sebagai poros utama sistem inovasi domestik saat ini semakin kokoh posisinya karena telah masuk dalam kesepakatan Internasional.
Hal tersebut terlihat komunike bersama hasil pertemuan Konferensi Meja Bundar UNESCO Para Menteri Bidang Sains dan Teknologi dunia, yang diselenggarakan akhir bulan lalu di Paris, Perancis. Dalam konferensi tersebut Indonesia diwakili langsung oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman.
Komunike yang baru dipublikasikan 6 November 2007 lalu itu menyatakan antara lain kesepakatan para menteri peserta Konferensi Meja Bundar UNESCO bahwa fungsi lembaga swasta serta unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) patut diekskalasikan untuk menghadapi berbagai masalah implementasi sains dan teknologi yang menyokong terciptanya pembangunan berkelanjutan, baik dalam cakupan kerja lokal, regional mapun internasional.
Dalam bagian lain di dalam pernyataan bersama tersebut, pola ABG semakin jelas dinyatakan. Yaitu dalam kausal yang optimasi dapat dilakukan dengan melihat posisi seluruh stakeholders, antara lain Perguruan Tinggi, Sektor Swasta, Pemerintah, beserta Lembaga Finansial serta Organisasi Non Pemerintah. Elaborasi cara pandang yang melihat pemanfaatan teknologi bagi kepentingan umat manusia sebagai bagian tanggungjawab sektor swasta (termasuk dalam hal pendanaan) boleh dibilang menjadi ciri khas hasil pertemuan UNESCO bagi para menteri bidang sains kali ini.
Mencuatnya corak ABG di dalam konferensi meja bundar menteri bidang iptek yang bertujuan untuk memberikan arahan bagi kegiatan UNESCO pada 2008 – 2013 itu dapat dikatakan merupakan hasil kerja tim diplomasi Indonesia, yang terdiri antara lain oleh Menegristek dan Kepala LIPI serta didukung penuh Dubes RI untuk UNESCO. Di konferensi tersebut, dalam memanfaatkan kesempatan sebagai panelis materi di hadapan lebih dari 48 menteri sains dan teknologi, Menegristek RI, Kusmayanto Kadiman, memberikan gambaran tentang pengalaman nyata Indonesia dalam mengatasi kekurangan dana bagi pengembangan teknologi (lihat http://abgnet.blogspot.com/2007/10/pelumas-bagi-kerjasama-abg-di-indonesia.html).
Di dalam persidangan, paparan tersebut disambut dengan cukup hangat oleh negara-negara lain, yang merasakan kecilnya kemampuan alokasi finansial sebagai masalah terbesar untuk menunaikan tuntutan pengembangan teknologi domestik masing-masing.
Pada bagian lain pernyataan bersama itu , para menteri sains dan teknologi dunia menyerukan agar di masa depan agar UNESCO memiliki kegiatan nyata yang lebih mengintesifkan pola pembinaan bagi pengembangan sistem kebijakan pengembangan teknologi dan inovasi negara anggotanya.
Melihat tren nuansa ABG yang cukup kental di komunike tersebut, sungguh tidak berlebihan bahwa saat ini pemerintah berbagai negara dunia mulai lebih memberikan perhatian serius terhadap sinergi kelompok akademisi dan kelompok bisnis dalam menguatkan proses pembangunan mereka. Indonesia, sebagai salah salah pelopor yang memopulerkan pola inovasi berbasis ABG sudah sepatutnya merasa berbesar hati dan wajib mewaspadai agar dapat sungguh-sungguh memanfaatkan momen tersebut dengan sebaik-baiknya.
Apalagi, menurut sumber di UNESCO, komunike tersebut berpotensi mengarahkan lembaga itu untuk lebih memobilisasi pihak swasta Internasional sebagai pendonor dana (dalam mekanisme Extra Budgetary Fund) pada kegiatan-kegiatan lembaga multilateral tersebut di masa depan.
Tentu saja pola pikir pemanfaatan tidak terbatas pada penggalangan dana asing untuk menyokong kebutuhan pembangunan Iptek (S&T) , namun sepatutnya diarahkan pada strategi yang lebih memperhatikan kelanggengan manfaat bagi masyarakat Indonesia. Paling tidak, hal tersebut dapat dilakukan dengan mengembangkan jaringan kerjasama Internasional. Melalui PP 41/2007 maka kerjasama sains dan teknologi dengan mitra asing di Indonesia sangat memungkinkan untuk dilaksanakan dalam prinsip kesetaraan (sovereignty) yang selalu menjadi acuan pada setiap kegiatan Hubungan Internasional
Bagaimana pendapat Anda?
Sumber : Amir F. Manurung, Staf Menegristek RI
Hal tersebut terlihat komunike bersama hasil pertemuan Konferensi Meja Bundar UNESCO Para Menteri Bidang Sains dan Teknologi dunia, yang diselenggarakan akhir bulan lalu di Paris, Perancis. Dalam konferensi tersebut Indonesia diwakili langsung oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman.
Komunike yang baru dipublikasikan 6 November 2007 lalu itu menyatakan antara lain kesepakatan para menteri peserta Konferensi Meja Bundar UNESCO bahwa fungsi lembaga swasta serta unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) patut diekskalasikan untuk menghadapi berbagai masalah implementasi sains dan teknologi yang menyokong terciptanya pembangunan berkelanjutan, baik dalam cakupan kerja lokal, regional mapun internasional.
Dalam bagian lain di dalam pernyataan bersama tersebut, pola ABG semakin jelas dinyatakan. Yaitu dalam kausal yang optimasi dapat dilakukan dengan melihat posisi seluruh stakeholders, antara lain Perguruan Tinggi, Sektor Swasta, Pemerintah, beserta Lembaga Finansial serta Organisasi Non Pemerintah. Elaborasi cara pandang yang melihat pemanfaatan teknologi bagi kepentingan umat manusia sebagai bagian tanggungjawab sektor swasta (termasuk dalam hal pendanaan) boleh dibilang menjadi ciri khas hasil pertemuan UNESCO bagi para menteri bidang sains kali ini.
Mencuatnya corak ABG di dalam konferensi meja bundar menteri bidang iptek yang bertujuan untuk memberikan arahan bagi kegiatan UNESCO pada 2008 – 2013 itu dapat dikatakan merupakan hasil kerja tim diplomasi Indonesia, yang terdiri antara lain oleh Menegristek dan Kepala LIPI serta didukung penuh Dubes RI untuk UNESCO. Di konferensi tersebut, dalam memanfaatkan kesempatan sebagai panelis materi di hadapan lebih dari 48 menteri sains dan teknologi, Menegristek RI, Kusmayanto Kadiman, memberikan gambaran tentang pengalaman nyata Indonesia dalam mengatasi kekurangan dana bagi pengembangan teknologi (lihat http://abgnet.blogspot.com/2007/10/pelumas-bagi-kerjasama-abg-di-indonesia.html).
Di dalam persidangan, paparan tersebut disambut dengan cukup hangat oleh negara-negara lain, yang merasakan kecilnya kemampuan alokasi finansial sebagai masalah terbesar untuk menunaikan tuntutan pengembangan teknologi domestik masing-masing.
Pada bagian lain pernyataan bersama itu , para menteri sains dan teknologi dunia menyerukan agar di masa depan agar UNESCO memiliki kegiatan nyata yang lebih mengintesifkan pola pembinaan bagi pengembangan sistem kebijakan pengembangan teknologi dan inovasi negara anggotanya.
Melihat tren nuansa ABG yang cukup kental di komunike tersebut, sungguh tidak berlebihan bahwa saat ini pemerintah berbagai negara dunia mulai lebih memberikan perhatian serius terhadap sinergi kelompok akademisi dan kelompok bisnis dalam menguatkan proses pembangunan mereka. Indonesia, sebagai salah salah pelopor yang memopulerkan pola inovasi berbasis ABG sudah sepatutnya merasa berbesar hati dan wajib mewaspadai agar dapat sungguh-sungguh memanfaatkan momen tersebut dengan sebaik-baiknya.
Apalagi, menurut sumber di UNESCO, komunike tersebut berpotensi mengarahkan lembaga itu untuk lebih memobilisasi pihak swasta Internasional sebagai pendonor dana (dalam mekanisme Extra Budgetary Fund) pada kegiatan-kegiatan lembaga multilateral tersebut di masa depan.
Tentu saja pola pikir pemanfaatan tidak terbatas pada penggalangan dana asing untuk menyokong kebutuhan pembangunan Iptek (S&T) , namun sepatutnya diarahkan pada strategi yang lebih memperhatikan kelanggengan manfaat bagi masyarakat Indonesia. Paling tidak, hal tersebut dapat dilakukan dengan mengembangkan jaringan kerjasama Internasional. Melalui PP 41/2007 maka kerjasama sains dan teknologi dengan mitra asing di Indonesia sangat memungkinkan untuk dilaksanakan dalam prinsip kesetaraan (sovereignty) yang selalu menjadi acuan pada setiap kegiatan Hubungan Internasional
Bagaimana pendapat Anda?
Sumber : Amir F. Manurung, Staf Menegristek RI
|