Google

Friday, November 30, 2007

Perubahan Iklim dan Perkebunan Sawit

Topic : Government - Business

Oleh Gusti Z Anshari

Pada bulan Desember 2007, Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan dunia tentang perubahan iklim. Salah satu agenda penting yang akan dibahas adalah pengurangan emisi gas-gas rumah kaca akibat dari deforestasi dan kebakaran hutan, terutama pada gambut.


Hasil penelitian Wetlands International dan Defl Hydraulics (2007), Belanda menempatkan Indonesia sebagai penyumbang ketiga terbesar emisi gas CO2 setelah Amerika Serikat dan China. Dari tahun 1997-2006, emisi CO2 akibat dari kebakaran gambut di Indonesia diperkirakan mencapai 1.400 metrik ton (MT) CO2. Dan dari setiap meter pengeringan gambut diperkirakan akan terlepas 90 MT CO2 per hektar per tahun.


Di kawasan tropika, Indonesia memiliki gambut tropis terluas di dunia. Luas total gambut tropis diperkirakan mencapai 30 juta-40 juta hektar. Hutan dan lahan gambut sebagian besar tersebar di Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Indonesia diperkirakan memiliki hutan dan lahan gambut 17 juta-20 juta hektar. Hanya sekitar 15 persen yang berada dalam kawasan pelestarian alam. Sebagian besar gambut tropis di Indonesia terdapat di dataran rendah, mulai dari kawasan pantai sampai hulu sungai. Di Papua dan Sumatera, sebagian gambut terdapat di dataran tinggi (>1.000 meter dari permukaan laut).

Gambut tropis dibentuk dari tumbuhan berkayu. Kecepatan tumbuh gambut diperkirakan 0,5 mm sampai 2 cm per tahun. Sebaliknya, kecepatan amblesan (subsidence) setelah hutan gambut dikeringkan pada tahun pertama dan kedua dapat mencapai 25-50 cm, dan kemudian akan stabil sekitar 2-5 cm per tahun.

Status gambut di Indonesia sangat memprihatinkan karena sebagian besar berupa hutan bekas tebangan yang telah ditinggalkan oleh perusahaan HPH. Yang lain berupa lahan terbuka dan selalu terbakar. Karena hutan gambut sering kali hanya dipandang sebagai sumber kayu, maka sering dipandang tidak produktif dan umumnya diubah menjadi perkebunan kelapa sawit.

Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut

Sejalan dengan kenaikan permintaan bahan bakar nabati (biofuel), perluasan kebun kelapa sawit di lahan gambut diperkirakan akan meningkatkan emisi CO2. Menyadari dampak pembukaan hutan gambut terhadap perubahan iklim dan punahnya keanekaragaman hayati, konsumen Eropa sepakat tidak membeli CPO dan turunannya yang diperoleh dari perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut. Sikap ini didukung oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Wetlands International, WWF, dan berbagai LSM lainnya. Lobi-lobi yang dilakukan oleh lembaga ini telah menyebabkan Pemerintah Belanda menghentikan pemberian insentif penggunaan CPO sebagai biofuel.


Secara teknis, pembukaan gambut untuk perkebunan kelapa sawit membutuhkan biaya yang lebih tinggi. Di Malaysia, pembukaan lahan dan penanaman kelapa sawit pada lahan gambut lebih besar 30-35 persen daripada pembukaan dan penanaman kelapa sawit pada tanah mineral. Biaya perawatan kebun relatif lebih mahal karena perlu menjaga ketersediaan air sehingga tidak banjir pada musim hujan dan tidak kering pada musim kemarau.



Karena mahalnya biaya dan kesulitan teknis perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut sebenarnya para pengusaha lebih menyukai perkebunan kelapa sawit pada tanah mineral. Namun, pada saat ini izin perkebunan pada tanah mineral umumnya telah habis dikeluarkan oleh pemerintah, dan izin-izin tersebut berada pada tangan para pengusaha yang motifnya hanya mengejar rente. Secara rata-rata, hanya 20-30 persen konsesi perkebunan kelapa sawit yang ditanami. Sebagian pengusaha menggunakan izin HGU untuk mendapatkan pinjaman dari bank, dan kemudian melakukan jual beli izin.

Selain itu, perkebunan kelapa sawit di Kalimantan dan Sumatera menyimpan bibit konflik secara laten antara pengusaha dan petani. Sebagian besar petani kelapa sawit merasa ketidakadilan akibat dari proses pembebasan lahan yang dibayar murah dan manajemen perkebunan yang tidak transparan dan sarat dengan kolusi. Konflik-konflik ini secara langsung merendahkan tingkat produktivitas perkebunan kelapa sawit. Tingkat produksi perkebunan kelapa sawit di Indonesia 30-50 persen lebih rendah dari tingkat produktivitas perkebunan kelapa sawit di Malaysia.

Upaya pengurangan emisi CO2

Pada Konferensi Perubahan Iklim bulan depan, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk mendapatkan bantuan dari negara-negara maju apabila dapat menyusun skema pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi. Sangat penting untuk memahami bahwa fungsi-fungsi lingkungan memiliki nilai dan manfaat jangka panjang jauh lebih besar daripada nilai tunai sesaat apabila hutan dikonversi.

Potensi dari hutan gambut, dengan asumsi kandungan karbon sebesar 5.000 ton per hektar, untuk mendapatkan dana tunai dari perdagangan karbon adalah 25.000-75.000 dollar AS per hektar per tahun. Diasumsikan harga per ton karbon setara 5-15 dollar AS. Sebaliknya, tingkat produksi kelapa sawit rata-rata 15-20 ton per hektar per tahun. Dengan demikian, pendapatan kotor yang diperoleh jika asumsi harga CPO mencapai 800 dollar AS per ton, hanya 3.000-4.000 dollar AS. Selain itu, dari setiap ton produksi CPO diperkirakan akan dilepaskan paling sedikit 800 kg gas CO2.

Perdagangan karbon tersebut dapat digunakan untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan, memperbaiki kualitas lingkungan, dan mewujudkan tercapainya pembangunan berkelanjutan.
Gusti Z Anshari adalah Peneliti Gambut dari Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat

Sumber : "Perubahan Iklim dan Perkebunan Sawit" , Kompas, Jum'at, 30 November 2007, halaman 48