Topic : Business
By Ari Satriyo Wibowo
Sejarah AQUA tidak dapat dilepaskan dari dua nama yang telah dengan sungguh-sungguh membesarkannya. Pertama, tentu saja sosok Tirto Utomo yang menjadi pionir sekaligus pendiri bisnis air minum dalam kemasan di Indonesia. Kedua, Willy Sidharta sosok profesional yang ikut membangun pabrik AQUA pertama di Bekasi tahun 1973 . Ia bekerja di AQUA pada umur 27 tahun sebagai supervisor pembangunan pabrik Bekasi dengan gaji awal Rp 25.000,- per bulan.
Setelah pembangunan selesai, Willy diangkat sebagai kepala pabrik itu, sekaligus tinggal disamping pabrik dari tahun 1974 hingga 1980. Ia tidak hanya terlibat pembangunan pabrik tetapi juga dengan cepat belajar memahami proses produksi air minum dalam kemasan (AMDK).
Jebolan fakultas teknik mesin Unika Atmajaya, Pasuruan itu dengan cepat mempelajari teknologi air mineral, distribusi, pemasaran dan penjualannya. Hampir semua aspek dikuasainya termasuk teknologi kemasan dan daur ulang botol bekasnya.
Selama berkutat di PT AQUA Golden Mississippi kepiawaian Willy Sidharta menangani industri AMDK dari hulu sampai hilir tak perlu diragukan lagi. Semua tahapan dalam dalam industri, dari pencarian lokasi pabrik, penentuan mesin yang akan digunakan, pembuatan botol kemasan, uji mutu dan menjaga kualitas, penangangan botol bekas sampai distribusi dan pemasaran, pernah dijalaninya. Ia juga tahu persis data potensi pasar, peta persaingan, atau pun prospek industri AMDK.
Ia juga merupakan tangan kanan Tirto Utomo di bidang operasional, serta melanjutkan cita-cita Tirto Utomo untuk mempertahankan AQUA sebagai pemimpin pasar AMDK di Indonesia.
Keduanya adalah tipikal CEO (Chief Executive Officer) yang mengibarkan dirinya menjadi besar dan mampu mempertahankan kehebatan tersebut dalam tempo cukup lama. Ternyata profil yang dimiliki keduanya sangat mirip dengan yang disebutkan Jim Collins dalam bukunya Good To Great (2001) yakni rendah hati tetapi memiliki tekad profesional yang besar. Derajat kebijakan mereka lebih mirip Abraham Lincoln dan Socrates ketimbang Jenderal George Patton dan Julius Caesar.
Kebanyakan orang menduga bahwa pemimpin yang hebat akan memulai sesuatu dari menetapkan visi atau strategi baru. Ternyata tidak, mereka memilih terlebih dulu orang yang cocok dan menaruhnya di posisi yang tepat baru kemudian menentukan arah yang hendak dituju.
Mereka yakin bahwa pada akhirnya akan sukses tidak peduli seberapa besar kesulitan yang dihadapi dan pada saat yang berani menghadapi kenyataan terpahit sekalipun. Pada 1978, setelah lima tahun beroperasi, Tirto Utomo sudah berniat menutup usahanya karena belum juga balik modal dan harus menombok melulu. Ketika diputuskan untuk menaikkan harga sampai tiga kali lipat --- keajaiban terjadi ---- omset perusahaan justru meningkat. Selamatlah AQUA dari kebangkrutan.
Keduanya juga memanfaatkan teknologi sebagai akselerator. Perusahaan yang hebat tak menggunakan teknologi sebagai pemicu transformasi. Tetapi mereka berani menjadi pioner penggunaan teknologi yang dipilih secara hati-hati. Adalah AQUA yang menjadi pelopor kemasan gelas plastik (cup) di dunia sehingga kini menjadi standar industri. AQUA pula yang memelopori peralihan dari PVC ke PET. Dan AQUA pula yang memelopori konsep fully integrated manufacturing yang memungkinkan produksi terpadu air minum dan botol kemasannya mulai dari tingkat biji plastik.
Arie de Geuss dalam The Living Company menjabarkan resep agar sebuah perusahaan berumur panjang. Tirto Utomo mencoba mempraktikkannya di AQUA dan kemudian dilanjutkan Willy Sidharta paling tidak sampai ia pensiun pada pertengahan 2006. Buktinya perusahaan itu tetap berdiri kokoh sebagai pemimpin pasar di bisnis AMDK sekaligus menjadi produsen terbesar dengan kapasitas produksi lebih dari 5 miliar liter per tahun pada 2006.
Menurut Arie di Geus, perusahaan-perusahaan besar yang masuk dalam daftar Fortune 500 rata-rata hanya memiliki kurun hidup yang pendek, yakni antara 40-50 tahun. Sedangkan perusahaan panjang umur (long lived company) --- berusia di atas satu abad --- sangat sedikit. Di antaranya Stora dari Swedia, Mitsui dan Matsushita dari Jepang, Unilever dan Royal Dutch Shell dari Belanda serta GE dan Kodak dari Amerika. Di Indonesia praktis belum ada perusahaan yang setua itu, paling hanya Nyonya Meneer atau AJB Bumiputera yang sama-sama berdiri tahun 1912 dan Jamu Jago pada 1918.
Studi Ari de Geus menunjukkan bukti tentang rahasia organisasi bisnis panjang umur yang memiliki empat ciri, yaitu :
1. Perusahaan panjang umur sensitif terhadap lingkungan. Intinya mereka harmonis dan relevan dengan lingkungan di mana mereka beroperasi. Mereka ramah lingkungan dalam arti luas. Mereka selalu belajar dan beradaptasi secara damai dengan dunia tempat mereka tinggal. Program Peduli AQUA lahir dari komitmen untuk menjadikan AQUA perusahaan yang ramah lingkungan.
2. Perusahaan panjang umur bersifat kohesif yang diikat oleh nilai-nilai bersama yang benar dan fundamental serta memiliki identitas yang khas. Nilai-nilai bersama yang semasa hidup Tirto Utomo disampaikan secara lisan berhasil dituangkan Willy Sidharta menjadi AQUA Core Values dalam bentuk tertulis pada 1999.
3. Perusahaan panjang umur bersikap toleran, tidak memaksakan kehendak pusat, berbagi kekuasaan dengan eselon bawah dan mempraktikkan desentralisasi.
4. Perusahaan panjang berumur bersikap konservatif dalam hal keuangan. Maksudnya sangat hati-hati dalam pengeluaran dan investasi. Mereka berpantang overspending dan overinvestment, apalagi berutang. Hal itu terbukti ketika Tirto Utomo sengaja menunjuk John Abdi, mantan teman karibnya semasa di Pertamina untuk menjadi Direktur Keuangan AQUA. Berkat sikapnya yang konservatif di bidang keuangan, AQUA selamat selama krisis keuangan melanda Indonesia 1997-1998, karena tidak terjerumus dalam utang dalam bentuk mata uang dollar AS yang sebelumnya begitu jor-joran ditawarkan ke dunia bisnis Indonesia.
Selanjutnya dikatakan Kouzes dan Posner dalam bukunya berjudul “Credibility: How Leader Gain and Lose It, Why People Demand It” bahwa untuk membangun kredibilitas yakni kejujuran, kompetensi dan inspirasi dibutuhkan tiga fase proses yakni kejelasan (clarity), kesatuan (unity) dan intensitas (intensity).
Komitmen terhadap kredibilitas dimulai dari menciptakan kejelasan (clarity) mengenai kebutuhan, kepentingan, nilai-nilai bersama, visi, tujuan hingga aspirasi sang pemimpin bersama kontituennya. Ketika kejelasan itu ada, setiap orang di dalam organisasi akan memiliki prinsip arahan mengenai kemana organisasi akan dibawa. Di samping itu, dengan adanya kejelasan itu, setiap unsur organisasi juga akan tahu persis kunci keunggulan bersaing yang akan menjadi penentu sukses.
Selanjutnya, perlu dibangun kesatuan (unity) dari seluruh jajaran organisasi untuk mencapai titik yang akan dicapai. Pemimpin yang kredibel harus mampu membangun komunitas dengan shared vision dan shared value yang sama di tengah keragaman nilai, kepentingan, pandangan dan keyakinan yang ada di dalam organisasi. Terakhir, pemimpin perlu mengembangkan intensitas (intensity) yaitu kedekatan dan ikatan emosi antara pemimpin dan bawahannya.
Kesimpulannya, kejelasan dan kesatuan merupakan unsur esensial dalam membangun kredibilitas seorang pemimpin. Namun, itu saja belum cukup. Pemimpin memerlukan intensitas emosional agar seluruh jajaran organisasi memiliki kesungguhan dan sepenuh hati dalam mencapai visi, misi dan nilai-nilai organisasi. Yang mengesankan semua itu telah dipraktikkan oleh seorang Willy Sidharta yang memimpin bagai air yang mengalir dengan paripurna. Sungguh luar biasa.
Bagaimana pendapat Anda?
|