Topic : Academic - Business
Darmadi Durianto dikenal sebagai akademisi , konsultan sekaligus praktisi bisnis. Sebagai akademisi yang bersangkutan mengajar masalah strategic marketing dan Strategic Brand Management di IBII. Di institusi itu Darmadi sekaligus membuka konsultasi bisnis dan menjadi Chief Operating Officer di IBII Consulting. Sedangkan, sebagai praktisi bisnis yang bersangkutan menjabat Sales and Marketing Director Vitron Group Co. Ltd.
Menurut Darmadi tahapan peluncuran produk baru dimulai dari pencarian gagasan. Gagasan itu dapat muncul dari mana-mana, termasuk dari pemasok dan distributor produk kita (Idea Generation). Gagasan yang muncul tersebut kemudian masuk dalam tahapan penyeleksian ide (Idea screening).
Usai ide-ide diseleksi berikutnya adalah melakukan pengembangan konsep dan pengujian konsep (Concept Development & Testing) dimana dalam tahapan ini harus ada analisa potensi pasar, analisa ukuran pasar dan analisa respon pelanggan. Tahapan berikutnya adalah pengembangan strategi pemasaran (marketing strategy development) berdasarkan hasil uji konsep dari produk baru dan diikuti dengan analisa bisnis (business analysis) yang meliputi studi kelayakan bisnis, analisa strategis bisnis dan analisa dari aspek keuangan (financial analysis). Jika semua proses sudah tidak ada masalah, maka tahap berikutnya adalah tahap pengembangan produk (product development) yang mencakup “packaging” dan fitur-fitur yang digunakan.
Sebelum produk diluncurkan secara resmi ke pasar, pada umumnya perusahaan terlebih dahulu melakukan uji pasar (market testing) di beberapa sampel pasar. Uji pasar ini pada umumnya bertujuan untuk mengetahui apakah produk yang akan diluncurkan memiliki tingkat probabilitas kesuksesan yang tinggi atau tidak dan apakah produknya dapat diterima oleh pasar atau tidak. Selanjutnya, apabila hasil dari market testing adalah positif dan probabiltas suksesnya tinggi, maka produk siap di luncurkan (product launching) dan dipasarkan (commercialization). Dalam tahap ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu kapan saat yang tepat untuk product launching? Dimana? Kepada siapa produk tersebut dialamatkan? Dan bagaimana produk tersebut dipasarkan dengan menggunakan perencanaan formulasi Marketing Mix yang tepat. Setelah produk diluncurkan dan dipasarkan, proses selanjutnya adalah melakukan pengawasan terhadap proses adopsi produk (adoption process) di level konsumen dan mengamati bagaimana reaksi pesaing menanggapi strategi pemasaran kita.
Berikut petikan wawancara dengan pria energik kelahiran tahun 1967 itu.
Apa saja kesalahan yang umumnya dilakukan para pemasar ?
Para pemasar umumnya berpikir bahwa merek hanya perlu dipromosikan saja. Padahal, dalam menciptakan merek diperlukan landasan merek yang kuat (strong brand platform) seperti Apa visinya? Apa misinya? Apa core value-nya? Apa pula area of competence-nya? Perusahaan jam tangan Swatch dari Swiss, misalnya, memiliki visi sebagai sebuah produk fashion sehingga akhirnya Swatch tidak hanya menjual jam tangan saja. Sebaliknya, tidak sedikit perusahaan yang awalnya bermaksud terjun ke minuman kesehatan tetapi kemudian produknya diperluas kemana-mana ke kategori produk yang sama sekali tidak ada kaitannya. Kesalahan tersebut sering terjadi sehingga produk berkembang biak tanpa struktur yang jelas. Oleh karena itu, perusahaan harus memiliki konsep “brand architecture” yang jelas dan terstruktur. Brand architecture ini berfungsi menyusun dan membangun konstruksi merek yang jelas apabila terjadi perluasan merek (brand extention) seperti BMW yang memiliki line up produk yang terstruktur disesuaikan dengan target segmennya seperti BMW seri 3, seri 5, dan seri 7.
Contoh lain dalam kasus pemasaran di Indonesia, Perluasan merek sabun Lifebuoy ke kategori sampo kurang mengalami perkembangan karena sejak awal merek Lifebuoy dipersiapkan sebagai merek untuk sabun bukan sampo. Brand platform dan area of competence dari Lifebuoy sejak awal dipersiapkan sebagai produk sabun dimana Investasi juga sudah diarahkan ke sana. Begitu kemudian Lifebuoy diputuskan untuk diperluas menjadi sampo hal itu menimbulkan masalah. Itu cenderung banyak dilupakan para pemasar. Seolah-olah bila produk diluncurkan dan melakukan promosi besar-besaran lalu selesai.
Apa syarat agar merek sukses di pasar ?
Merek yang sukses adalah merek yang kuat. Merek yang kuat adalah merek yang memiliki ekuitas merek yang kuat pula . Banyak konsep ekuitas merek dikemukakan para pakar merek dan yang paling populer adalah konsep milik David A. Aaker dari Universitas Kalifornia di Berkeley, AS. Membangun ekuitas merek yang kuat harus melakukan analisis konsumen yang didasarkan kepada “consumer truth” yakni kebenaran dan fakta di lapangan mengenai konsumen (needs, preferens, perception & behavior).
Contohnya, Sampoerna Hijau. Mereka melakukan consumer benchmarking. Kemudian, agar ekuitas merek kuat mereka melakukan consumer analysis, company analysis, product analisis dan competitor analysis. Consumer truth yang ditemukan adalah konsumen yang menjadi target pasar Sampoerna Hijau perilakunya adalah senang kumpul, mangan ora mangan asal kumpul, sehingga mereka menggunakan slogan “Asyiknya Rame-Rame”. Semua hal tersebut dilakukan dalam upaya membuat formula strategi pemasaran dan merek yang komprehensif. Selanjutnya, formula tersebut diaplikasikan ke brand platform dan disusun arsitektur mereknya. Semua itu kemudian dikomunikasikan sehingga akan menghasilkan ekuitas merek yang kuat. Artinya, Sampoerna Hijau mulai dari brand awareness, brand association, brand loyalty dan perceived quality juga mengalami penguatan.
Jadi apa rahasia untuk menaklukkan pasar?
Bagaimana menaklukkan pasar itu sangat tergantung bagaimana kita menganalisis pasar dan market intelligence dari informasi pasar yang akurat. Kalau hasil informasi yang kita peroleh salah maka hasilnya akan salah pula. Jika hasil dari analisis perusahaan dan analisis persaingan salah, maka nantinya strategi pemasaran yang dihasilkan juga akan salah (Garbage in garbage out).
Tara Nasiku produk dari PT Unilever Indonesia adalah contoh kasus bagaimana manajemen memaksakan produk yang sesungguhnya memiliki konsep yang keliru. Sekalipun berdasarkan riset pasar sudah menunjukkan hasil yang negatif tetapi karena gagasan produk baru itu merupakan gagasan favorit dari top manajemen maka proposal Tari Nasiku akhirnya diloloskan. Kegagalan produk Tara Nasiku dikarenakan mayoritas konsumen tidak melihat banyak benefit yang dirasakan dalam proses penyajiannya dan juga consumer habits yang sudah terbiasa dengan produk instan lain dibandingkan nasi instan.
Ada lima hal yang harus menjadi pegangan untuk menggarap pasar potensial yang belum terlayani (untapped market potential) yakni :
- Awareness. Apakah perusahaan mampu menciptakan awareness bagi produk tersebut dalam waktu singkat.
Menurut Darmadi tahapan peluncuran produk baru dimulai dari pencarian gagasan. Gagasan itu dapat muncul dari mana-mana, termasuk dari pemasok dan distributor produk kita (Idea Generation). Gagasan yang muncul tersebut kemudian masuk dalam tahapan penyeleksian ide (Idea screening).
Usai ide-ide diseleksi berikutnya adalah melakukan pengembangan konsep dan pengujian konsep (Concept Development & Testing) dimana dalam tahapan ini harus ada analisa potensi pasar, analisa ukuran pasar dan analisa respon pelanggan. Tahapan berikutnya adalah pengembangan strategi pemasaran (marketing strategy development) berdasarkan hasil uji konsep dari produk baru dan diikuti dengan analisa bisnis (business analysis) yang meliputi studi kelayakan bisnis, analisa strategis bisnis dan analisa dari aspek keuangan (financial analysis). Jika semua proses sudah tidak ada masalah, maka tahap berikutnya adalah tahap pengembangan produk (product development) yang mencakup “packaging” dan fitur-fitur yang digunakan.
Sebelum produk diluncurkan secara resmi ke pasar, pada umumnya perusahaan terlebih dahulu melakukan uji pasar (market testing) di beberapa sampel pasar. Uji pasar ini pada umumnya bertujuan untuk mengetahui apakah produk yang akan diluncurkan memiliki tingkat probabilitas kesuksesan yang tinggi atau tidak dan apakah produknya dapat diterima oleh pasar atau tidak. Selanjutnya, apabila hasil dari market testing adalah positif dan probabiltas suksesnya tinggi, maka produk siap di luncurkan (product launching) dan dipasarkan (commercialization). Dalam tahap ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu kapan saat yang tepat untuk product launching? Dimana? Kepada siapa produk tersebut dialamatkan? Dan bagaimana produk tersebut dipasarkan dengan menggunakan perencanaan formulasi Marketing Mix yang tepat. Setelah produk diluncurkan dan dipasarkan, proses selanjutnya adalah melakukan pengawasan terhadap proses adopsi produk (adoption process) di level konsumen dan mengamati bagaimana reaksi pesaing menanggapi strategi pemasaran kita.
Berikut petikan wawancara dengan pria energik kelahiran tahun 1967 itu.
Apa saja kesalahan yang umumnya dilakukan para pemasar ?
Para pemasar umumnya berpikir bahwa merek hanya perlu dipromosikan saja. Padahal, dalam menciptakan merek diperlukan landasan merek yang kuat (strong brand platform) seperti Apa visinya? Apa misinya? Apa core value-nya? Apa pula area of competence-nya? Perusahaan jam tangan Swatch dari Swiss, misalnya, memiliki visi sebagai sebuah produk fashion sehingga akhirnya Swatch tidak hanya menjual jam tangan saja. Sebaliknya, tidak sedikit perusahaan yang awalnya bermaksud terjun ke minuman kesehatan tetapi kemudian produknya diperluas kemana-mana ke kategori produk yang sama sekali tidak ada kaitannya. Kesalahan tersebut sering terjadi sehingga produk berkembang biak tanpa struktur yang jelas. Oleh karena itu, perusahaan harus memiliki konsep “brand architecture” yang jelas dan terstruktur. Brand architecture ini berfungsi menyusun dan membangun konstruksi merek yang jelas apabila terjadi perluasan merek (brand extention) seperti BMW yang memiliki line up produk yang terstruktur disesuaikan dengan target segmennya seperti BMW seri 3, seri 5, dan seri 7.
Contoh lain dalam kasus pemasaran di Indonesia, Perluasan merek sabun Lifebuoy ke kategori sampo kurang mengalami perkembangan karena sejak awal merek Lifebuoy dipersiapkan sebagai merek untuk sabun bukan sampo. Brand platform dan area of competence dari Lifebuoy sejak awal dipersiapkan sebagai produk sabun dimana Investasi juga sudah diarahkan ke sana. Begitu kemudian Lifebuoy diputuskan untuk diperluas menjadi sampo hal itu menimbulkan masalah. Itu cenderung banyak dilupakan para pemasar. Seolah-olah bila produk diluncurkan dan melakukan promosi besar-besaran lalu selesai.
Apa syarat agar merek sukses di pasar ?
Merek yang sukses adalah merek yang kuat. Merek yang kuat adalah merek yang memiliki ekuitas merek yang kuat pula . Banyak konsep ekuitas merek dikemukakan para pakar merek dan yang paling populer adalah konsep milik David A. Aaker dari Universitas Kalifornia di Berkeley, AS. Membangun ekuitas merek yang kuat harus melakukan analisis konsumen yang didasarkan kepada “consumer truth” yakni kebenaran dan fakta di lapangan mengenai konsumen (needs, preferens, perception & behavior).
Contohnya, Sampoerna Hijau. Mereka melakukan consumer benchmarking. Kemudian, agar ekuitas merek kuat mereka melakukan consumer analysis, company analysis, product analisis dan competitor analysis. Consumer truth yang ditemukan adalah konsumen yang menjadi target pasar Sampoerna Hijau perilakunya adalah senang kumpul, mangan ora mangan asal kumpul, sehingga mereka menggunakan slogan “Asyiknya Rame-Rame”. Semua hal tersebut dilakukan dalam upaya membuat formula strategi pemasaran dan merek yang komprehensif. Selanjutnya, formula tersebut diaplikasikan ke brand platform dan disusun arsitektur mereknya. Semua itu kemudian dikomunikasikan sehingga akan menghasilkan ekuitas merek yang kuat. Artinya, Sampoerna Hijau mulai dari brand awareness, brand association, brand loyalty dan perceived quality juga mengalami penguatan.
Jadi apa rahasia untuk menaklukkan pasar?
Bagaimana menaklukkan pasar itu sangat tergantung bagaimana kita menganalisis pasar dan market intelligence dari informasi pasar yang akurat. Kalau hasil informasi yang kita peroleh salah maka hasilnya akan salah pula. Jika hasil dari analisis perusahaan dan analisis persaingan salah, maka nantinya strategi pemasaran yang dihasilkan juga akan salah (Garbage in garbage out).
Tara Nasiku produk dari PT Unilever Indonesia adalah contoh kasus bagaimana manajemen memaksakan produk yang sesungguhnya memiliki konsep yang keliru. Sekalipun berdasarkan riset pasar sudah menunjukkan hasil yang negatif tetapi karena gagasan produk baru itu merupakan gagasan favorit dari top manajemen maka proposal Tari Nasiku akhirnya diloloskan. Kegagalan produk Tara Nasiku dikarenakan mayoritas konsumen tidak melihat banyak benefit yang dirasakan dalam proses penyajiannya dan juga consumer habits yang sudah terbiasa dengan produk instan lain dibandingkan nasi instan.
Ada lima hal yang harus menjadi pegangan untuk menggarap pasar potensial yang belum terlayani (untapped market potential) yakni :
- Awareness. Apakah perusahaan mampu menciptakan awareness bagi produk tersebut dalam waktu singkat.
- Availability. Apakah perusahaan memiliki kemampuan mendistribusikan produk tersebut dalam waktu singkat sehingga dapat diperoleh di gerai-gerai terdekat dengan konsumen?
- Affordibility. Apakah harga yang ditawarkan produk tersebut terjangkau oleh kantong konsumen?
- Benefit Diffeciency or Lack of benefit. Apakah manfaat yang ditawarkan produk tersebut penting dan bernilai bagi konsumen?
- Very Useful or Unable to use. Apakah produk tersebut cukup mudah dan murah untuk digunakan?
Tara Nasiku gagal karena proses pemasakannya terlalu rumit (unable to use) dan sajian nasi goreng yang digoreng biasa masih lebih enak (lack of benefit). Hal yang sama dialami Mie & Mie, produk mi instan dari Unilever. Sementara itu, PDA (Personal Digital Assistant ) kurang sukses dikarenakan pengoperasiannya terlalu rumit dibandingkan mengoperasikan sebuah ponsel (unable to use).
Bagaimana pendapat Anda?
|