Topic : Business
By Ari Satriyo Wibowo
Masa depan industri farmasi bakal suram bagi sebagian besar pemain di pasar. Hal itu diungkapkan Sanford Bernstein, perusahaan investasi di New York yang terkemuka. Perusahaan farmasi yang di masa lampau kaya dan menjadi pilihan favorit para investor harus segera mencari metoda penyembuhan yang lebih bervariasi lagi. Tidak melulu menggunakan pil saja, misalnya.
Salah satu penyebabnya adalah terjadinya erosi dalam perlindungan paten. Selain akibat banyaknya peniru dan produsen obat generik yang murah, industri farmasi besar dalam 5 tahun ke depan juga akan mengalami masa jatuh tempo kadaluwarsa paten. Pfizer, misalnya, bakal kehilangan US$ 13 miliar per tahun ketika Lipitor, sebuah produk blockbuster untuk mengatasi masalah kolesterol, mengalami masa kadaluwarsa paten pada 2010.
Selama ini industri famasi besar mengandalkan inovasi melalui kegiatan R&D untuk menjaga keunggulan mereka di pasar. Tetapi, sangatlah sulit untuk memperoleh produk blockbusters. Dari 24 produk baru yang disetujui FDA (Badan Pengawas Obat AS) pada 1998 telah menghabiskan dana sebesar US$ 27 miliar untuk R&D. Tahun lalu industri farmasi AS mengeluarkan US$ 64 miliar untuk R&D tetapi hanya 13 obat baru yang disetujui FDA.
Prestasi masa lalu para pemain yang berhasil mengeruk keuntung di pasar obat premium tak bakal terjadi lagi. Demikian dikatakan Peter Lawyer dari Boston Consultant Group. Pasar obat global melonjak dua kali lipat dibandung satu dekade sebelumnya menjadi US$ 600 miliar pada 2005 tak bakal berulang lagi pada 2015.
Jika AS mengadopsi cara Eropa untuk mengontrol harga obat sesuai dengan proposal kesehatan yang diusung para calon presisen AS dari Partai Demokrat maka separuh keuntungan industri farmasi AS akan hilang.
Lalu apa yang harus dilakukan para pemain besar farmasi di AS? Menurut Peter Lawyer satu-satunya jalan melalui penciptaan model bisnis baru. Model bisnis tradisional dan pendekatan integrasi vertikal harus diganti pendekayannya menuju pengembangan, pabrikasi dan penjualan obat. Perusahaan tidak hanya perlu mengubah bagaimana mereka membuat obat tetapi bagaimana pula memasarkannya. Daniel Vassela, CEO dari perusahaan farmasi Novratis di Swiss mengatakan, ” Kita perlu melakukan pemikiran ulang semua asumsi mulai dari inovasi ke pemasaran ke penjualan dan ke promosi.”
Banyak perusahaan besar farmasi beralih ke bioteknologi untuk mengisi jalur produk mereka. Astra Zeneca,misalnya,membeli MedImmune, sebuah perusahaan bioteknologi AS seharga US$ 16 miliar. Pengambilalihan juga terjadi pada Biogen Idec, pemain bioteknologi dari AS lainnya. Sementara itu, Roche, perusahaan dari Swiss lainnya , membidik Ventana, perusahaan yang berbasis di Arizona.
Terry Hisey dari Delloitte & Touche meramalkan bakal terjadi konvergensi dramatis baru di bidang obat-obatan, peralatan kedokteran dan alat-alat diagnostik yang bakal memacu inovasi dan peluang baru bagi industri farmasi untuk tumbuh. Bila ramalannya benar maka itu kabar gembira bagai industri farmasi dunia.
Bagaimana pendapat Anda?
Sumber : ”Beyond the pill”, The Economist, 27 Oktober 2007
By Ari Satriyo Wibowo
Masa depan industri farmasi bakal suram bagi sebagian besar pemain di pasar. Hal itu diungkapkan Sanford Bernstein, perusahaan investasi di New York yang terkemuka. Perusahaan farmasi yang di masa lampau kaya dan menjadi pilihan favorit para investor harus segera mencari metoda penyembuhan yang lebih bervariasi lagi. Tidak melulu menggunakan pil saja, misalnya.
Salah satu penyebabnya adalah terjadinya erosi dalam perlindungan paten. Selain akibat banyaknya peniru dan produsen obat generik yang murah, industri farmasi besar dalam 5 tahun ke depan juga akan mengalami masa jatuh tempo kadaluwarsa paten. Pfizer, misalnya, bakal kehilangan US$ 13 miliar per tahun ketika Lipitor, sebuah produk blockbuster untuk mengatasi masalah kolesterol, mengalami masa kadaluwarsa paten pada 2010.
Selama ini industri famasi besar mengandalkan inovasi melalui kegiatan R&D untuk menjaga keunggulan mereka di pasar. Tetapi, sangatlah sulit untuk memperoleh produk blockbusters. Dari 24 produk baru yang disetujui FDA (Badan Pengawas Obat AS) pada 1998 telah menghabiskan dana sebesar US$ 27 miliar untuk R&D. Tahun lalu industri farmasi AS mengeluarkan US$ 64 miliar untuk R&D tetapi hanya 13 obat baru yang disetujui FDA.
Prestasi masa lalu para pemain yang berhasil mengeruk keuntung di pasar obat premium tak bakal terjadi lagi. Demikian dikatakan Peter Lawyer dari Boston Consultant Group. Pasar obat global melonjak dua kali lipat dibandung satu dekade sebelumnya menjadi US$ 600 miliar pada 2005 tak bakal berulang lagi pada 2015.
Jika AS mengadopsi cara Eropa untuk mengontrol harga obat sesuai dengan proposal kesehatan yang diusung para calon presisen AS dari Partai Demokrat maka separuh keuntungan industri farmasi AS akan hilang.
Lalu apa yang harus dilakukan para pemain besar farmasi di AS? Menurut Peter Lawyer satu-satunya jalan melalui penciptaan model bisnis baru. Model bisnis tradisional dan pendekatan integrasi vertikal harus diganti pendekayannya menuju pengembangan, pabrikasi dan penjualan obat. Perusahaan tidak hanya perlu mengubah bagaimana mereka membuat obat tetapi bagaimana pula memasarkannya. Daniel Vassela, CEO dari perusahaan farmasi Novratis di Swiss mengatakan, ” Kita perlu melakukan pemikiran ulang semua asumsi mulai dari inovasi ke pemasaran ke penjualan dan ke promosi.”
Banyak perusahaan besar farmasi beralih ke bioteknologi untuk mengisi jalur produk mereka. Astra Zeneca,misalnya,membeli MedImmune, sebuah perusahaan bioteknologi AS seharga US$ 16 miliar. Pengambilalihan juga terjadi pada Biogen Idec, pemain bioteknologi dari AS lainnya. Sementara itu, Roche, perusahaan dari Swiss lainnya , membidik Ventana, perusahaan yang berbasis di Arizona.
Terry Hisey dari Delloitte & Touche meramalkan bakal terjadi konvergensi dramatis baru di bidang obat-obatan, peralatan kedokteran dan alat-alat diagnostik yang bakal memacu inovasi dan peluang baru bagi industri farmasi untuk tumbuh. Bila ramalannya benar maka itu kabar gembira bagai industri farmasi dunia.
Bagaimana pendapat Anda?
Sumber : ”Beyond the pill”, The Economist, 27 Oktober 2007
|