Google

Thursday, November 8, 2007

Launching For Marketer and Entrepreneur

Topic : Business - Academic


By Ari Satriyo Wibowo




Bertempat di Ballroom Hotel Novotel, Mangga Dua Square, Jakarta pada hari Kamis, 8 November 2007 telah diluncurkan buku Launching For Marketer and Entrepreneur karya Simon Jonatan, CEO Brandmaker. Simon pernah menjadi Direktur Pemasaran PT Bintang Toedjoe dan kemudian dipromosikan menjadi Presiden Direktur salah satu perusahaan di lingkungan Grup Kalbe berkat kesuksesannya merancang ide produk Extra Joss, me-launching dan menjadikannya pemimpin pasar dalam waktu relatif singkat. Kebetulan Blogger ABGNET juga terlibat menjadi salah satu c0-author buku ini.



Mengapa launching itu penting? Sebab masa depan pertumbuhan perusahaan ditentukan oleh sukses produk baru. Disamping itu sudah menjadi tradisi bahwa cita-cita seorang usahawan atau pemasar yang paling mengesankan --- kalau memang tidak boleh disebut paling tinggi --- adalah sukses melahirkan atau melakukan launching produk baru.



Dalam bahasa Indonesia, kata launching diterjemahkan sebagai peluncuran. Sehingga, peluncuran adalah kata yang paling sering digunakan untuk memaknai kata launching. Akibatnya, launching menjadi terkesan enteng dan ringan. Rasanya lebih berbobot bila launching diterjemahkan sebagai ”melahirkan produk baru”.



Mengapa disebut ”melahirkan”? Selama sembilan bulan lebih dilakukan persiapan dalam kandungan untuk menyambut kelahiran ”bayi” tersebut. Bahkan risiko berupa rasa sakit dan taruhan nyawa sang ibu harus dihadapi ketika melahirkan bayi tersebut. Tetapi kegembiraan setelah bayi lahir segera menghapus semua rasa sakit yang dirasakan. Harapan akan masa depan yang lebih baik merupakan harapan semua ibu yang berkehendak untuk membesarkan anak.



Aspek-aspek di atas adalah hal biasa dialami seseorang yang pernah melakukan launching produk baru. Persiapan berbulan-bulan bahkan tahunan dilakukan. Hati terasa berdebar-debar saat produk untuk pertama kalinya dilempar ke pasar sebab disitu selalu ada risiko kegagalan sekaligus kehilangan jabatan. Namun, bila produk sukses di pasar maka kemakmuran pun segera hadir.




Keluarga Tirto Utomo yang dibantu seorang Willy Sidharta berhasil menjadi kaya raya berkat satu merek saja yakni AQUA. Pengalaman lebih dramatis dialami Harry Sanusi yang meraih sukses berkat permen Kino. Dengan keberhasilannya itu nama Kino dijadikan payung kerajaan bisnisnya.



Atau sebut saja Barry Lesmana yang namanya mendunia karena sukses me-launching produk baru di BCA dan Citibank. Atau seorang Sudhamek AWS yang meraih sukses berkat produk kacang atau dr. Boenjamin Setiawan melalui obat panu bernama Kalpanax.




Di dunia Barat dapat disaksikan bagaimana Bill Gates menjadi orang terkaya di dunia karena sukses merancang, me-launching, dan membesarkan peranti lunak Microsoft. Demikian pula Akio Morita dari Sony Corporation yang mengalami pertumbuhan hingga dua digit karena sukses melahirkan Walkman. Atau bagaimana Steve Jobs sukses melakukan turnaround di Apple Corporation berkat temuan i-Pod yang melegenda. Di dunia farmasi Glaxo mampu memborong banyak perusahaan farmasi lainnya karena sukses melahirkan Zantax (Raniditin).




Masih banyak lagi orang-orang yang mengalami sukses besar karena lauching. Pertanyaan selanjutnya apakah mereka pernah gagal launching? Tentu saja ya. Mereka pernah mengalami kegagalan dalam melakukan launching produk. Tetapi yang pasti bukan produk pertama mereka. Mungkin produk ke-3, ke-5 atau ke-7.



Di dunia bisnis selama ini dikenal ada dua pilihan pengembangan bisnis untuk meraih pertumbuhan. Pertama, tumbuh dari dalam (Growth from Within) yang mengutamakan pengembangan produk baru (New Product Development / NPD) dan tumbuh dari luar (Growth from Outside) dengan memilih mengakuisisi merek atau produk atau perusahaan lain atau bahkan menggunakan sistem waralaba (franchise).




Dalam kurun waktu 1970-an hingga awal 1990-an perusahaan perusahaan multinasional yang beroperasi di
Indonesia seperti Coca-Cola, Unilever, Goodyear selalu bangga melakukan strategi Growth from Within dengan berbagai NPD. Investasi yang mereka keluarkan juga demikian besar sehingga membutuhkan waktu kurang lebih 3 tahun untuk meraih titik impas (BEP). Namun, kondisi persaingan yang makin menghebat mengakibatkan banyak produk-produk baru para multinasional itu yang mengalami kegagalan. Coca-Cola gagal dalam memasarkan air minum dalam kemasan Bonaqa. Unilever mengalami kegagalan di mi instan Mie & Mie dan nasi instan Tara Nasiku. Investasi yang luar biasa besar yang mereka keluarkan hangus dalam waktu sekejab.

Hal itu menunjukkan bahwa meskipun perusahaan-perusahaan multinasional itu telah dibekali dengan strategi bisnis mutakhir, teknologi tinggi dan merek yang kuat tidak serta merta mereka dapat menguasai pasar. Bahkan, segala kecanggihan yang dimilikinya terkadang menjadi penghalang untuk menjangkau konsumen berpenghasilan rendah di negara berkembang.



Akibatnya, terjadi pergeseran strategi yang dilakukan perusahaan multinasional terlebih setelah
Indonesia dilanda krisis ekonomi pada 1998. Perusahaan multinasional akhirnya lebih memilih melakukan strategi Growth from Outside dengan melakukan akuisisi berbagai merek di Indonesia. Lihat saja bagaimana Unilever mengakuisisi Kecap Bango, Danone membeli Aqua dan Coca-Cola menguasai AdeS.




Sebaliknya, perusahaan-perusahaan nasional terkemuka seperti Garuda Food, Grup Kino, Kalbe Farma, Sampoerna dan Polytron malahan tampil sebagai perusahaan marketing tulen. Dari merekalah justru muncul beragam produk-produk baru.




Ada beberapa penyebab kegagalan produk baru. Pertama, akibat kegagalan pasar atau pemasaran seperti kecilnya potensi pasar, tiadanya pembeda produk yang jelas, positioning yang lemah, ketidakpahaman terhadap kebutuhan konsumen, minimnya dukungan dari saluran distribusi serta reaksi agresif dari pesaing. Contoh di luar negeri kegagalan Crystal Pepsi yang meski meraih penghargaan sebagai Produk Minuman Baru Terbaik 1992 tetapi hanya meraih pangsa pasar di bawah 3 persen saja.




Kedua, akibat kegagalan finansial yakni berupa rendahnya tingkat pengembalian investasi atau ROI. Contoh di luar negeri bagaimana pesawat supersonik Concorde mengalami kegagalan karena biaya pengoperasiannya mahal sehingga hanya menghasilkan sedikit keuntungan bahkan kerugian dalam jangka panjang.

Ketiga, merupakan kegagalan dalam hal waktu. Yaitu terlambat memasuki pasar atau terlalu dini masuk pasar sementara pasar belum dikembangkan untuk siap menerima produk baru tersebut. Contohnya adalah Tara Nasiku produk nasi instan Unilever diluncurkan ketika pasar belum dididik untuk menerima produk nasi instan.




Keempat, kegagalan teknis yang meliputi produk tidak bekerja dengan baik dan rancangan produk yang buruk. Contoh paling bagus adalah
Newton produk dari Apple yang diposisikan sebagai PDA (personal digital assistance) tetapi konsumen tidak dapat memahami adanya kategori yang baru itu.




Kelima, kegagalan organisasi yang disebabkan ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan organisasi serta tiadanya dukungan organisasi. Contoh di luar negeri adalah bagaimana produsen celana jin Levi’s yang gagal memasarkan pakaian untuk pria.




Keenam, kegagalan lingkungan berupa peraturan pemerintah dan faktor makro ekonomi. Contohnya adalah Isuzu Panther yang semula mengandalkan murahnya harga solar dibandingkan bensin terpaksa mengubah strateginya menjadi irit mengonsumsi bahan bakar akibat pemerintah mengubah kebijakan harga BBM yang membuat solar tidak murah lagi.




Menurut Al Ries dan Laura Ries dalam bukunya The Origin of Brands, produk atau merek yang kuat dan tahan lama di pasar diciptakan dengan cara membuat percabangan dari kategori yang sudah ada. Tetapi cara divergensi tersebut merupakan proses yang memakan waktu. Televisi diciptakan pada tahun 1927 tetapi baru dikomersialkan setelah Perang Dunia ke-2 usai. Perusahaan yang mencoba meluncurkan produk televisi pada tahun 1930-an justru mengalami kebangkrutan.

Barangkali tidak ada produk revolusioner yang tumbuh demikian cepat seperti halnya komputer pribadi (PC). PC diperkenalkan tahun 1975, tahun yang sama ketika Bill Gates keluar dari Harvard dan pergi menuju
Albuquerque, New Mexico untuk menuliskan program peranti lunak untuk komputer Altair. Microsoft, perusahaan yang didirikan Bill Gates, kini menjadi perusahaan paling kaya di dunia dengan nilai kapitalisasi di pasar modal mencapai 304 miliar dolar AS.

Bagaimana pendapat Anda?