Google

Wednesday, November 14, 2007

Mendanai Riset Dasar



Topic : Government - Academic




"Apa manfaat penelitian Anda buat masyarakat?" Begitulah pertanyaan di berbagai penilaian karya ilmiah, yang bisa seketika menggugurkan proposal penelitian dari astronomi, fisika, matematika, dan ilmu-ilmu dasar lainnya.


Anggapan bahwa hasil riset harus berdampak segera, terutama untuk rakyat, memang masih dominan. Inikah warisan riset unggulan terpadu yang diluncurkan pemerintah 14 tahun lalu? Meski di satu sisi program mengakomodasi kebutuhan dana penelitian di Indonesia, kerangka dasarnya yang mengaitkan riset dengan industri ternyata memarjinalkan riset dasar di sisi lain.
Berbagai lembaga riset dan universitas berlomba membuat produk penelitian yang bisa dipatenkan dan dijual ke pasar. "Kalau sudah begitu, orang- orang seperti saya yang bergerak di bidang riset teori akan mundur, juga peneliti di riset eksperimen dan ilmu murni," kata Dr Terry Mart, Ketua Peminatan Fisika Nuklir dan Partikel Teori di Departemen Fisika Universitas Indonesia.


Strategi itu bisa dimaklumi sebagai upaya bertahan di tengah keterbatasan keuangan negara. Akan tetapi, fokus pada penelitian terapan saja dalam jangka panjang bisa menghambat fungsi perguruan tinggi sebagai pengembang semua ilmu. Apalagi sudah terbukti, negara yang kuat dalam penelitian dasar, seperti China, India, dan Pakistan, menjadi negara yang maju teknologinya.


Visi ke depan

China memang beruntung memiliki pemimpin dengan visi ke depan. Ketika diwawancarai majalah Science tahun 2000, Jiang Zemin—Presiden China saat itu—mengatakan, "Tidak ada reaktor nuklir jika tidak ada teori kuantum."


Jiang Zemin tampaknya sadar betul, penelitian ilmu dasar tidaklah sekadar memuaskan keingintahuan, tetapi yang terutama adalah mendorong manusia hingga ke batas kemampuannya, pushing to the limit.


Meski jangka waktunya bisa amat panjang, ilmu dasar tetap berpeluang memunculkan aplikasi terapan yang bermanfaat. Kebutuhan temperatur yang serendah-rendahnya di fisika partikel, misalnya, memunculkan teknologi kriogenik yang maju.


"Percobaan polarisasi spin helium adalah contoh lain. Ketika disadari gas helium tidak beracun, muncullah ide memanfaatkan spin helium untuk merekam paru-paru secara seketika dalam citra tiga dimensi," papar Terry.


World Wide Web pun ternyata dilahirkan oleh peneliti laboratorium partikel dan nuklir Eropa CERN yang perlu mengakses hasil eksperimen di negara lain secara cepat.


Tidak heran apabila Pemerintah China berani membangun berbagai instalasi penelitian skala besar, membuat suasana ilmiah yang kondusif bagi para ilmuwan yang pulang seusai belajar di negara maju, menandatangani berbagai kontrak kerja sama penelitian, dan berpartisipasi pada ratusan proyek ilmiah di lembaga-lembaga penelitian internasional.


Dana riset dasar


Di negara maju, suasana makin tercerahkan lagi. Laporan majalah Symmetry edisi Agustus 2007 mengulas perubahan paradigma para donatur dari riset terapan ke riset dasar. Mereka rela mengucurkan dana ratusan juta dollar AS tanpa repot memikirkan apakah uangnya akan kembali atau tidak.


Para penyandang dana riset yang terkenal adalah Kavli Institutes dan Perimeter Institute for Theoretical Physics. Berkat merekalah laboratorium akselerator nasional Brookhaven bisa terus berjalan setelah anggaran pemerintah dipotong habis. Para ilmuwan juga leluasa menuntut ilmu di berbagai universitas, menggagas teori, atau menguji partikel dengan hadirnya dana hibah yang besar.


"Siapa bilang mendanai riset teori membuang uang. Banyak keuntungan yang kembali, dari menolong ilmuwan muda berbakat sampai menjadi bagian dari temuan yang luar biasa, kelak," ujar Roger Blandford, Direktur Kavli Institute for Particle Astrophysics and Cosmology at Stanford University and Stanford Linear Accelerator Center.


Lembaga yang dipimpin Blandford adalah satu dari 15 institusi riset yang disiapkan Kavli Foundation menjadi pusat riset astrofisika, teknologi nano dan neuro di Amerika Serikat, Eropa, dan China.


Bisa jadi, mendanai riset fisika adalah wujud terima kasih Fred Kavli, Direktur Kavli Foundation yang ahli rekayasa fisika kelahiran Norwegia. Kavli yang beremigrasi ke AS begitu selesai sarjana berhasil membangun bisnis sensor presisi untuk industri. Ia kemudian menyumbangkan uang untuk riset setelah menjual perusahaannya senilai 345 juta dollar AS tahun 2000.


Adalah William I Fine, pebisnis dan pencinta fisika dari Minnesota yang mengilhami Kavli. Fine yang sudah tiada, tahun 1987 berperan besar membangun Fine Theoretical Physics Institute di University of Minnesota. Ketika orang ramai-ramai mensponsori teleskop agar namanya diabadikan, Fine memilih fisika teori yang kering.


Tony Blair saat masih Perdana Menteri Inggris juga tak henti mengimbau agar riset dasar mendapat perhatian. Muncullah Peter Ogden, jutawan dengan gelar sarjana fisika dari Durham. Lewat Ogden Center ia mendanai Institute for Computational Cosmology dan The Institute for Particle Physics Phenomenology. Di situlah lebih dari 100 ahli fisika, matematika, kosmolog, ahli komputer, dan mahasiswa baru mengembangkan ilmu.


Niat partisipasi


Kavli, Fine, dan Ogden memang akrab dengan fisika. Namun, menjadi donatur tak selalu harus punya latar belakang yang bersentuhan. Keinginan berpartisipasi mengembangkan ilmu pengetahuan bisa menjadi landasan para pemilik uang— termasuk di Indonesia—untuk mendanai riset dasar.


Dengan demikian, universitas dan berbagai lembaga riset di negeri ini bisa kembali mengembangkan ilmu-ilmu dasar. Tak perlu ada lagi penguji yang menanyakan manfaatnya bagi masyarakat.


"Riset Albert Einstein tentang relativitas yang menggemparkan itu juga tidak pernah bisa dimanfaatkan industri. Riset ini hanya ada di jurnal dan berakhir di perpustakaan," kata Terry.



Sumber : "Mendanai Riset Dasar", Rubrik Iptek Harian Kompas 14 November 2007 , hlm 1