Pak Irwan Hidayat, Presiden Direktur PT Sido Muncul, sempat menyatakan keheranannya ketika mengadakan perjalanan keliling Eropa beberapa waktu lalu. Di negeri Belanda ia menyaksikan ribuan kincir angin di dirikan di sepanjang pantai sebagai sumber energi alternatif negeri itu. Bagaimana dengan Indonesia yang sebenarnya kaya angin, kaya sinar matahari, kaya sumber panas bumi, kaya gelombang ombak lautan, kaya air dan kaya algae di lautan maupun air tawar? Mengapa kita tidak memanfaatkan itu semua melalui kerjasama ABG. Apalagi Menristek Kusmayanto Kadiman menegaskan bahwa industri masa depan yang cerah adalah industri yang bergerak di bidang pangan, energi dan air.
Artikel opini F. Rahardi di Kompas, Sabtu, 1 Desember 2007 kiranya dapat menyadarkan kita untuk segera merealisasikan sumber energi alternatif pengganti minyak bumi dari bahan fosil yang kini semakin langka dan harganya membubung tinggi. Mari kita manfaatkan kerjasama ABG untuk mewujudkannya. Bersama kita bisa.
Siapkan Bahtera Nabi Nuh
Oleh F Rahardi
Pasang laut telah melumpuhkan Jalan Tol Prof Sedyatmo, dari Pluit ke Bandara Soekarno- Hatta. Kawasan Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, juga sudah tergenang sejak sebulan silam. Ini baru bencana awal. Kalau pemanasan global berlanjut, seluruh Jakarta akan karam.
Bahkan bukan hanya Jakarta. Semua daratan yang berada di bawah 100 meter di atas permukaan laut (dpl) juga terancam tenggelam. Sebab udara panas akan melumerkan es di kutub, dan airnya akan menaikkan permukaan laut. Jakarta, New York, Tokyo, Paris, Kairo, Buenos Aires, Rio de Janeiro, dan semua kota metropolis dunia yang di dataran rendah akan tertelan laut. Mexico City, Madrid, Pretoria, Kabul, dan kota-kota yang berada di atas 1.000 meter dpl akan selamat.
Manusia perlu menyiapkan bahtera Nabi Nuh agar bisa selamat dari petaka ini. Jika tidak, sejak kini Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, dan kota-kota di dataran rendah harus bedol kota, ke Lembang, Tengger, Dieng, dan Brastagi. Sejak sekarang para pemilik modal akan memborong lahan di dataran tinggi untuk persiapan andaikan Jakarta tenggelam. Petaka akibat pemanasan global bukan hanya ini.
Atmosfer akan lebih banyak menyerap dan menahan radiasi matahari. Makhluk hidup yang peka sinar radiasi pelan-pelan akan punah. Manusia sebagai makhluk hidup paling cerdas sebenarnya tahu bahwa petaka akan datang. Tetapi, kapitalisme global terus memproduksi mobil, sepeda motor, pesawat terbang, dan benda-benda konsumsi lainnya. Metropolis yang boros energi juga kian banyak dibangun. Dan hutan sebagai paru-paru dunia terus dibabat habis.
Kutukan Tuhan
Sejak awal, kultur metropolis yang rakus sudah dikutuk Tuhan. Mulai dari petaka Sodom dan Gomora, sampai ke air bah zaman Nabi Nuh. Tetapi satu-dua orang tetap diselamatkan. Anehnya, kerakusan dan kecongkakan manusia tak ada habisnya. Manusia ingin menyamai Tuhan dengan membangun menara Babilon.
Kecongkakan manusia, antara lain, menyebut bencana akibat ulah mereka sebagai bencana alam. Padahal gempa bumi, banjir, gunung meletus, dan lainnya adalah gerak alam menuju harmoni. Alam mempunyai hukum tersendiri, sesuai titah Allah. Masyarakat adat justru lebih arif dan patuh pada titah. Mereka yang tinggal di kawasan pasang surut selalu membangun rumah panggung. Bahkan, bangunan dari kayu, dinding, bambu, atau ilalang, hingga tahan gempa.
Pantai, lereng gunung, rawa-rawa, semua rawan bencana. Jika kota Pompeus terkubur lava Vesupius, yang salah bukan gunungnya, tetapi manusia yang membangun kota. Ketika jembatan Los Angeles (LA) roboh kena gempa, yang salah bukan Sang Hyang Antaboga penjaga bumi, tetapi perancang kota LA. Jika jalan tol tergenang air pasang, yang salah bukan dewa laut, tetapi perencana proyek, dan pengambil keputusan.
Stop bahan bakar
Bahan bakar apa pun sebenarnya tetap berisiko untuk meningkatkan pemanasan global, termasuk hidrogen sebagai bahan bakar mesin fuel cel, baik hidrogen dari metanol maupun yang dikonversi langsung dari air. Sebab meski berupa uap air, buangan fuel cel tetap disertai keluarnya udara panas. Terlebih jika hidrogen diproduksi dari air, dengan listrik dari pembangkit berbahan bakar fosil.
Menyadari hal ini, Jerman langsung membangun pusat pembangkit listrik tenaga matahari terbesar didunia. Belanda membangun deretan kincir angin raksasa di laut utara untuk suplai energi bagi negaranya. Jepang sebagai salah satu negeri rakus energi juga cepat bertindak. Melalui Universitas Teknologi dan Ilmu Kelautan Tokyo, Lembaga Penelitian Mitsubishi, serta Perusahaan Industri Berat Mitsubishi, mereka merancang "kebun algae" di perairan laut dangkal di Yamatotai, seluas 1 juta hektar. Kebun algae ini diharapkan mampu menghasilkan 5,3 miliar galon bioetanol per tahun, yang akan menyubstitusi 33 persen kebutuhan BBM Jepang.
Dengan memilih energi matahari dan angin, Jerman dan Belanda lebih bijak dibandingkan dengan Jepang. Sebab, bioetanol dari kebun algae itu nantinya tetap akan dibakar juga. Meskipun metanol (hydroxymethane, methyl alcohol, wood alcohol, carbinol) dan etanol (ethyl alcohol, grain alcohol, hydroxyethane, EtOH) lebih sehat dibandingkan dengan bahan bakar fosil, dampaknya terhadap pemanasan global tetap tinggi. Hanya saja, bahan bakar ini akan terus terbarui, hingga ketersediannya selalu terjamin. Selain energi matahari dan angin, masih ada lagi energi ombak (sebenarnya juga angin), aliran air, dan panas bumi.
Indonesia selama ini telah terbuai oleh booming panen BBM dan gas pada era 1970 dan 1980-an. Akibatnya, kita lalai memerhatikan energi angin, matahari, ombak, air, dan panas bumi. Investasi energi alam yang tidak berdampak ke pemanasan global ini memang berbiaya amat tinggi. Namun, itulah yang harus didanai negara-negara maju jika semua manusia di Bumi tidak ingin punah dalam waktu dekat. Pertanyaannya, apakah semua negara maju tulus ingin meredam pemanasan global?
Krisis energi
Negara maju sebenarnya akan lebih memerhatikan kepentingan sendiri ketimbang kepentingan global. Ibarat kapal terancam tenggelam, masing-masing ingin cari selamat sendiri. Krisis energi akibat habisnya minyak bumi dan gas alam lebih menjadi keprihatinan negara maju dibandingkan dengan isu pemanasan global. Sebab, tingkat ketergantungan semua negara terhadap minyak bumi dan gas begitu tinggi.
AS relatif tenang karena cadangan minyak mentahnya amat besar, baik yang sudah di depot maupun yang ada di Alaska.
Maka, ada dua hal yang harus dibedakan. Krisis energi akibat habisnya bahan bakar fosil akan disikapi semua negara dengan mengembangkan energi alternatif. Biofuel, metanol, etanol, dan hidrogen adalah alternatif paling rasional. Namun, bahan bakar itu tetap akan berdampak ke pemanasan global. Terutama, jika volume dan intensitas pembakarannya kini terus naik melebihi konsumsi energi fosil. Jika yang menjadi isu utama adalah pemanasan global, ada dua upaya mutlak menjadi perhatian dunia.
Pertama, perbanyak energi tanpa pembakaran, misalnya tenaga matahari, angin, ombak, air, dan panas bumi.
Kedua, program penghijauan dan penghutanan harus diprioritaskan dengan dana global. Uang negara maju yang selama ini untuk memproduksi senjata dan alat perang harus disisihkan untuk penghijauan. Yang repot adalah Brasil, Indonesia, dan Zaire yang dianggap "paru-paru" utama dunia. Namun, pembabatan hutan sulit dihentikan, sementara negara maju pelit mendanai penyehatan paru-paru dunia ini.
F Rahardi adalah seorang Penyair/Wartawan
|