Google

Monday, December 24, 2007

Babak Baru Dalam Dunia Sel Induk

Topic : Academic

By CB Kusmaryanto

Dunia riset stem cell digemparkan oleh penemuan baru yang diumumkan melalui dua jurnal bergengsi, yakni Science, yang melaporkan hasil penemuan dari James Thomson dari Universitas Wisconsin di Madison, dan jurnal Cell yang melaporkan hasil penelitian Shinya Yamanaka dari Universitas Kyoto dalam edisi 20 November 2007.

Thomson inilah orang pertama yang berhasil mengisolasi dan mengembangkan stem cell babi pada tahun 1996 dan stem cell manusia in vitro tahun 1998.

Penemuan ini sangat spektakuler dilihat dari pelbagai aspeknya, khususnya dari aspek etikanya, karena tidak menimbulkan debat etika dari pelbagai sudut pandang, baik agama maupun humanisme.

Stem cell, yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai sel induk, adalah sel yang mempunyai kemampuan untuk membelah diri tanpa terspesialisasi. Dengan kata lain, stem cell mempunyai kemampuan untuk otoregenerasi (mereplikasikan diri) dalam waktu yang tak terbatas dengan tetap tidak terspesialisasi untuk menjadi sel tertentu; dengan rangsangan dan kondisi tertentu, stem cell bisa menumbuhkan sel yang terspesialisasi. Ini berbeda dengan sel manusia lainnya di mana sel-sel itu sudah terspesialisasi sehingga sel-sel itu hanya bisa menjadi jaringan yang menjadi bagiannya dan tidak bisa menjadi sel lainnya.

Oleh karena sifatnya yang bisa menjadi banyak macam sel itu, stem cell bisa dipakai untuk terapi regeneratif dan reparatif dari penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh karena kerusakan sel, misalnya parkinson, alzheimer, huntington, dan masih banyak yang lainnya. Sel-sel yang rusak itu akan diganti oleh sel baru yang berasal dari stem cell itu.

Sampai sekarang yang banyak diteliti oleh para ahli ialah stem cell yang diambil dari embrio (embryonic stem cell) dan stem cell yang diambil dari antara sel-sel somatis (somatic stem cell atau juga disebut adult stem cell).

Para ahli lebih memilih mengembangkan embryonic stem cell karena adult stem cell itu jumlahnya sedikit, lebih sulit didapat dan hanya bisa menjadi beberapa jenis sel saja. Sedangkan embryonic stem cell persis kebalikannya, yakni pluripotent (bisa menjadi sel apa saja dalam diri manusia kecuali plasenta dan air ketuban), lebih mudah di dapat dalam jumlah yang banyak.

Hanya saja, embryonic stem cell terhadang masalah moral yang sangat berat.
Pengambilan stem cell dari embrio itu pasti mengakibatkan kematian embrio itu sehingga program ini terhadang masalah etika yang disamakan dengan aborsi. Oleh karena sifat abortif inilah, banyak pihak menentang pemakaian embryonic stem cell. Bahkan Presiden George Bush memveto dua undang-undang pemakaian dana federal untuk riset stem cell ini.

Dalam aplikasinya, stem cell ini berkolaborasi dengan sangat erat dengan kloning manusia (therapeutic cloning). Supaya tidak timbul penolakan dari tubuh si pasien, stem cell yang diinjeksikan ke dalam tubuh pasien perlu kesamaan genetis.
Untuk mendapatkan stem cell yang cocok secara genetis dengan pasien, maka dilakukan kloning dari sel somatis pasien itu. Dari kloning itu akan dihasilkan embrio yang kemudian diambil stem cell-nya.

Poin inilah yang sangat krusial karena dengan membuat embrio melalui kloning ini, banyak pihak berpendapat bahwa telah terjadi makhluk hidup baru yang harus dihormati hak hidupnya dan tidak boleh dibunuh. Salah satu prinsip etis yang disodorkan ialah: tidak boleh menyembuhkan orang dengan cara membunuh orang lain.

Babak baru

Apa yang dibuat Thomson dan Yamanaka berhasil mengatasi kedua penghalang itu, yakni dari segi teknis dia berhasil membuat stem cell yang mempunyai karakter mirip sekali dengan embryonic stem cell dan dari segi etis juga tidak menimbulkan masalah karena tidak harus melalui proses kloning yang membuat embrio manusia.

Apa persis yang dibuat oleh Thomson dan Yamanaka? Secara singkat mereka bisa membuat sel-sel kulit menjadi stem cell yang punya karakter seperti embryonic stem cell tanpa harus melakukan kloning. Kedua tim itu sama-sama memakai empat jenis gen yang dimasukkan ke dalam sel kulit, tetapi jenisnya ada yang berbeda. Yamanaka memakai OCT3/4, SOX2, KLF4, dan c-MYC, sedangkan Thomson memakai OCT4, SOX2, NANOG, dan LIN28. Yamanaka memakai sel kulit dari seorang perempuan berumur 36 tahun, sedangkan Thomson memakai sel kulit dari bayi yang baru lahir.

Mereka mengubah sel-sel kulit yang biasa menjadi apa yang mereka sebut sebagai induced pluripotent stem cells (iPS) yang berkarakter seperti embryonic stem cell. Kesamaan karakter ini meliputi hampir semua bidang, baik dalam penampilan maupun tingkah laku genomiknya.

Dalam percobaannya, iPS itu ternyata bisa membuat tiga germ layers, di mana lapisan pertamanya akan menjadi semua jaringan dan organ manusia. Dari iPS itu juga ternyata bisa dikembangkan menjadi sel-sel saraf, otot, tulang rawan dan bahkan juga otot-otot jantung. Dalam percobaan yang mereka buat, setelah 12 hari pembiakan, ternyata sel-sel itu mulai berdenyut seperti otot jantung.

Riset ini masih merupakan riset awal sehingga Yamanaka sendiri mengatakan bahwa terlalu dini untuk mengatakan iPS ini akan bisa menggantikan embryonic stem cell. Efisiensi teknik ini memang masih sangat rendah karena dari 50.000 sel kulit yang dipakai, mereka hanya mendapatkan 10 iPS. Namun, teknik ini masih bisa dikembangkan lebih lanjut supaya lebih efisien.

Yamanaka sangat optimistis dengan penemuannya itu, bahkan dia mengatakan teknik yang sama ini bisa dipakai untuk membuat sel telur dan sperma dari sel kulit. Kalau ini terjadi, maka akan banyak menolong pasangan yang menginginkan anak, tetapi tidak bisa oleh karena pasangan itu tidak mempunyai sperma atau ovum.

Secara teknis dan etis, keberhasilan Thomson dan Yamanaka ini merupakan langkah yang sangat spektakuler. Dari segi teknis, keberhasilan ini mengatasi masalah teknik yang sangat pelik. Untuk memperoleh embryonic stem cell diperlukan jalan yang panjang dan mahal melalui kloning.

Kloning memerlukan ovum sebagai media pertumbuhan nukleus (inti sel) sel somatis yang dimasukkan ke dalam ovum yang sudah dibuang nukleusnya. Oleh karena keberhasilan kloning ini juga masih sangat rendah, maka untuk mendapatkan stem cell itu diperlukan ovum manusia yang jumlahnya cukup besar.

Pada zaman sekarang ini semakin sulit ditemukan perempuan yang dengan sukarela menyumbangkan ovumnya untuk keperluan penelitian. Kalaupun harus membeli, harganya juga sangat mahal, bisa mencapai 2.500 dollar AS per buah. Oleh karena itu, program ini menjadi sangat mahal.

Pengambilan ovum dari perempuan juga mengandung risiko kesehatan yang tidak kecil untuk perempuan itu karena adanya suntikan hormon kesuburan yang memungkinkan ovulasi lebih dari satu ovum.

Dari segi etis, penemuan ini mengatasi penghalang utama riset embryonic stem cell, yakni penciptaan embrio manusia untuk keperluan riset. Membuat embrio untuk riset dan bukan untuk diimplantasikan ke dalam rahim merupakan pelanggaran etika yang tidak bisa diterima.

Belum lagi pandangan banyak pihak, termasuk para agamawan, bahwa hidup manusia itu sudah dimulai sejak saat zigot sehingga zigot itu tidak boleh dibunuh. Dalam program embryonic stem cell yang sudah ada sampai sekarang, mau tidak mau para ahli harus membuat zigot ini. Tentu saja ini mengandung masalah etika yang tidak kecil.

Dipuji semua pihak

Jarang ada sebuah penemuan teknologi yang dipuji semua pihak. Penemuan baru oleh Yamanaka dan Thomson ini dipuji dan diterima oleh pelbagai pihak, baik para peneliti sendiri maupun para etikawan serta para komunitas religius.

Para peneliti menyambut dengan sangat antusias break through ini karena teknologi ini akan sangat menghemat biaya, baik bahan bakunya maupun teknologi peralatannya. Thomson sendiri berkomentar, "Pada prinsipnya, ribuan laboratorium yang tersebar di seluruh AS mulai besok bisa mengerjakannya."

Para etikawan dan kelompok religius juga menyambutnya dengan gembira karena penemuan ini menjadi akhir dari kontroversi yang menyelimuti riset stem cell. Bahkan mereka mengatakan bahwa inilah salah satu hasil dari para aktivis pro life yang mendesak para ahli untuk menemukan cara memperoleh stem cell yang sangat berguna ini tanpa harus melanggar harkat dan martabat manusia.

Ternyata, para ahli bisa menunjukkan kepiawaiannya untuk mengatasi hal ini dengan menciptakan stem cell yang tanpa harus membuat dan membunuh embrio manusia.

CB Kusmaryanto Dosen Bioetika pada Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Sumber :"Babak Baru Dalam Dunia Sel Induk", Kompas Cyber Media, 17 Desember 2007