Google

Wednesday, December 5, 2007

Kejayaan Maritim Indonesia

Dalam rangka perayaan Hari Angkatan Laut Indonesia maka artikel dari Laksmana TNI Sumardjono ini layak disimak.




Topic : Government

By Laksamana TNI Sumardjono


Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra....


Penggalan syair lagu itu mengingatkan kebesaran nusantara di masa lalu yang kini hilang. Namun, "Betulkah nenek moyang kita pelaut? Betulkah kita ini bangsa bahari? Betulkah karakter bangsa kita berwawasan maritim?"

Sebagai bangsa bahari, negeri ini seharusnya mempunyai visi kelautan, direfleksikan dalam pembangunan berwawasan bahari, termasuk menguatkan armada laut (niaga dan militer).

Zaman keemasan

Menengok masa keemasan nusantara, sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah berlayar jauh menggunakan kapal bercadik. Mereka ke utara mengarungi lautan, ke barat memotong Lautan Hindia hingga Madagaskar, ke timur hingga Pulau Paskah. Dengan kian ramainya arus perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.

Kerajaan maritim terbesar di nusantara diawali Kerajaan Sriwijaya (tahun 683-1030 M). Petualang Tiongkok, I Tsing, mencatat, Shih Li Fo Shih (Sriwijaya) adalah kerajaan besar yang mempunyai benteng di Kotaraja, armada lautnya amat kuat. Guna memperkuat armada dalam mengamankan lalu lintas perdagangan melalui laut, Sriwijaya memanfaatkan sumber daya manusia yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya, yang kini disebut "kekuatan pengganda".

Runtuhnya Sriwijaya disusul naiknya Kerajaan Majapahit (1293-1478 M) yang semula agraris. Majapahit lalu berkembang menjadi kerajaan maritim setelah Gajah Mada menjadi mahapatih. Dengan Sumpah Palapa, Gajah Mada bercita-cita menyatukan nusantara dan diangkatlah Laksamana Nala sebagai Jaladimantri yang bertugas memimpin kekuatan laut Kerajaan Majapahit. Dengan armada laut yang kuat, kekuasaan Majapahit amat luas hingga keluar nusantara.

Kejatuhan Majapahit diikuti munculnya Kerajaan Demak. Kebesaran Kerajaan Demak jarang diberitakan. Kekuatan maritim Kerajaan Demak dibuktikan dengan mengirim armada laut sebanyak 100 buah kapal dengan 10.000 prajurit menyerang Portugis di Malaka. Pemimpin armada itu adalah Pati Unus yang bergelar Pangeran Sabrang Lor. Meski berteknologi sederhana, Demak mampu mengerahkan pasukan dan perbekalan dari utara Pulau Jawa menuju semenanjung Malaka.

Sejarah itu menggambarkan kehebatan armada niaga, keandalan manajemen transportasi laut, dan armada militer yang mumpuni dari beberapa kerajaan di nusantara yang mampu menyatukan wilayah luas dan disegani bangsa lain. Dengan armada niaga yang besar, kerajaan bersosialisasi dan membawa hasil alam sebagai komoditas perdagangan ke negeri lain. Dan untuk menjaga keamanan, kerajaan memiliki armada laut yang kuat.

Sayang, beberapa kerajaan besar itu jatuh bukan karena serangan lawan, tetapi karena "perang saudara". Kondisi itu dimanfaatkan kekuatan asing untuk menguasai wilayah ini. Dengan mempelajari kondisi kerajaan dan kultur penguasa di nusantara, kekuatan asing mampu menduduki negeri ini dengan menjauhkan penghidupan masyarakat dari laut. Masyarakat digiring untuk kembali menjadi petani. Lama-kelaman armada laut kerajaan menjadi kecil. Kesempatan ini dimanfaatkan kekuatan asing, seperti Portugis, Inggris, dan VOC, untuk ganti menguasai laut nusantara. Dengan terdesaknya raja-raja ke pedalaman dan dikuasainya berbagai pelabuhan oleh asing, sejak saat itu paradigma maritim kita diubah penjajah, menjadi bangsa agraris.

Bangsa pelaut

Sejarah menyakitkan itu dibaca para pejuang kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, ketika bangsa ini baru mulai hidup di alam kemerdekaan, para pemimpin kita sadar atas kondisi geografis dan kejayaan masa lampau sebagai bangsa bahari.

Saat membuka Institut Angkatan Laut (IAL) tahun 1953 di Surabaya, Presiden Soekarno berpesan, "…usahakan penyempurnaan keadaan kita ini dengan menggunakan kesempatan yang diberikan oleh kemerdekaan. Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya..., bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di kapal... bukan! tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri ".

Hal ini dibuktikan Soekarno. Tahun 1960-an kekuatan Angkatan Laut Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara dengan komposisi 234 kapal perang terdiri dari sebuah kapal penjelajah (cruiser), 12 kapal selam, 7 kapal perusak (destroyer), 7 fregat, dan beberapa jenis kapal perang lain. Dalam usia kemerdekaan yang masih muda, para pemimpin telah memfokuskan kekuatan militer berdasarkan konstelasi geografis. Dengan kekuatan militer, bangsa ini mampu mengusir Belanda yang saat itu masih mempertahankan Irian Barat.

Mengapa Belanda meninggalkan Irian Barat tanpa pertempuran? Terlepas dari upaya diplomasi politik saat itu, jawaban kuatnya adalah kuat dan solidnya TNI, terutama kekuatan lautnya. Besarnya armada laut dengan persenjataan canggih saat itu, mampu mengangkut pasukan dalam jumlah besar, siap melaksanakan pertempuran laut. Maka, saat itu, Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi.

Seiring perjalanan waktu dan akibat kondisi ekonomi yang berbeda serta perhatian pada maritim berkurang membuat kekuatan laut kita mencapai antiklimaks. Peralatan alutsista rontok, menjadi besi tua. Armada niaga kita pun bernasib sama. Meski tak laik, dipaksa melaut sehingga kadang terjadi kecelakaan.

Menuju AL yang kuat

Kini keadaan relatif membaik. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, terutama Pasal 3 Ayat (2) menyatakan, pertahanan negara disusun dengan memerhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Artinya, pemimpin Indonesia menyadari, laut berikut segala aktivitas di dalamnya dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa. Bagi TNI AL, ini merupakan tantangan, menjaga keamanan perairan dari gangguan ataupun ancaman kedaulatan. Untuk itu, dibutuhkan Angkatan Laut yang kuat dan upaya menuju ke arah itu telah dimulai.

Saat ini telah dibeli empat korvet kelas Sigma dari Belanda, sebuah kapal sudah tiba di Tanah Air, KRI Diponegoro-365, sisanya masih diselesaikan. Dari Korea juga telah datang dua kapal LPD, disusul segera dua lainnya yang masih dibangun. Meski anggaran menjadi kendala, dengan perencanaan yang baik mudah-mudahan kapal-kapal lain akan menyusul memperkuat kekuatan penjaga laut kita. Kita berharap perhatian dalam aspek maritim tidak hanya tertumpu pada pembangunan kekuatan angkatan laut, tetapi mampu mengembalikan Indonesia sebagai negara bahari.

Bangsa yang memiliki karakter bahari tidak harus diartikan bangsa yang sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan, tetapi bangsa yang menyadari kehidupan masa depannya bergantung pada lautan. Intinya, selalu menoleh, menggali, dan memanfaatkan laut sebagai tulang punggung bangsa dan negara.

Laksamana Sumardjono adalah Kepala Staf TNI Angkatan Laut

Sumber : "Kejayaan Maritim Indonesia" , Artikel Opini Harian Kompas, Rabu 5 Desember 2007