Topic : Business
By Ari Satriyo Wibowo
Ia merasa beruntung karena di sinilah ia mulai dikenalkan dan diajarkan beragam hal seputar rokok. Mulai dari segi flavour, peracikan, penjualan, komunikasi, pemasaran, sampai assesment. Warsianto jadi tahu cara melacak kekuatan dan kelemahan rokok. Yang membuatnya tambah senang, BAT juga menyekolahkannya. Tak heran, baginya, ia memiliki dua universitas: IPB dan BAT. Ilmu pengetahuan pangan didapat dari IPB, sementara ilmu rokok didapat dari BAT.
Sekitar 1988, Sampoerna mengerahkan head hunter untuk mencari eksekutif untuk pengembangan produk baru mereka. Saat itu Putera Sampoerna baru kembali dari AS dan membutuhkan orang-orang yang berpengalaman dan kompeten dalam bidangnya.
Setelah berkarir selama 9 tahun di BAT, Warsianto mengaku tertarik bergabung dengan Sampoerna selain kompensasi yang ditawarkan lebih baik, juga disebabkan di BAT tak mungkin dikembangkan produk berbahan baku sigaret, sesuatu yang dimungkinkan di Sampoerna. Dalam benaknya, ia akan mengembangkan produk baru dengan bahan baku sigaret
Di Sampoerna, Warsianto menjabat sebagai Head of New Product Development pada usianya yang masih 33 tahun. Pada waktu itu posisi Sampoerna kecil karena omset produk unggulan perusahaan seperti Dji Sam Soe masih kalah dibandingkan Menak Djinggo yang merupakan produk dari Norojono, Kudus. Mulailah Warsianto dan tim manajemen di bawah pimpinan Putera Sampoerna membangun infrastruktur mulai personalia, organisasi dan sistem.
Mala-mula tugasnya adalah melakukan product maintenance Dji Sam Soe dan Sampoerna Hijau. Secara simultan dilaksanakan pula pengembangan produk baru. Di sinilah sejarah A Mild yang merupakan pelopor rokok Mild dimulai.
Pada waktu itu rokok putih merajai pasar dengan basis daerah Sumatera sebesar 70% dan sisanya 30% ada di Jawa. Dari tahun ke tahun terjadi penurunan dari rokok putih ke rokok kretek. Tetapi penurunannya nggak terlalu cepat karena rokok kretek citranya masih rendah. Karena pada tahun 1988 orang masih malu mengonsumsi rokok kretek. Kalau pun menghisap rokok kretek hal itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi di kamar mandi atau toilet. Sedangkan, bila bergaul dengan teman-teman rokok yang dihisap adalah rokok putih.
Waktu itu memang kalau konsumen ingin menikmati rasa mereka cenderung memilih rokok kretek. Karena pada dasarnya orang Indonesia suka yang rokok yang beraroma (spicy) karena terdapat cengkeh, saos berikut rasa manis. Sementara rokok putih terasa tawar (plain).” Ibarat roti rokok putih itu roti tawar tetapi gengsinya menang,” tutur anak sulung 8 bersaudara dari pasangan guru SD, Wardoyo dan Siti Fatimah ini.
Jadi konsumen yang ingin menikmati cita rasa rokok menghisap rokok kretek di rumah sementara untuk pergaulan yang dihisap rokok putih karena lerbih bergengsi.
Hal lain yang membuat orang ragu-ragu dengan rokok kretek adalah karena konsumen mulai sadar kesehatan. Pada waktu itu rokok putih memiliki kadar tar dan nikotin rendah. Sementara rokok kretek memiliki kadar tar dan nikotin yang tinggi. “Jadi konsumen agak takut-takut menghisap rokok kretek,” Warsianto menambahkan.
“Karena ada celah seperti itu akhirnya terpikir mengapa tidak mengembangkan suatu produk sebagai jembatan (bridging) antara rokok putih dan rokok kretek,” katanya. Sebuah produk baru yang mampu memenuhi kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) konsumen dalam dua hal. Pertama, dari segi citra atau penampilan setara dengan rokok putih. Kedua, dalam hal kadar tar dan nikotin juga dapat menjadi lebih rendah sehingga seimbang dengan rokok putih
Segera Warsianto membuat studi dan proposal ke manajemen puncak untuk pengembangan sebuah kategori rokok baru yang belakangan lebih dikenal sebagai rokok Mild.
Pada dasarnya rokok kretek menggunakan cengkeh yang memiliki kadar eugenol tinggi. Padahal eugenol memiliki kontribusi terhadap kandungan tar sehingga semakin besar euginol maka kadar tar-nya pun juga semakin tinggi.Selain itu, rokok kretek menggunakan tembakau yang berat (heavy) berupa tembakau rajangan yang tidak digunakan pada rokok putih.
Dari hal semacam itu kemudian Warsianto mulai mengembangkan satu jenis rokok kretek yang bisa dikurangi kadar tar dan nikotin sekaligus memiliki penampilan tidak kalah dibandingkan rokok putih.
Demi keperluan itu pada jenis tembakau dilakukan modifikasi dan teknologi pengolahannya dikembangkan meliputi teknologi filtrasi (untuk filter atau penyaring) , teknologi perforasi (untuk ventilasi) dan teknologi prosesnya. Tembakau yang digunakan tetap tembakau rajangan tetapi dipilih yang memiliki kandungan tar dan nikotin tidak terlalu tinggi melalui uji di laboratorium.
Agar tar dan nikotin rendah maka disain sigaret perlu dirumuskan dengan jeli termasuk pemilihan jenis filter dan perforasi untuk ventilasi pada rokok. Dengan cara tersebut dapat diprediksi kadar tar dan nikotin yang diperoleh dengan komposisi tembakau, cengkeh, saos. Dengan rekayasa tertentu dapat dihitung secara matematis kadat tar dan nikotin yang diharapkan. Misalnya, dikehendaki tar 15 dan nikotin 1 maka angka tersebut dimundurkan terlebih dahulu. Kemudian ditetapkan jenis tembakau, filter, perforasi yang digunakan agar hasilnya mendekati dengan bilangan yang dikehendaki.
Pada 1992 karena ingin menjadi entrepreneur maka Warsianto menjadi partner Markplus bersama Kresnayana Yahya. Di sana ia sempat memegang beberapa klien di antaranya Wismilak dan Cat Emco . Tetapi ia hanya bertahan menjadi konsultan selama 3 tahun saja. ”Tampaknya dunia konsultan bukan dunia saya. Saya memang happy menjadi konsultan tetapi karena dalam banyak hal yang orang lain yang mengerjakannya akhirnya upayanya menjadi kurang optimal karena gagasannya tidak 100 % bisa dijalankan, ” ungkap Warsianto.
Tahun 1995 ketika terjadi peralihan manajemen PT Bentoel Prima dari pemilik lama ke Grup Rajawali maka Warsianto ditawari menjadi GM Pemasaran. Warsianto diminta Peter Sondakh untuk mengembangkan produk rokok mild baru di perusahaan yang berkantor pusat di Malang itu. Pada waktu itu penjualan Bentoel Biru Internasional sedang mengalami penurunan.
Pada 5 September 1996 keluarlah Star Mild. Produk itu cukup sukses dengan penjualan tahun 2000 mencapai 5,4 miliar batang. “Rokok itu nilainya tinggi sekali, omsetnya bisa triliunan rupiah, lain dengan customer product yang lain,” kata Warsianto.
Setelah 6 tahun bergabung, pada 2001 ia memutuskan keluar dari PT Bentoel Prima dan bergabung dengan NTI Indonesia, salah satu bagian dari PT Nojorono yang selama itu dikenal sebagai produsen rokok kelas bawah seperti Minak Djinggo, Niki dan Niko, pada bulan Juni 2002. Waktu itu, penjualan Star Mild mencapai 5,5 miliar batang per tahun. Alasan kepindahannya sangat sederhana yakni ingin kembali ke Semarang. Selama bertahun-tahun ia bekerja jauh dari anak-istrinya yang tinggal di ibukota Semarang itu. Keluarganya lebih betah di tinggal di Semarang. Kalau di PT Bentoel Prima ia harus bolak-balik antara Malang dan Jakarta maka NTI Indonesia yang berkantor di Kudus hanya berjarak 50 kilometer dari Semarang.
Melahirkan tiga rokok mild di tiga perusahaan berbeda. Bagaimana Warsianto memandang rokok Mild hasil rancangannya itu? Meski ketiga rokok itu sama-sama mild, bagi dia, ketiganya diciptakan bukan untuk bersaing dan merebut pasar satu sama lain. Yang sebenarnya terjadi, katanya, ketiganya sukses mengembangkan segmen mild di Tanah Air.
Sekalipun pendatang baru, Warsianto mengaku bangga dengan kinerja Clas Mild. Sebab, hanya dalam setahun, produk ini terjual di atas 1,5 miliar batang, tahun kedua 3,5 miliar batang dan tahun ketiga 5,5 miliar batang. Pertumbuhan tersebut bahkan di atas dua mild pendahulunya. Warsianto memang hebat.
Bagaimana pendapat Anda?
By Ari Satriyo Wibowo
Muhammad Warsianto merupakan arsitek lahirnya beberapa produk blockbuster rokok mild terkemuka di Indonesia yakni A Mild (Sampoerna), Star Mild (Bentoel) dan Class Mild (PT NTI Indonesia, bagian dari Grup Nojorono Kudus). A Mild menguasai sekitar 60% pangsa pasar rokok mild. Posisi kedua dipegang Class Mild. Sementara di urutan kedua diduduki Star Mild dan LA Light dalam porsi berimbang. Total keempat merek itu menguasai 90% rokok mild di Indonesia. Adapun sisanya dipegang rokok mild lain.
Pria kelahiran Semarang, 18 Oktober 1955 itu menempuh pendidikan hingga SMA di Kudus karena kedua orangtuanya bertugas sebagai guru SD di kota tersebut. Lulus SMA ia melanjutkan pendidikan ke Jurusan Teknologi dan Mekanisme Pertanian di IPB (1975-1979).
Karena kira-kira setahun dalam matrikulasi pendidikan IPB diajarkan tentang Agronomi Pertanian maka setelah lulus pada 1979 ia mengikuti management trainee BAT (British American Tobacco) di Bali untuk bercocok tanam tembakau. Di sana karirnya dimulai sebagai Tobacco Buying Officer dengan tambahan tugas membina petani serta melakukan percontohan.
Pada waktu itu posisi rokok putih di Indonesia masih merajai pasar rokok Indonesia dengan merek-merek terkenal produksi BAT seperti Ardath, Commodore dan 555.
Setahun di Bali kemudian Warsianto dipindahkan ke Lombok juga untuk mengembangkan tanaman tembakau jenis Virginia di sana selama setahun. Saat ini Lombok sudah menjadi sentra produksi tembakau Virginia terbesar dunia yang ada di Indonesia.
Dari Lombok kemudian ia dipindahkan ke pabrik BAT di Kobong, Kaligawe, Semarang. Waktu itu BAT memiliki dua pabrik yakni di Semarang dan Cirebon. Tetapi pusat peracikan tembakau atau lazim disebut Tobacco Blender hanya terdapat di kota Semarang. Di sinilah ilmu tentang peracikannya diasah dan Warsianto kemudian mengembangkan blending bermacam-macam merek. Bahkan, iseng-iseng, di sela-sela kesibukan kerja, ia meracik rokok sendiri.
Setelah bekerja sebagai tobacco blender --- yang bertanggung jawab pada pencampuran rasa atau formulasi tembakau --- di BAT Semarang selama 2 tahun kemudian Warsianto dipindahkan ke kantor pusat BAT di Jakarta sebagai Product Development Manager (1984-1987). Kini tugasnya tidak sekadar mengawasi proses percikan tetapi sudah menyangkut pengembangan produk secara luas.
Sebagai Product Development Manager BAT itulah Warsianto mulai mengenal pengembangan produk baru. Waktu itu ia antara lain menangani pengembangan Ardath, pergantian desain kemasan (pack design change) dan peluncuran produk baru (launching new product). Jabatan itu menuntutnya kompeten secara teknis maupun pemasaran di lapangan.
Warsianto mengaku amat bersyukur bergabung dengan perusahaan itu. Karena BAT memiliki sistem manajemen training yang amat jelas dan bagus.
Pria kelahiran Semarang, 18 Oktober 1955 itu menempuh pendidikan hingga SMA di Kudus karena kedua orangtuanya bertugas sebagai guru SD di kota tersebut. Lulus SMA ia melanjutkan pendidikan ke Jurusan Teknologi dan Mekanisme Pertanian di IPB (1975-1979).
Karena kira-kira setahun dalam matrikulasi pendidikan IPB diajarkan tentang Agronomi Pertanian maka setelah lulus pada 1979 ia mengikuti management trainee BAT (British American Tobacco) di Bali untuk bercocok tanam tembakau. Di sana karirnya dimulai sebagai Tobacco Buying Officer dengan tambahan tugas membina petani serta melakukan percontohan.
Pada waktu itu posisi rokok putih di Indonesia masih merajai pasar rokok Indonesia dengan merek-merek terkenal produksi BAT seperti Ardath, Commodore dan 555.
Setahun di Bali kemudian Warsianto dipindahkan ke Lombok juga untuk mengembangkan tanaman tembakau jenis Virginia di sana selama setahun. Saat ini Lombok sudah menjadi sentra produksi tembakau Virginia terbesar dunia yang ada di Indonesia.
Dari Lombok kemudian ia dipindahkan ke pabrik BAT di Kobong, Kaligawe, Semarang. Waktu itu BAT memiliki dua pabrik yakni di Semarang dan Cirebon. Tetapi pusat peracikan tembakau atau lazim disebut Tobacco Blender hanya terdapat di kota Semarang. Di sinilah ilmu tentang peracikannya diasah dan Warsianto kemudian mengembangkan blending bermacam-macam merek. Bahkan, iseng-iseng, di sela-sela kesibukan kerja, ia meracik rokok sendiri.
Setelah bekerja sebagai tobacco blender --- yang bertanggung jawab pada pencampuran rasa atau formulasi tembakau --- di BAT Semarang selama 2 tahun kemudian Warsianto dipindahkan ke kantor pusat BAT di Jakarta sebagai Product Development Manager (1984-1987). Kini tugasnya tidak sekadar mengawasi proses percikan tetapi sudah menyangkut pengembangan produk secara luas.
Sebagai Product Development Manager BAT itulah Warsianto mulai mengenal pengembangan produk baru. Waktu itu ia antara lain menangani pengembangan Ardath, pergantian desain kemasan (pack design change) dan peluncuran produk baru (launching new product). Jabatan itu menuntutnya kompeten secara teknis maupun pemasaran di lapangan.
Warsianto mengaku amat bersyukur bergabung dengan perusahaan itu. Karena BAT memiliki sistem manajemen training yang amat jelas dan bagus.
Ia merasa beruntung karena di sinilah ia mulai dikenalkan dan diajarkan beragam hal seputar rokok. Mulai dari segi flavour, peracikan, penjualan, komunikasi, pemasaran, sampai assesment. Warsianto jadi tahu cara melacak kekuatan dan kelemahan rokok. Yang membuatnya tambah senang, BAT juga menyekolahkannya. Tak heran, baginya, ia memiliki dua universitas: IPB dan BAT. Ilmu pengetahuan pangan didapat dari IPB, sementara ilmu rokok didapat dari BAT.
Sekitar 1988, Sampoerna mengerahkan head hunter untuk mencari eksekutif untuk pengembangan produk baru mereka. Saat itu Putera Sampoerna baru kembali dari AS dan membutuhkan orang-orang yang berpengalaman dan kompeten dalam bidangnya.
Setelah berkarir selama 9 tahun di BAT, Warsianto mengaku tertarik bergabung dengan Sampoerna selain kompensasi yang ditawarkan lebih baik, juga disebabkan di BAT tak mungkin dikembangkan produk berbahan baku sigaret, sesuatu yang dimungkinkan di Sampoerna. Dalam benaknya, ia akan mengembangkan produk baru dengan bahan baku sigaret
Di Sampoerna, Warsianto menjabat sebagai Head of New Product Development pada usianya yang masih 33 tahun. Pada waktu itu posisi Sampoerna kecil karena omset produk unggulan perusahaan seperti Dji Sam Soe masih kalah dibandingkan Menak Djinggo yang merupakan produk dari Norojono, Kudus. Mulailah Warsianto dan tim manajemen di bawah pimpinan Putera Sampoerna membangun infrastruktur mulai personalia, organisasi dan sistem.
Mala-mula tugasnya adalah melakukan product maintenance Dji Sam Soe dan Sampoerna Hijau. Secara simultan dilaksanakan pula pengembangan produk baru. Di sinilah sejarah A Mild yang merupakan pelopor rokok Mild dimulai.
Pada waktu itu rokok putih merajai pasar dengan basis daerah Sumatera sebesar 70% dan sisanya 30% ada di Jawa. Dari tahun ke tahun terjadi penurunan dari rokok putih ke rokok kretek. Tetapi penurunannya nggak terlalu cepat karena rokok kretek citranya masih rendah. Karena pada tahun 1988 orang masih malu mengonsumsi rokok kretek. Kalau pun menghisap rokok kretek hal itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi di kamar mandi atau toilet. Sedangkan, bila bergaul dengan teman-teman rokok yang dihisap adalah rokok putih.
Waktu itu memang kalau konsumen ingin menikmati rasa mereka cenderung memilih rokok kretek. Karena pada dasarnya orang Indonesia suka yang rokok yang beraroma (spicy) karena terdapat cengkeh, saos berikut rasa manis. Sementara rokok putih terasa tawar (plain).” Ibarat roti rokok putih itu roti tawar tetapi gengsinya menang,” tutur anak sulung 8 bersaudara dari pasangan guru SD, Wardoyo dan Siti Fatimah ini.
Jadi konsumen yang ingin menikmati cita rasa rokok menghisap rokok kretek di rumah sementara untuk pergaulan yang dihisap rokok putih karena lerbih bergengsi.
Hal lain yang membuat orang ragu-ragu dengan rokok kretek adalah karena konsumen mulai sadar kesehatan. Pada waktu itu rokok putih memiliki kadar tar dan nikotin rendah. Sementara rokok kretek memiliki kadar tar dan nikotin yang tinggi. “Jadi konsumen agak takut-takut menghisap rokok kretek,” Warsianto menambahkan.
“Karena ada celah seperti itu akhirnya terpikir mengapa tidak mengembangkan suatu produk sebagai jembatan (bridging) antara rokok putih dan rokok kretek,” katanya. Sebuah produk baru yang mampu memenuhi kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) konsumen dalam dua hal. Pertama, dari segi citra atau penampilan setara dengan rokok putih. Kedua, dalam hal kadar tar dan nikotin juga dapat menjadi lebih rendah sehingga seimbang dengan rokok putih
Segera Warsianto membuat studi dan proposal ke manajemen puncak untuk pengembangan sebuah kategori rokok baru yang belakangan lebih dikenal sebagai rokok Mild.
Pada dasarnya rokok kretek menggunakan cengkeh yang memiliki kadar eugenol tinggi. Padahal eugenol memiliki kontribusi terhadap kandungan tar sehingga semakin besar euginol maka kadar tar-nya pun juga semakin tinggi.Selain itu, rokok kretek menggunakan tembakau yang berat (heavy) berupa tembakau rajangan yang tidak digunakan pada rokok putih.
Dari hal semacam itu kemudian Warsianto mulai mengembangkan satu jenis rokok kretek yang bisa dikurangi kadar tar dan nikotin sekaligus memiliki penampilan tidak kalah dibandingkan rokok putih.
Demi keperluan itu pada jenis tembakau dilakukan modifikasi dan teknologi pengolahannya dikembangkan meliputi teknologi filtrasi (untuk filter atau penyaring) , teknologi perforasi (untuk ventilasi) dan teknologi prosesnya. Tembakau yang digunakan tetap tembakau rajangan tetapi dipilih yang memiliki kandungan tar dan nikotin tidak terlalu tinggi melalui uji di laboratorium.
Agar tar dan nikotin rendah maka disain sigaret perlu dirumuskan dengan jeli termasuk pemilihan jenis filter dan perforasi untuk ventilasi pada rokok. Dengan cara tersebut dapat diprediksi kadar tar dan nikotin yang diperoleh dengan komposisi tembakau, cengkeh, saos. Dengan rekayasa tertentu dapat dihitung secara matematis kadat tar dan nikotin yang diharapkan. Misalnya, dikehendaki tar 15 dan nikotin 1 maka angka tersebut dimundurkan terlebih dahulu. Kemudian ditetapkan jenis tembakau, filter, perforasi yang digunakan agar hasilnya mendekati dengan bilangan yang dikehendaki.
Pada 1992 karena ingin menjadi entrepreneur maka Warsianto menjadi partner Markplus bersama Kresnayana Yahya. Di sana ia sempat memegang beberapa klien di antaranya Wismilak dan Cat Emco . Tetapi ia hanya bertahan menjadi konsultan selama 3 tahun saja. ”Tampaknya dunia konsultan bukan dunia saya. Saya memang happy menjadi konsultan tetapi karena dalam banyak hal yang orang lain yang mengerjakannya akhirnya upayanya menjadi kurang optimal karena gagasannya tidak 100 % bisa dijalankan, ” ungkap Warsianto.
Tahun 1995 ketika terjadi peralihan manajemen PT Bentoel Prima dari pemilik lama ke Grup Rajawali maka Warsianto ditawari menjadi GM Pemasaran. Warsianto diminta Peter Sondakh untuk mengembangkan produk rokok mild baru di perusahaan yang berkantor pusat di Malang itu. Pada waktu itu penjualan Bentoel Biru Internasional sedang mengalami penurunan.
Pada 5 September 1996 keluarlah Star Mild. Produk itu cukup sukses dengan penjualan tahun 2000 mencapai 5,4 miliar batang. “Rokok itu nilainya tinggi sekali, omsetnya bisa triliunan rupiah, lain dengan customer product yang lain,” kata Warsianto.
Setelah 6 tahun bergabung, pada 2001 ia memutuskan keluar dari PT Bentoel Prima dan bergabung dengan NTI Indonesia, salah satu bagian dari PT Nojorono yang selama itu dikenal sebagai produsen rokok kelas bawah seperti Minak Djinggo, Niki dan Niko, pada bulan Juni 2002. Waktu itu, penjualan Star Mild mencapai 5,5 miliar batang per tahun. Alasan kepindahannya sangat sederhana yakni ingin kembali ke Semarang. Selama bertahun-tahun ia bekerja jauh dari anak-istrinya yang tinggal di ibukota Semarang itu. Keluarganya lebih betah di tinggal di Semarang. Kalau di PT Bentoel Prima ia harus bolak-balik antara Malang dan Jakarta maka NTI Indonesia yang berkantor di Kudus hanya berjarak 50 kilometer dari Semarang.
Melahirkan tiga rokok mild di tiga perusahaan berbeda. Bagaimana Warsianto memandang rokok Mild hasil rancangannya itu? Meski ketiga rokok itu sama-sama mild, bagi dia, ketiganya diciptakan bukan untuk bersaing dan merebut pasar satu sama lain. Yang sebenarnya terjadi, katanya, ketiganya sukses mengembangkan segmen mild di Tanah Air.
Sekalipun pendatang baru, Warsianto mengaku bangga dengan kinerja Clas Mild. Sebab, hanya dalam setahun, produk ini terjual di atas 1,5 miliar batang, tahun kedua 3,5 miliar batang dan tahun ketiga 5,5 miliar batang. Pertumbuhan tersebut bahkan di atas dua mild pendahulunya. Warsianto memang hebat.
Bagaimana pendapat Anda?
|