Google

Wednesday, December 5, 2007

Algae Merah Sebagai Bahan Kertas, Obat dan Sumber Energi

Topic : Academic - Government

By Yuni Ikawati

Daratan sebagai habitat manusia, dari waktu ke waktu, kian berkurang kenyamanannya. Bahkan, kini keberadaannya terancam. Kawasan hutan yang menipis membuat kemarau begitu terik dan tanah tererosi hebat kala musim hujan.

Sementara itu, akibat mencairnya lapisan es di kutub karena pemanasan bumi, lambat tetapi pasti permukaan laut merangkak menelan luas daratan di kawasan pesisir.

Menghadapi ancaman bagi kehidupan makhluk di bumi Nusantara ini, adakah upaya membendungnya? Salah satu kata kuncinya adalah menyelamatkan hutan yang tersisa dan mereboisasi kawasan hutan yang gundul. Namun, mewujudkan tujuan mulia itu bukan perkara mudah. Kekuatan "penghancur" begitu kuat bercokol.

Meski begitu, upaya terus dilakukan untuk menekan eksploitasi hutan, salah satunya dengan memanfaatkan rumput laut sebagai bahan baku kertas dan bahan bakar. Penggunaan rumput laut alga merah (Rhodophyceae) sebagai bahan baku kertas diuji coba pada skala laboratorium pertama kali di Universitas Nasional Chungnam, Korea Selatan, September 2004.

Keberhasilan uji coba itu membuat Churl Hack-you, peneliti Korea Selatan dari Pegasus International Co, mulai melirik Indonesia untuk pengembangan budidaya dan pengolahannya pada skala industri. Untuk itu, ia bermitra dengan Grevo S Gerung dari Universitas Sam Ratulangi untuk meneliti potensi alga merah dari genus ptilophora dan gelidium sebagai bahan baku kertas. Dua lembaga tersebut juga melakukan penelitian penggunaan rumput laut untuk bahan bakar nabati.

Pengembangannya lebih lanjut, jelas Jana T Anggadiredja selaku Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), mulai tahun depan BPPT serta Departemen Kelautan dan Perikanan juga akan terlibat dalam penelitian untuk mengkaji teknis pembuatan kertas dari rumput laut. "Untuk bioetanol atau etanol selulosik, tahun depan BPPT juga akan melakukannya untuk skala laboratorium," tambah Jana, yang juga Ketua Indonesia Seaweed Society.

Alga merah vs kayu

Dibandingkan dengan penggunaan kayu yang telah menurun ketersediaannya di alam, menyusul pelarangan penebangan hutan, rumput laut merupakan alternatif yang menjanjikan.

Bila kayu baru dapat dipanen setelah puluhan tahun pertumbuhannya, pulp dari alga merah tingkat pertumbuhannya cepat, yaitu 7 persen-13 persen massa per hari. Paling tidak begitulah menurut penelitian UCLA Berkley, Amerika Serikat. Di Korea bahkan sampai 20 persen.

"Proses pembuatannya ramah lingkungan karena tidak memerlukan bahan kimia dan konsumsi energinya juga rendah," ujar Churl dalam forum diskusi yang diselenggarakan Departemen Kelautan dan Perikanan dan BPPT, beberapa waktu lalu.

Sebaliknya, pulp dari bahan kayu menggunakan kimia beracun, seperti natrium hidroksida dan natrium sulfat. Konsumsi energinya pun tinggi dan biayanya mahal.

Tingkat pertumbuhan alga merah lebih dari 100 ton kering per hektar per tahun. Untuk pembudidayaan dan pengolahan skala besar memerlukan dana di bawah 50 dollar AS per ton kering. Sementara biaya untuk pengolahan kayu sekitar 150 dollar AS per ton kering. Kelebihan lain alga merah adalah mampu mengonsumsi CO2 .

Serat alga merah memiliki kelenturan yang tinggi. Hal ini memungkinkan proses pembentukan yang baik. Karena dapat menahan zat anorganik dalam jumlah besar, alga merah dapat menjadi kertas pelapis (overlay paper) dan sebagai kertas filter karena tidak memerlukan proses pemurnian atau penjernihan.

Karakteristik lain adalah tidak berbau ketika dibakar sehingga dapat juga dijadikan kertas rokok. Karena tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun, kertas dari rumput laut ini dapat pula digunakan untuk keperluan makanan dan medis.

Dengan berbagai kelebihan ini, rumput laut kini dikembangkan untuk berbagai keperluan. Saat ini ada sekitar 500 produk komersial yang memanfaatkan bahan baku rumput laut. Sebagai negara bahari, banyak spesies yang ditemukan dapat dibudidayakan, seperti Gracillaria, Euchema Cottonii, dan E Spinosum.

Dilihat dari teknologi budidayanya, rumput laut tergolong sederhana sehingga dapat melibatkan rumah tangga nelayan, terutama kaum wanita atau ibu rumah tangga.

"Dengan begitu, tingkat pendapatan keluarga nelayan dapat meningkat dan menyerap banyak tenaga kerja," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi.

Sumber : "Penyelamatan Lingkungan Pesisir", Kompas, 5 Desember 2007