Google

Thursday, February 21, 2008

PP No.2/2008 Hancurkan Hutan RI


Kerusakan lingkungan kembali menuai bencana. Banjir yang melanda tiga kabupaten di Kalimantan Selatan, kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru, pada pertengahan Juni 2007 diduga akibat penambangan batubara di kawasan hutan dan maraknya penebangan liar. Akibat banjir produksi listrik di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Asam-asam anjlok dan ribuan warga menderita.

Penebangan kayu di Kalimantan Selatan mulai marak tahun 1970-1980-an, tiga kabupaten tersebut dijadikan sebagai tempat pesta tebang kayu oleh pemegang HPH. Pembalakan belum selesai, pertambangan batubara ilegal mulai marak tahun 1985, bahkan sampai merambah kawasan hutan. Aktivitas tersebut membuat area tangkapan air rusak dan akhirnya mengakibatkan banjir. Hutan yang semakin kritis dan banyaknya bekas lubang tambang yang dibiarkan menganga juga menjadi salah satu penyebab berkembangnya nyamuk anopheles, pembawa malaria Di Kalimantan Selatan, serangan malaria dalam 5 bulan terakhir (saat itu pada tahun 2007) membuat 20 orang meninggal.

Setelah pertambangan merambah kawasan hutan di Kalimantan Selatan, saat ini sekitar 61.707 hektar hutan lindung di kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan terancam penambangan emas. Sebagian besar kawasan eksplorasi adalah kawasan hutan lindung yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air untuk daerah aliran sungai.


Topic : Government

By Martin Sihombing, Bisnis Indonesia

Peraturan Pemerintah (PP) No.2/2008 yang dikeluarkan Dephut merupakan penghancur hutan dan kesalahan awal pemerintah dalam menjaga kelangsungan dan keberlanjutan lingkungan dari perusakan akibat kegiatan penambangan.

Hal itu dikemukakan oleh sejumlah pihak Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) UGM, Revrisond Baswir, Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Hariadi Kartodihardjo dan Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Deni Jasmara, kemarin.

Dalam PP No.2/2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Bukan Pajak yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembanguan di luar Kegiatan Kehutanan, pemerintah a.l. mengenakan pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp3 juta per hektare per tahun untuk penggunaan areal hutan lindung bagi penambangan terbuka yang bergerak secara horisontal.

"Tarif tersebut juga akan dikenakan untuk kegiatan penambangan bawah tanah," kata Kepala Badan Planologi (Baplan) Dephut, Yetti Rusli.

Deni Jasmara, Direktur Eksekutif Walhi Jabar, mengungkapkan tarif sewa hutan lindung dan hutan produksi yang diberlakukan itu tidak ideal dan sangat murah apabila digunakan untuk keperluan komersial.

Belum lagi, lanjutnya, PP tersebut mengenyampingkan dampak penggunaan lahan hutan terhadap kondisi lingkungan. Tarif sewa per hektare berdasarkan PP tersebut sangat murah bila dibandingkan dengan dampaknya nanti terhadap masyarakat sekitar hutan.

"Jangan sampai kegiatan mereka [penyewa] mengubah bentang alam dengan kegiatan-kegiatan penambangan atau penggalian," ujarnya.

Kalau melihat kondisi hutan di Jabar, kata dia, masih tingginya tingkat lahan kritis yang mencapai 580.397 ha, akibat eksploitasi hutan sehingga sangat tidak memungkinkan untuk disewakan ke komersial.

Sementara itu, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) UGM, Revrisond Baswir investasi dan penggunaan areal hutang lindung bagi penambangan terbuka sama artinya dengan melegalisasi perusakan lingkungan. Apalagi pungutan PNBP untuk penggunaan areal hutan lindung bagi penambangan terbuka yang bergerak secara horisontal.

Dia mengatakan investasi pertambangan di kawasan hutan lindung tidak boleh dilakukan. "Seharusnya dihapus karena dapat dipastikan akan merusak lingkungan," kata Revrison, kepada Antara kemarin.

Kegiatan tambang di areal hutan lindung sebaiknya dihentikan. "Itu tidak semestinya dilakukan terlebih hanya pengenaan PNBP Rp3 juta per hektare per tahun."

Menurut dia, keputusan yang diambil Dephut tersebut merupakan kesalahan awal yang dilakukan pemerintah dalam menjaga kelangsungan dan keberlanjutan lingkungan dari perusakan akibat kegiatan tambang.

Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Hariadi Kartodihardjo aksi pemerintah menerbitkan PP No.2/ 2008 dikhawatirkan bakal berdampak buruk bagi pelestarian hutan di Indonesia.

Menurut dia, peraturan memiliki banyak kelemahan, mulai dari cacat hukum hingga minimnya nilai kompensasi penggunaan kawasan hutan lindung untuk pertambangan. Ini bertentangan dengan pasal 38 Undang-Undang 41/1999 tentang Kehutanan. (k38) (martin.sihombing@bisnis.co.id)

Sumber : Harian Bisnis Indonesia, Kamis, 21 Februari 2008