Google

Saturday, February 2, 2008

Menristek Kusmayanto Kadiman : Jadikan Iptek Seksi Bagi Politisi



Topic : Academic, Business, Government

By Ari Satriyo Wibowo


Penelitian di Indonesia kembali mendapat ruhnya dengan hadirnya provokator yang hebat seperti dr. Boenjamin Setiawan, PhD selaku Chairman Stem Cell and Cancer Institute (SCI) yang menjadi pemrakasa berdirinya Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI). “Bagaimana melalui pemikiran yang sangat provokatif kita diajak untuk melihat mulai dari ABG yang sangat umum sampai yang detail seperti mengenai stem cell,” ujar Menristek Kusmayanto Kadiman dalam pidato peresmian berdirinya ASPI di Jakarta, Sabtu, 2 Februari 2008.

Kusmayanto memuji dr. Boen bukan sekadar mengeluhkan mengenai perkembangan penelitian tetapi juga bagaimana agar penelitian itu bisa hidup, berkembang dan kemudian memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa.

Selama ini, bangsa Indonesia dikenal miskin dalam penelitian. Sudah begitu, miskin pula dalam penulisan. Tidak mengherankan bila pujangga Taufik Ismail menyebut bangsa Indonesia sedang menderita penyakit Rabun Membaca, Lumpuh Menulis. “Saya (terpaksa) menerima kalimat itu dengan pahit, “ papar Kusmayanto.

Secara berkelakar Kusmayanto mengaku bersedia menjadi Ketua Dewan Pembina ASPI karena dua faktor yang sama dominannya. Pertama, karena tidak ada yang bersedia menjadi ketua. Kedua, ia memberanikan diri menjadi ketua karena tidak tahu banyak mengenai stem cell. “Kalau sudah tahu barangkali lain cerita,” ujarnya.

Mengenai pemilihan istilah “Punca” Kusmayanto menegaskan bahwa kata tersebut bukan kata baru yang diciptakan ASPI. Pada tahun 1950-an , misalnya, sudah beredar Kamus Punca Bahasa Indonesia, Kamus Punca Bahasa Jepang, Kamus Punca Bahasa Inggris dan Kamus Punca Bahasa Cina. Makna “punca” memiliki padanan dengan kata-kata “fundamental, basis, dasar, asal, muara, induk dan original (asli)” yang diharapkan mampu menggantikan makna “stem” dari istilah Stem Cell.

Menurut Kusmayanto terdapat tiga misi yang akan diemban ASPI yakni dalam hal etika, hukum dan sosial. ASPI juga akan menjadi tempat bagi siapa saja yang ingin bertanya mengenai sel punca. Melakukan pembelajaran publik baik itu dalam menciptakan daya tarik (creating awareness) sampai menengok hal-hal yang sulit, misalnya, soal pendirian bank stem cell di Indonesia.

Bila terdapat isu mengenai etika maka ASPI tidak segan-segan untuk berafiliasi dengan bagian lain, misalnya, dengan Komite Bioetika Nasional. Sebab bila masalah ilmiah banyak ahlinya tetapi yang paling susah diukur adalah masalah etika karena menyangkut norma, adat-istiadat, agama dan sebagainya.


Demikian pula kemajuan iptek dan hukum adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Kemajuan iptek sangat pesat sekali sementara hukum amat lambat.

Kusmayanto mengibaratkan hukum menggunakan ilmu ular sementara iptek mempraktikan ilmu ayam. Ayam itu setiap hari mematukkan paruhnya ke tanah untuk mencari makan sebab bila tidak begitu ayam akan kelaparan dan mati. Sementara, ular cukup makan besar sekali kemudian melakukan tidur panjang. Aspek hukum untuk berubah memiliki periode yang panjang. Sementara, kemajuan iptek memiliki periode jauh lebih pendek. Hal itu secara alamiah terjadi tidak hanya di dunia kesehatan tetapi juga di bidang teknologi informasi. Ketika komputer pribadi ditemukan pada tahun 1970-an maka lama sekali baru muncul istilah computer crime. “Sampai ada kisah lucu ketika polisi menganggap terjadi computer crime kalau ada orang yang mencuri komputer,” ujar Kusmayanto.

Bagaimana agar riset dan penelitian bisa berkembang dengan baik? Hal itu bisa terjadi apa bila pemerintah dan swasta bisa bekerjasama dengan baik. Kemudian Kusmayanto menemukan model yang ia namakan “model ABG triple helix yang serasi bukan berbenturan satu sama lainnya” . Tetapi agar terjadi kerjasama ABG harus terdapat “external forces” yang menyenangkan ketiga komponen itu yang kemudian mengikat satu pita dengan pita yang lain.

Misalnya, harus ada upaya agar pihak swasta tertarik untuk melakukan penelitian. Salah satu komponen yang memperbesar keuntungan bagi pihak swasta adalah kalau mereka bisa membayar pajak lebih sedikit sehingga otomatis keuntungannya akan lebih besar.

Oleh karena itu, bagi swasta yang membelanjakan sebagian uangnya untuk penelitian itu boleh diperhitungkan sebagai kewajibannya. Di Malaysia, misalnya, Menristeknya dengan bangga mengatakan ,” Every single Ringgit that is spend for research I double your tax incentive.” Jadi kalau dia sebuah perusahaan di Malaysia membelanjakan satu Ringgit untuk penelitian maka pajaknya akan dibebebaskan dua Ringgit. Indonesia masih belum berani menempuh seperti Malaysia dan memberikan insentif "one to one" kepada swasta melalui PP No. 35/2007.

Yang menjadi tantangan adalah mampukah Iptek, Riset dan Penelitian menjadi pembicaraan penting bagi khalayak ramai dan para politikus yang naik panggung dalam rangka pemilihan presiden maupun pilkada.

Dalam catatan berbagai media massa selama masa kampanye 2003/2004 lalu dalam janji kampanye tidak ada satu politikus pun yang menyebut kata Iptek, Riset atau Penelitian dalam kampenye mereka. “Layakkah kita salahkan mereka? Tidak kita yang salah,” tutur Kusmayanto.

Ia mengeritik para peneliti yang katanya berjuang keras kenyataannya malahan tiarap di pentas politik. “Kalau peneliti tidak bisa ikut manggung atau tidak mau manggung paling tidak memikirkan agar isu mengenai Iptek, Riset dan Penelitian dapat dipanggungkan.Dalam bahasa sederhana jadikan Iptek seksi bagi para politisi,” pungkasnya.

Bagaimana pendapat Anda?