Google

Wednesday, April 30, 2008

Indonesia Perlu Mengubah Grand Strategy dari Energi Tak Terbarukan Ke Energi Terbarukan

Topic : Government

By Ari Satriyo Wibowo


Saat ini krisis listrik sudah terjadi di mana-mana. Beberapa pembangkit listrik tak mampu beroperasi karena terlambat memperoleh pasokan batu bara akibat kondisi cuaca dan gelombang laut yang menyebabkan kapal tidak mungkin merapat. Bagaimana kiranya Indonesia mengatasi permasalahan energi khususnya listrik di masa depan?

Kali ini narasumber masih tetap Prof. Dr. Emil Salim, mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup RI beberapa tahun yang lalu. Keponakan tokoh pejuang Haji Agus Salim asal Sumatera Barat ini ternyata memiliki pemikiran yang amat cemerlang.

Emil Salim bermimpi di Sawahlunto dan Tanjung Enim, Sumatera Selatan yang saat ini merupakan lokasi tambang batu bara kelak di atasnya langsung dibangun pusat tenaga listrik. Jadi lokasi pertambangan batu bara di sana diubah menjadi pusat tenaga listrik dan tidak menjadi lokasi untuk ekspor batu bara. “ Sehingga batu bara yang ada di sana langsung dimanfaatkan tidak perlu diangkut-angkut lagi,” ujar pria yang kini sudah berusia 77 tahun itu.

Namun, prinsip utama yang menjadi pegangan Emil Salim adalah pergeseran dari sumber energi yang tak terbarukan (non renewable resources) ke sumber energi yang terbarukan (renewable resources).

Apa saja sumber energi yang tak terbarukan itu? Mereka terdiri dari :

1. Bahan bakar fossil
2. Minyak bumi
3. Gas
4. Batu bara
5. Nuklir

Menurut Emil Salim, sumber energi tak terbarukan itu, menurut hukum termodinamika, bila dibakar akan menghasilkan produk sampingan berupa zat cemar.

Kadar zat cemar pada batu bara paling tinggi, disusul oleh minyak bumi. Gas zat cemarnya sedikit dan nuklir lebih sedikit lagi. Namun, pada hakikatnya mereka adalah sumber energi yang tak terbarukan yang mengandung makna sebagai berikut :

1. Karena tidak terbarukan maka energi itu bisa habis.

2. Melahirkan pencemaran. Pencemaran itu tidak hilang di bumi melainkan menggantung di udara sehingga menyebabkan konsentrasi CO2 menjadi menebal. Dampaknya ketika sinar matahari masuk ke bumi, bumi menjadi panas. Dahulu ketika semua panas bumi lepas ke udara maka suhu bumi menjadi normal kembali. Sekarang karena adanya selimut konsentrasi gas CO2 menyebabkan bumi menjadi semakin panas.

3. Pembangunan berdasarkan sumber energi yang tak terbarukan memiliki masa akhir. Jadi sumber tak terbarukan memiliki masa akhir termasuk di dalamnya energi nuklir. Artinya, jika minyak bumi habis maka pembangunan akan berhenti pula. Oleh karena itu, secara prinsipil sumber energi tidak terbarukan harus diganti dengan sumber energi yang terbarukan.

Sumber energi terbarukan yang paling utama adalah matahari. Batu bara adalah hasil dari energi matahari. Begitu pula minyak merupakan hasil dari energi matahari.

Oleh karena itu, matahari merupakan sumber energi terbarukan nomor satu. Lalu mengapa Indonesia yang berada di garis khatulistiwa tidak memanfaatkannya? Dunia, khususnya Amerika Serikat dan Eropa tidak memanfaatkan matahari karena di negara-negara itu matahari hanya bersinar pada waktu musim panas saja . Sementara, Republik Indonesia selama setahun terpapar sinar matahai selama 12 bulan karena berada di jalur ekuator. “Kalau dunia Barat seperti AS, Kanada, Soviet, Eropa tidak mengembangkan energi matahari karena kondisi cuaca tidak cocok untuk dikembangkan di sana,” Emil Salim menambahkan.

Menurut Emil Salim sumber energi terbarukan yang layak dikembangkan adalah sebagai berikut :

1. Energi Surya
2. Energi Angin
3. Energi Gelombang Laut
4. Energi Geothermal
5. Energi Arus Sungai atau mikrohidro.
6. Energi Biomassa

Energi angin potensial dikembangkan karena Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 80.000 kilometer yang dapat dimanfaatkan untuk menangkap angin. Energi Gelombang Laut juga layak dikembangkan karena 2/3 wilayah Indonesia merupakan lautan sehingga sangat potensial sekali.

Di Kalimantan yang memiliki banyak sungai bisa dikembangkan energi mikrohidro. Kalimantan Timur, misalnya, memiliki 247 sungai yang potensial sebagai energi mikrohidro. “Satu pun belum dimanfaatkan untuk mikrohidro,” ujar Emil Salim dengan nada kecewa.

Hanya mengenai energi biomassa, Emil Salim memberikan catatan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan bukan negeri daratan atau benua seperti RRC, Amerika Serikat dan Eropa.”Oleh karena itu, pemanfaatan tanah itu pertama-tama harus untuk pangan terlebih dulu bukan energi,” tandasnya.

Produksi energi dilakukan di atas tanah yang tidak bisa digunakan untuk produksi pangan. Jadi kalau kemudian AS mendorong jagung sehingga harga jagung melonjak tinggi sehingga membuat orang tertarik mengekspor jagung. Apa yang terjadi? Lahan untuk tanaman kacang tanah atau kacang kedelai yang kemudian digantikan dengan penanaman jagung bukan untuk konsumsi dalam negeri tetapi ekspor. Akibatnya persediaan pangan dalam negeri hilang dan kemudian terjadilah kenaikan harga kacang kedelai dan tanaman biji-bijian lainnya. “Saya setuju pengembangan biofuel asalkan dengan syarat tidak mengorbankan pangan karena bagi saya tanah adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan terlebih dahulu, “ ujar Emil Salim tegas.

Kenapa Emil Salim tidak setuju energi nuklir? Hal itu karena bila dibangun reaktor nuklir maka dibutuhkan kapasitas besar untuk membiayai ongkos nuklir yang mahal.

Oleh karena kapasitasnya besar maka sistem distribusi transmisi yang tepat adalah sistem sentralisasi. Sistem tersebut cocok diterapkan di negara yang memiliki daratan luas seperti Brasil dan RRC. Tetapi bila diterapkan di negera kepulauan seperti Indonesia hal itu merepotkan karena untuk menghubungkan Jawa dan Sumatera, Jawa dan Kalimantan, Jawa dan Sulawesi pasti dibutuhkan kabel bawah laut. Penggunaan kabel bawah laut disamping mahal juga rawan terhadap pergeseran lempeng bumi dan gempa bumi.

Oleh karena Indonesia negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau maka sistem distribusi listriknya harus menganut sistem desentralisasi.

“Jadi kenapa pikiran kita harus pada yang besar-besar seperti energi nuklir ?” sanggah Emil. Di Northern Teritory, Australia sudah dikembangkan kincir angin untuk memanfaatkan angin sebagai sumber energi listrik. Mengapa NTT dan NTB yang di hadapan wilayah itu tidak bisa memanfaatkan energi angin?

Jadi menurut Emil Salim, grand strategy pemerintah perlu dirombak dari sumber energi tak terbarukan ke sumber energi terbarukan dengan menggunakan sistem desentralisasi masing-masing di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. “ Sekali fasilitas dipasang maka seumur hidup akan tetap ada karena bersifat terus menerus (renewable)”, pungkasnya.

Bagaimana pendapat Anda?