Google

Monday, April 21, 2008

Jadikan Politik Pangan Sebagai Kebijakan Utama 2008

Topic : Government

By Didik J. Rachbini, Ekonom & Ketua Majelis Wali Amanat IPB

Tantangan eksternal terhadap seluruh bidang ekonomi makin serius, baik di bidang keuangan, energi, pangan, dan lain sebagainya.Fluktuasi sektor keuangan di kutub AS ternyata sama rentan dengan kondisi Asean dan Asia Timur pada satu dekade yang lalu. Harga energi semakin tinggi jauh dari perkiraan ketika harga minyak bertengger di atas US$120 per barel.

Hal yang sama terjadi pada harga pangan dunia, terutama biji-bijian. Konsumsi pangan meningkat sejalan dengan kesejahteraan beberapa negara besar, seperti China dan India. Permintaan tersebut mengerek harga naik. Akibatnya golongan bawah dari penduduk di India dan China tidak dapat mengikuti kenaikan harga pangan tersebut.

Krisis pangan pada saat ini sudah mengglobal. Tidak seperti sebelumnya, krisis pada skala global hanya terjadi pada sektor keuangan. Akan tetapi pada dekade ini krisis pada level global sudah melebar ke bidang lainnya.

Kini masalah pangan sudah masuk ke domain politik dan menjadi persaingan keras antarrezim di semua negara untuk menyelamatkan rakyatnya. Karena sifatnya politik, levelnya berskala internasional dan masuk ke dalam domain kebutuhan dan hak asasi manusia atas pangan, kerja sama antarnegara kaya, berkembang dan miskin perlu digalakkan secara langsung, khususnya untuk pangan.

Korban krisis ini sudah mulai berjatuhan, seperti terjadi di Haiti dan Mesir. Perdana Menteri Haiti jatuh karena masalah pangan, yang sensitif sekali tidak hanya di negeri tersebut tetapi juga di seluruh belahan bumi.

Filipina pada tahun 1980-an dikenal sebagai pusat revolusi hijau, tetapi kini mengalami masalah dengan pangan. Antre beras sudah mulai terlihat di pasar-pasar. Pemerintahan Arroyo sudah meminta jaminan Vietnam untuk memenuhi pasokan dari impor.

Perlu antisipasi

Melihat gejala dan gejolak eksternal tersebut, maka kebijakan pangan harus tidak seperti biasanya (not as usual). Pemerintah harus serius dan cermat menjalankan politik pangan dan kebijakan ketahanan pangan dalam negeri karena tantangan eksternal sangat besar dan tidak pasti.

Komoditas pangan saat ini tidak hanya dikonsumsi sebagai makanan pokok umat manusia tetapi telah meluas menjadi bahan baku energi. Fenomena ini harus diantisipasi sebagai bagian dari gejala peningkatan harga pangan dunia. Jagung, tebu, kedelai, singkong, kelapa sawit dan komoditas pangan ditransformasikan menjadi energi sehingga permintaannya berganda dan sudah pasti cenderung meningkatkan harga.

Permintaan komoditas pangan dunia akan terus meningkat dan menimbulkan persaingan ketat antara permintaan pangan sebagai kebutuhan dasar manusia dan pangan sebagai bahan bakar industri.

Sudah dapat dipastikan akibat dari meningkatnya permintaan terhadap pangan, harga pangan akan ikut meningkat seiring dengan menurunnya persediaan pangan dunia.

Harga beras Vietnam beberapa waktu lalu naik mendekati US$500 per ton, ini merupakan kenaikan harga 60%-70%, yang semakin membuat pasar beras internasional tidak pasti, selain pasokannya kecil. Harga ini masih berpotensi mengalami kenaikan seiring belum adanya konsep yang jelas yang mengatur kebijakan kebutuhan pangan dunia.

Vietnam sebagai gudang beras dunia merupakan tolak ukur dalam menilai kondisi per berasan dunia. Bila kondisi beras di Vietnam saja mengalami volatilitas baik dari segi harga maupun ketersediaan, sudah dapat digambarkan volatilitas yang terjadi di luar Vietnam.

Filipina sebagai lumbung beras meminta Vietnam untuk menjamin pasokan berasnya ke negeri itu, padahal di negeri itu ada IRRI (International Rice Research Institute).

Kondisi ini menunjukkan bahwa kondisi perberasan dunia sedang mengalami krisis. Krisis pangan ini tidak boleh dianggap remeh karena berkaitan dengan kebutuhan dasar umat manusia.

Bila Indonesia bisa memanfaatkan kondisi ini dengan meningkatkan produksinya sampai pada tahap surplus dalam negeri, Indonesia akan mendapat untung yang berlimpah dari hasil perdagangan pangan ini.

Namun sebaliknya, jika Indonesia tidak bisa merespons positif terhadap kondisi ini, sudah dapat dipastikan Indonesia akan menjadi pihak yang sangat dirugikan.

Tingginya harga pangan dunia akan menyeret Indonesia pada jurang kemiskinan.

Karena itu pemerintah mutlak perlu menjadikan politik dan kebijakan pangan sebagai kebijakan utama pada 2008 dengan memperkuat institusi yang ada, peranan Bulog, dewan ketahanan pangan (yang pasif sekarang), perencanaan produksi yang baik, perbaikan infrastruktur irigasi, dukungan kredit petani, subsidi dan perbaikan benih.

Pemerintah sebenarnya sudah mempunyai instrumen yang cukup atau bahkan bisa dikatakan berlebih untuk menjaga kepentingan dan kebutuhan pangan dalam negeri. Bahkan instrumen-instrumen tersebut bisa dijadikan kebijakan dan media utama dalam merespons positif situasi yang sedang berkembang.

Negara lain bisa saja pesimistis dan kisruh dalam menghadapi krisis pangan dunia. Namun bagi Indonesia seharusnya menjadi modal besar, tantangan, dan prospek bagus pada masa datang karena ketersediaan lahan yang besar.

Sumber : Bisnis Indonesia, 21 April 2008