Topic : Academic, Business, Government
By Ari Satriyo Wibowo
Satu bulan yang akan datang, tepatnya 29 Mei 2008, kita akan memperingati Hari Lanjut Usia Nasonal. Sehubungan dengan itu blog ABGNET mewawancara Prof. Dr. Emil Salim dengan topik lanjut usia.
Prof. Dr. Emil Salim saat ini memang sudah lanjut usia. Pria kelahiran Lahat Sumatera Selatan, 6 Juni 1930 itu, sebelumnya dikenal menjabat berbagai jabatan menteri di kabinet zaman Presiden Soeharto. Kini selain tetap mengajar bagi mahasiswa S3 Ekologi di FE UI , iapun dipercaya menjadi anggota Dewan Penasihat Kepresidenan RI pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di bidang lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Mengawali pembicaraan Prof. Dr. Emil Salim mengaku baru saja pulang dari Swiss. Di sana ia bertemu teman lamanya yang berumur 82 tahun. Sang teman pensiunan sebuah lembaga PBB dan ia memilih tetap tinggal di Swiss untuk menghabiskan hari tuanya.
Ketika Emil Salim bertanya mengapa ia tidak kembali saja di Indonesia? Maka muncul jawaban dari sang teman sebagai berikut :
Pertama, perhatian pemerintah Swiss terhadap kaum lansia tinggi sekali. Dua kali seminggu kesehatan para lansia diperiksa.
Kedua, secara periodik sekali dalam seminggu mereka memperoleh contoh makanan bergizi gratis sebagai patokan menu makanan yang akan dikonsumsi pada minggu berikutnya.
Ketiga, para lansia dirangsang untuk menggunakan otak pikirannya dengan memperoleh pelatihan komputer . Diajarkan kepada program-program mudah standar di komputer dan cara mengakses Internet. Yang penting menurut teman Emil Salim itu terjadi aktivitas otak.
Keempat, secara teratur ada kegiatan bersama yang diorganisir pemerintah lokal seperti main beridge bersama, jalan bersama, berwisata bersama. Aktivitas itu tergantung pada bulannya. Pada bulan-bulan di musim semi maka itulah saatnya berwisata, sementara bila bulan sudah mendekati natal maka aktivitasnya adalah nyanyi bersama.
Kelima, ada aktivitas counceling bagi lansia yang merasa depresi. Bahkan bila si lansia merasa kesepian maka yang bersangkutan dapat menelpon untuk memperoleh teman bicara. “I need a companion,” begitulah permintaannya di telepon dan tak lama akan datang seseorang mendampingi dan sang lansia dapat mencurahkan mengenai keresahan hatinya secara bebas.
Dengan cara-cara itu maka si lansia dapat berujar,”I feel recognized. Aku ini manusia. Aku bukan laskar tak berguna. Saya tetap dihargai dan diperhatikan karena ada perhatian dari pemerintah.”
Demikian pula kondisi jalanan di Swiss. Di sana ada fasilitas khusus yang memberikan prioritas bagi kaum lansia. Oleh karena itu,sang teman bertanya, apakah bila ia kembali ke tanah air akan menerima segala hal seperti itu.Ia tahu bahwa Negara tidak sanggup, tidak mampu dan tidak kaya untuk memberikan fasilitas seperti itu bagi kaum lansia.
Tetapi apakah ada organisasi social yang dapat melakukan hal itu untuk Eldery people. Bila pemerintah tidak bisa apakah ada organisasi swasta atau sosial yang mampu menyediakan?
Prof. Dr. Emil Salim kemudian bercerita tentang istrinya yang memiliki perhimpunan AUSSIE dan mendirikan rumah jompo di Jalan Bandung, Cinere, Depok.
“Di Indonesia awalnya dianggap aneh.Ada orangtua kok ditaruh di rumah jompo karena di sini masih ada tanggung jawab anak dan macam-macam,” ujarnya.
Orang perlu memahami bahwa kaum lanjut usia itu ternyata menghendaki lingkungan atau sahabat di mana dia bisa berkomunikasi. Rumah jompo berisi satu generasi yang sama. Mereka biasa menyanyikan bersama-sama lagu-lagu Belanda.
Emil mencontohkan generasi kakaknya adalah generasi tamatan sekolah Kawedri ( sekolah umum zaman Belanda yang dulu berlokasi di area Perpustakaan Nasional RI di Jalan Salemba, Jakarta saat ini). “Generasinya seangkatan Windarpo, Ibu Herawati Diah yang lahir tahun 1920-an dan memiliki ingatan lain dibandingkan generasi saya,” Emil Salim menambahkan.
Setiap generasi memiliki rekan atau sahabat tersendiri di masanya. Suatu kali kakaknya sedih setelah memperoleh berita bahwa teman sebayanya meninggal. Maka lingkaran sahabatnya itu bertambah kecil. Biasanya lingkar sahabatnya itu bertemu makan dan sebagainya untuk bercerita tentang masa lalu. “ Ketika lingkar temannya mengecil maka dampak terhadap diri lansia itu besar. Ia mudah mengalami depressi,” ujar Emil Salim.
Jadi dikaitkan dengan temannya di Swiss. “He feels lonely. Ia merasa sahabat-sahabatnya satu per satu hilang ,” katanya
Intinya dalam menangani kaum lansia jangan sampai mereka merasa tidak punya kegunaan dan makna hidup. Jangan biarkan kaum lansia merasa terpinggirkan. Hakikatnya mengakui kehadiran kaum lansia sebagai manusia yang memiliki kekurangan tetapi dihargai sebagai manusia seutuhnya. “Tentu Swiss negara maju dan Indonesia adalah negara berkembang. Tetapai menurut saya arahnya mesti kesana,” tandas Emil Salim.
Bagaimana pendapat Anda?
Tuesday, April 29, 2008
Prof. Dr. Emil Salim : Kisah Bagaimana Swiss Memperlakukan Kaum Lansia
Posted by KOMUNITAS ABG at 10:14 PM
Labels: academic, Business, Government
Subscribe to:
Comment Feed (RSS)
|