Google

Wednesday, April 16, 2008

Ahmad Fuad Afdhal : Industri Farmasi Dalam Negeri Kurang Efisien

Topic : Business

Rabu pagi tadi Ahmad Fuad Afdhal masih merasakan jet lag sehabis pulang dari kunjungan ke Inggris dan Belanda dengan menggunakan perawat KLM. Tak heran bila ia datang agak terlambat ke kantornya di kawasan Panglima Polim, Jakarta Selatan.

Pria yang dikenal luas di lingkungan industri farmasi, pendidikan, pengusaha, dan komunitas PR itu memutuskan membangun usaha sendiri setelah mengundurkan diri sebagai Corporate Secretary PT Bimantara tahun 1995. Ia dipercaya pula menjadi salah satu komisaris PT Indofarma.

Awalnya ia mendirikan PT Awal Fajar Adicita (Afa Com) , sebuah perusahaan konsultan PR pada 1995 untuk meningkatkan "Kepercayaan, Citra, dan Reputasi" perusahaan. Kemudian ia mendirikan PT Tiga Cahaya Fortuna yang bergerak di bidang event organizer untuk kegitan CSR perusahaan. Pada 2005 ia mendirikan Stratos yang bergerak di bidang penelaahan kebijakan strategis pada korporasi maupun usaha-usaha bisnis.

Penggemar sepak bola itu aktif terlibat di Center For Socio Economic Studies in Pharmacies disamping meluangkan waktunya untuk menjadi Kepala Sekolah Sepak Bola Anak-Anak Asiom.

Sebagai orang yang banyak berkecimpung di dunia farmasi, ia melihat bahwa industri farmasi harus jeli dalam menentukan ROI (return on investment). Apa artinya? Harus ada cukup orang untuk membeli obat. “Biaya obat per kapita Indonesia merupakan salah satu yang terendah,” ujar Fuad Afdhal.

Oleh karena itu, bila industri farmasi melakukan riset dasar maka biayanya mahal sekali. Sehingga kita yang dilakukan industri farmasi besar di Indonesia adalah dengan mengganti formula obat. “Cara ini cukup efisien dalam hal biaya karena tidak perlu melakukan riset dari nol,” Fuad menambahkan.

Hal serupa dilakukan RRC yang sudah mampu membuat bahan baku obat serta melakukan penemuan obat baru sekalipun bukan dari riset dasartetapi dari tingkat menengah yang biayanya lebih rendah.

RRC dan India juga memproduksi obat generik. Bahkan, RRC berani mencontek produk lain dengan alasan untuk menyelamatkan bangsa sendiri.

Dalam hal penggunaan bahan baku RRC memiliki efisiensi yang bagus sekali. Sehingga mereka mampu menghasilkan obat dengan harga murah. Untuk bahan baku untuk flu burung, RRC sudah bisa membuatnya dengan harga murah. “Kita kurang efisien,” ujar Fuad.

Sungguh beruntung pihak swasta di RRC nendapatkan insentif dari pemerintah. Sudah begitu, minimal untuk memenuhi kebutuhan internal sebuah bangsa dengan jumlah penduduk sekitar 1 miliar sudah merupakan berkah tersendiri.

Bagaimana pendapat Anda?