Topic : Business
Berjalan sepanjang Sungai Warnow, di Jerman bagian Utara, Anda mungkin akan beruntung menyaksikan Seafalcon, sebuah kendaraan dengan mesin putih yang dilengkapi baling-baling, dua sayap dan bagian ekor. Meski seperti pesawat kendaraan ini sesungguhnya adalah sebuah kapal dalam pandangan Organisasi Maritim Internasional. Karena itu, ada kalangan yang menyebutnya sebagai WISES (Wing in Surface Effect Ship) seperti yang sedang dikembangkan BPPT.
Seafalcon merupakan sebuah ”ground effect vehicle”. Ia mampu terbang hanya dua meter di atas permukaan air. Itu berarti, udara dibawah sayap dimampatkan sehingga memberikan daya angkat. Oleh karena itu, Seafalcon termasuk dalam ”air cushion vehicle” yang berbeda dibandingkan pendahulunya yang disebut hovercraft. Hovercraft lazim digunakan sebagai sarana penyeberangan di selat-selat Inggris. Bedanya, hovercraft berdasarkan regulasi dimasukkan dalam kategori pesawat terbang. Selain itu, ongkos mengoperasikan Seafalcon jauh lebih murah dibandingkan hovercraft dan karena terbang maka kecepatannya juga besar yakni mencapai 80-100 knot. Sang penciptanya Dieter Puls berharap Seafalcon akan mampu mengisi ceruk kebutuhan transportasi cepat di negeri-negeri kepulauan.
Teori ”ground effect vehicle” ditemukan Carl Wieselsberger, ahli fisika Jerman, pada tahun 1920-an. Tetapi, kemudian gagasan itu tenggelam sekian lama sampai kemudian militer Uni Soviet mencoba memanfaatkannya sebagai angkutan berat di Laut Hitam. Namun , meski prototipe berhasil terbang, tetapi penggunaan mesi jet membuatnya boros bahan bakar.
Dr. Dieter Puls menyebutkan bahwa pihaknya telah menerima pesanan awal dari sebuah perusahaan di Indonesia sejumlah 10 buah.
Sementara itu, Dr. Hanno Fisher yang mengembangkan kendaraan sejenis bernama Airfish 8 berencana melakukan produksi mulai tahun 2008 bersama perusahaan Singapura, Wigetworks. Diharapkan selain bisa beroperasi di laut, kendaraan ini juga mampu beroperasi di darat.
Bagaimana pendapat Anda? (ASW)
Sumber : Majalah The Economist, September 8, 2007
Berjalan sepanjang Sungai Warnow, di Jerman bagian Utara, Anda mungkin akan beruntung menyaksikan Seafalcon, sebuah kendaraan dengan mesin putih yang dilengkapi baling-baling, dua sayap dan bagian ekor. Meski seperti pesawat kendaraan ini sesungguhnya adalah sebuah kapal dalam pandangan Organisasi Maritim Internasional. Karena itu, ada kalangan yang menyebutnya sebagai WISES (Wing in Surface Effect Ship) seperti yang sedang dikembangkan BPPT.
Seafalcon merupakan sebuah ”ground effect vehicle”. Ia mampu terbang hanya dua meter di atas permukaan air. Itu berarti, udara dibawah sayap dimampatkan sehingga memberikan daya angkat. Oleh karena itu, Seafalcon termasuk dalam ”air cushion vehicle” yang berbeda dibandingkan pendahulunya yang disebut hovercraft. Hovercraft lazim digunakan sebagai sarana penyeberangan di selat-selat Inggris. Bedanya, hovercraft berdasarkan regulasi dimasukkan dalam kategori pesawat terbang. Selain itu, ongkos mengoperasikan Seafalcon jauh lebih murah dibandingkan hovercraft dan karena terbang maka kecepatannya juga besar yakni mencapai 80-100 knot. Sang penciptanya Dieter Puls berharap Seafalcon akan mampu mengisi ceruk kebutuhan transportasi cepat di negeri-negeri kepulauan.
Teori ”ground effect vehicle” ditemukan Carl Wieselsberger, ahli fisika Jerman, pada tahun 1920-an. Tetapi, kemudian gagasan itu tenggelam sekian lama sampai kemudian militer Uni Soviet mencoba memanfaatkannya sebagai angkutan berat di Laut Hitam. Namun , meski prototipe berhasil terbang, tetapi penggunaan mesi jet membuatnya boros bahan bakar.
Dr. Dieter Puls menyebutkan bahwa pihaknya telah menerima pesanan awal dari sebuah perusahaan di Indonesia sejumlah 10 buah.
Sementara itu, Dr. Hanno Fisher yang mengembangkan kendaraan sejenis bernama Airfish 8 berencana melakukan produksi mulai tahun 2008 bersama perusahaan Singapura, Wigetworks. Diharapkan selain bisa beroperasi di laut, kendaraan ini juga mampu beroperasi di darat.
Bagaimana pendapat Anda? (ASW)
Sumber : Majalah The Economist, September 8, 2007
|