Google

Monday, September 3, 2007

Manajemen Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler

Topic : Academic - Government

By Ari Satriyo Wibowo

”Pada usia lanjut, demensia merupakan penyebab kematian ke-4 setelah penyakit jantung, kanker dan stroke,” demikian diungkapkan Dr. Silvia Francina Lumempouw, SpS (K) dari Divisi Neurobehavior-Neurogeriatri, Bagian Neurologi FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan makalah berjudul”Management of Alzheimer’s Dementia” pada ”Neurodegenerative Update Seminar”. Seminar itu diselenggarakan dalam rangka Dies Natalies ke-6 Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan di Kampus UPH Lippo Karawaci, Tangerang , Sabtu, 1 September 2007 lalu.

Menurut wanita kelahiran Prabumulih, Sumatera Selatan, 3 Juli 1954 itu, demensia adalah sindrom klinik penurunan fungsi intelektual akibat penyakit di otak. Sindrom ini ditandai oleh gangguan kognitif, emosional dan psikomotor yang menyebabkan penderita tak mampu mengikuti aktifitas sosial dan mengurus diri sendiri.Gangguan kognitif pada demensia menyebabkan perubahan tingkah laku yang sederhana pada demensia tingkat ringan, sampai perubahan tingkah laku yang sangat mengganggu dan melelahkan fisik dan psikis bagi yang merawat.

Pada negara-negara maju terjadi perubahan dramatik demografi penduduknya, yaitu meningkatnya populasi usia lanjut. Populasi usia diatas 65 tahun di Amerika Serikat diduga meningkat dari 33,5 juta pada tahun 1995 menjadi 39,4 juta pada tahun 2010 dan diperkirakan menjadi lebih dari 69 juta pada tahun 2030. Dengan peningkatan ini muncul masalah-masalah penyakit pada usia lanjut.

Laporan Departemen Kesehatan tahun 1998, populasi usia lanjut diatas 60 tahun adalah 7,2 % (populasi usia lanjut kurang lebih 15 juta).

Peningkatan angka kejadian kasus demensia berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu populasi .

Kira-kira 5 % usia lanjut 65 - 70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85 tahun. Pada negara industri kasus demensia 0.5 –1.0 % dan di Amerika jumlah demensia pada usia lanjut 10 – 15% atau sekitar 3 – 4 juta orang.

Pada tahun terkini banyak hasil penelitian dan penemuan dibidang genetika, patofisiologi dan riwayat alamiah dari penyakit ini.

Demensia adalah sindrom gangguan daya ingat disertai dua atau lebih domain kognitif lainnya (atensi, fungsi bahasa, fungsi visuospasial, fungsi eksekutif, emosi) yang sudah mengganggu aktivitas kehidupan sehari hari dan tidak disebabkan oleh gangguan pada fisik.

Demensia terbagi menjadi dua yakni Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler. Demensia Alzheimer merupakan kasus demensia terbanyak di negara maju Amerika dan Eropa sekitar 50-70%. Demensia vaskuler penyebab kedua sekitar 15-20% sisanya 15- 35% disebabkan demensia lainnya. Di Jepang dan Cina demensia vaskuler 50 – 60 % dan 30 – 40 % demensia akibat penyakit Alzheimer.

Demensia Alzheimer berlangsung progresif, gangguan yang tidak dapat membaik yang menyerang otak dan akibatnya kehilangan daya ingat, kebingungan, gangguan penilaian dan perubahan kepribadian.

Penyakit ini adalah penyebab yang paling umum dari gangguan intelektual yang berat pada orang lanjut usia dan kenyataannya merupakan suatu masalah dalam perawatan orang usia lanjut di rumah.

Harus dapat dibedakan apakah penurunan daya ingat normal sesuai usia (’age associated memory impairment’ disingkat AAMI) atau menderita gangguan kognitif ringan (’Mild Cognitive Impairment’ disingkat MCI), yang mana pada hasil penelitian, 20 – 60 % MCI akan ber lanjut setelah 3-4 tahun menjadi demensia. Gangguan kognitif ringan merupakan kontinuum dari demensia Alzheimer.

Kriteria MCI antara lain adanya keluhan gangguan memori, aktifitas hidup sehari-hari normal, fungsi kognitif umum normal, tidak ada demensia serta penurunan fungsi memori tidak normal sesuai usia dan pendidikan.

Adapun gejala dari Demensia Alzheimer adalah kehilangan daya ingat secara perlahan-lahan dan progresif, kesulitan dalam mengikuti perintah dan melakukan kegiatan sehari-hari, gangguan penilaian, penalaran, konsentrasi dan orientasi, kebingungan dan kegelisahan, perubahan kepribadian an kehilangan kemampuan untuk mengurus diri sendiri.

Faktor resiko Demensia Alzheimer (DA) terjadi pada usia lanjut, wanita, trauma kapitis berat, pendidikan rendah dan menyangkut faktor genetik kasusnya 1- 5%.

Sementara, pembahasan mengenai Demensia Vaskuler disampaikan Dr. Hartono Prabowo, Sp.S dari RS Honoris dan RS Usada Insani, Tangerang serta Staf Pengajar FK UPH dan FK Untar dengan judul malakah "Management of Vascular Dementia."

Menurut pria kelahiran Pekalongan, Agutus 1957 ini, demensia vaskuler diartikan sebagai demensia yang disebabkan oleh gangguan serebrovaskuler (iskemik / perdarahan), anoksik atau hipoksik otak dengan penurunan kognitip ringan sampai berat dan meliputi semua domain, tidak harus gangguan gangguan memori yang menonjol.

Secara klinis, kemungkinan diagnosa demensia vaskuler (probable, possible atau definit demensia vaskuler) ditegakkan apabila didapatkan penderita dengan demensia yang berkaitan dengan latar belakang CVD (riwayat CVD, klinis adanya deficit neurologis dan diperkuat dengan pencitraan otak). Oleh karenanya demensia vaskuler sering disebut sebagai demensa pasca stroke atau demensia multi-infark.

Sekitar 70% penderita stroke mengalami gangguan kognitif (ringan – berat) dan sekitar 25-30% diantaranya berkembang menjadi demensia. Stroke kemungkinan secara langsung menyebabkan demensia atau stroke merupakan factor presipitasi proses degeneratip pada demensia seperti pada demensia Alzheimer.

Demensia vaskuler merupakan jenis demensia terbanyak ke 2 setelah demensia Alzheimer, dengan angka kejadian demensia vaskuler tidak berbeda jauh dengan angka kejadian demensia Alzheimer.

Jellinger,dkk (2002) mengutarakan bahwa angka kejadian demensia vaskuler sekitar 47% dari populasi demensia secara keseluruhan (demensia Alzheimer 48% dan demensia oleh sebab lain 5%).

Erkinjutti (2004) melaporkan kejadian demensia vaskuler pada populasi usia lebih dari 65 tahun sekitar 1,2 – 4,2% dan pada kelompok usia diatas 65 tahun menunjukkan peningkatan angka kejadian dari 0,7% dalam kelompok usia 65 – 69 tahun hingga mencapai 8,1% pada kelompok usia diatas 90 tahun. Angka kejadian demensia vaskuler ini kemungkinan akan bertambah seiring dengan meningkatnya kejadian CVD.

Demensia vaskuler dan demensia Alzheimer merupakan penyebab utama demensia, bahkan diantara keduanya sering terjadi bersamaan 6. Erkinjutti (2005) melaporkan hasil penelitian patologi melalui proses otopsi, pada 50% penderita demensia Alzheimer terlihat adanya CVD dan pada 80% penderita demensia vaskuler didapatkan kelainan sesuai dengan Alzheimer.

Gejala klinis demensia vaskuler bervariasi, tergantung pada lokasi lesi kelainan vaskuler pada otak. Gangguan memori tidak selalu menonjol dan terjadi secara bertahap dan relatip dalam masa yang lebih singkat dibandingkan dengan proses terjadinya demensia Alzheimer. Onset gejala demensia vaskuler dapat bersifat gradual ataupun dramatik yang secara garis besar dapat berupa gangguan kognitip (gangguan konsentrasi, memori, disorientasi), gangguan komunikasi (afasia, apraksia, agnosia), gangguan kemampuan eksekusi atau pengambilan keputusan, dan gangguan fisik (paresis, gangguan kontrol kandung kencing) dan lain-lain.

Diagnosa demensia vaskuler ditegakkan dengan sarana yang tidak berbeda dengan sarana diagnosa demensia Alzheimer 1,2,7,8. Sebagai test penyaring (setelah pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis) dilakukan pemeriksaan MMSE (sensitivity 71% to 92% dan specificity 56% to 96%7), CDT (Clock Drawing Test), Activity Daily Living (ADL) dan Instrumental Activity Daily Living (IADL), Disability Assessment fo Dementia (DAD), Ischemic Hachinski Score (IHS) yang dapat membedakan demensia vaskuler dengan demensia Alzheimer, dan jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan neuropsikiatri. Adanya riwayat CVD (stroke) dan adanya kelainan neurologis yang diperkuat adanya kelainan pada pencitraan otak (Brain CT-scan / MRI) memastikan adanya demensia vaskuler.

Secara klinis demensia vaskuler dibedakan dalam demensia vaskuler pasca stroke (infark / perdarahan), demensia vaskuler subkortikal, dan demensia vaskuler tipe campuran (Alzheimer dan vaskuler), yang dikaitkan dengan penurunan neurotransmitter kolinergik (Acethylcoline). Dengan dasar hal tersebut maka beberapa preparat Acethylcoline Esterase Inhibitor (Donepezil, Rivastigmin, Galantamine) dapat digunakan dalam penatalaksanaan penderita demensia vaskuler dan memberikan hasil yang cukup memuaskan. Meskipun demikian, hingga kini belum ada preparat yang diakui Badan Pengawasan Obat AS ( FDA ) sebagai bahan untuk pengobatan demensia vaskuler.

Guna memaksimalkan fungsi kognisi yang masih ada, terapi non-farmakologik harus diprogramkan, baik program yang ditujukan kepada penderita, maupun pengasuh (caregiver), keluarga maupun lingkungannya.

Peran keluarga dan caregiver sangat menentukan keberhasilan program penanganan penderita demensia, baik demensia Alzheimer, demensia vaskuler ataupun demensia tipe lain. Terhadap penderita dapat dibuat program agar penderita menjalani perilaku hidup sehat, terapi rehabilitasi termasuk stimulasi kognitip, olah raga, edukasi, konseling, terapi musik serta terapi wicara dan okupasi, disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Terhadap lingkungan antara lain dengan menyediakan fasilitas bagi penderita untuk melakukan akitivitas yang dibutuhkan, tata ruang yang memadai, penyediaan fasilitas perawatan dan lain-lain.

Pengarahan kepada pengasuh (caregiver) adalah suatu hal yang tidak dapat diabaikan, oleh karena pengasuhlah yang sangat berperan dalam keberhasilan pelaksanaan program-program yang direncanakan baik terhadap penderita maupun lingkungan.

Bagaimana pendapat Anda? (ASW)