Google

Thursday, October 4, 2007

Megawati Santoso, PhD : Kesalahan Penerapan Sistem pada Tridharma Perguruan Tinggi Membuat Peneliti di Indonesia Tidak Bisa Fokus

Topic : Academic


Megawati Santoso, PhD adalah dosen Kimia ITB dan Staf Ahli Rektor ITB. Wanita lulusan cum laude dari S1 ITB (1981-1985) dan PhD dari University of Iowa, AS pada 1994 itu dikenal kritis.

Dalam kerangka kerjasama ABG, Megawati melihat bahwa kemajuan pesat yang dialami RRC saat ini adalah karena pemerintah RRC mewajibkan semua investor asing yang menanamkan investasinya disana untuk membangun pabrik sekaligus fasiltas R&D. Akibatnya para mahasiswa RRC ikut terpacu dan menjadi pintar-pintar.

Sementara di Indonesia umumnya industri bergerak di bidang markloon, packaging serta memproduksi barang dari hasil paten yang kadaluwarsa. Industri di Indonesia tidak melakukan R&D karena mahal, masa inkubasinya lama serta sebelumnya tidak didukung kemudahan-kemudahan (sebelum ada PP No.35/2007 yang dikeluarkan Menristek).Selain itu, industri atau investor asing sebenarnya bersedia melakukan R&D asalkan ada jaminan keamanan. Saat ini jaminan keamanan seperti itu belum dirasakan para investor asing.

Dalam hal penelitian Indonesia terkesan setengah-setengah karena terbentur sistem. Menurut Megawati adanya Tridharma Perguruan Tinggi yang mewajibkan para dosen masuk ke pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat sekaligus telah menyebabkan para peneliti tidak bisa melalukan fokus 100 persen di bidangnya.

Hal itu karena sudah sekian lama kebijakan Menteri Penegakan Aparatur Negara (MenPAN) dengan para pengambil keputusan di Departemen Pendidikan Nasional menempatkan kebijakan Tridharma Perguruan Tinggi dalam bentuk yang salah.

Di luar negeri, menurut Mega, yang dinamakan Tridharma merupakan tanggung jawab institusional. Sebuah perguruan tinggi wajib melaksanakan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Bukan pada pribadi-pribadi dosen seperti yang terjadi di Indonesia.

Saat ini yang muncul adalah faktor individual. Kalau faktor individual maka seseorang akan ”terpontal-pontal” karena waktunya sangat sedikit tetapi di lain pihak ia harus melakukan ketiga bidang tersebut di atas demi mengejar kenaikan pangkat. Padahal, untuk menjadi peneliti seharusnya dia fokus pada bidang penelitiannya.

Perlu difahami bahwa banyak peneliti yang rajin dan pandai sekali bukanlah seorang pembicara yang bagus bagi mahasiswanya ketika mengajar (untuk memenuhi kewajiban bidang pendidikan dalam Tridharma Perguruan Tinggi). Sehingga ketika ia mengajar para mahasiswa akan merasa bosan.

Sementara itu, para pendidik yang bagus ( dalam arti pandai sebagai pembicara) sering diambil institusi untuk berbicara dalam hal marketing dan sebagainya sehingga penelitian juga tidak terfokus.

Seharusnya, institusi melihat adanya blok-blok pada orang tersebut dan kemudian mensinergikan. Hasil hasil penelitian bisa dititipkan kepada orang-orang yang pandai bicara dan berkomunikasi kepada para mahasiswanya dan sebaliknya. Sementara, orang-orang yang kurang bergaul dengan luar khususnya bisnis dan pemerintah tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk pengabdian masyarakat. Institusi itu seharusnya menyediakan fasilitas itu sehingga masyarakat merasakan bahwa bukan si A atau Si B mampu melakukan itu semua melainkan institusinya.

Megawati sudah berkali-kali menyuarakan hal itu tetapi tampaknya belum didengar oleh para pengambil kebijakan di atas.

Akibatnya, orang-orang pandai di Indonesia yang jumlahnya besar itu tidak bisa membentuk critical mass yang bagus karena perhatiannya terpecah-pecah dalam ketiga bidang itu sekaligus. Ketiganya perlu mereka penuhi karena sangat berkaitan dengan kenaikan gaji dan pangkat. Apalagi seorang kepala rumah tangga yang berjenis kelamin pria, dia harus melakukan ketiga-tiganya. Tetapi, apabila tidak fokus maka seseorang tidak akan berhasil.

Dan sebetulnya dari hasil penelitian itu dikembalikan ke sistem pendidikannya sehingga mahasiswa memperoleh perkembangan terbaru (update). Dan itu bisa difasilitasi dengan blogger,misalnya, sehingga semua ilmu-ilmu itu dapat diakses seluruh mahasiswa. Tidak harus orangnya itu yang harus mengajarkan kembali.

Megawati pernah kuliah dengan seorang Malaysia dan dia bertanya padanya ikwal apa yang dipelajarinya. ”Saya belajar racun cacing tanah,” kata rekan Malaysia tersebut.

”Apakah kamu tidak punya pekerjaan? Seharusnya khan lebih banyak topik penelitian yang lebih advance,” tanya Mega.

”Karena pemerintah saya menghendaki hal itu karena saya adalah penerima beasiswa,” jawab teman mahasiswanya dari Malaysia itu. Hal itu menunjukkan bahwa Malaysia memiliki roadmap SDM yang sangat jelas.

Kalau di Indonesia seseorang peneliti bisa menentukan apa yang akan yang dipelajari dan dapat pindah ke topik lainnya dengan bebas karena yang penting bisa meraih gelar doktor. Namun, ketika kembali ke Indonesia si peneliti peraih gelar PhD itu akan terbengong-bengong. ”Ilmu saya adalah untuk meneliti darah (blood subtitution) dalam hal AIDS dan sebagainya. Dan itu diperlukan peralatan canggih yang sama sekali tidak ada di Indonesia. Mau membangun alatnya saja tidak ada dananya,” kata si peneliti itu.

Jadi ilmu yang dimiliki si peneliti dengan gelar PhD itu bisa terbuang bila tetap bertahan di Indonesia kecuali bila kemudian memutuskan kembali ke luar negeri.

Karena tidak ada guidance dari pemerintah maka semuanya jalan sendiri-sendiri. Andaikata pemerintah memiliki guidance, katakanlah, Indonesia itu harus hebat di bidang natural resources dalam bidang marine (kelautan) maka semua orang akan lari belajar kesitu. Disitu pemerintah akan mendukung habis-habisan.

Akibatnya Indonesia saat ini tidak memiliki keahlian khusus. Indonesia menganggap seluruhnya unggul. ITB, misalnya, yang menghasilkan 600 PhD merasa semuanya unggul. Apakah mereka salah? Tidak mereka memang benar-benar unggul. Tetapi karena tidak terjadi critical mass maka keunggulannya di mana tidak pernah ketahuan.

Kesalahan sistem seperti penerapan Tridharma Perguruan Tinggi yang salah telah ikut membentuk hal itu.

Megawati pernah pula menyampaikan kepada Menteri Pendidikan Nasional mengapa pendidikan di Indonesia hancur. Hal itu disebabkan guru selain gajinya kecil juga mereka tidakmendapatkan idealismenya.

Orang itu hidup karena dua yakni berdasarkan idealisme atau berdasarkan uang ( yang dapat mendatangkan kekuasaan). Guru seharusnya dipenuhi salah satunya. Kalau pemerintah tidak bisa membayar mereka lebih beri mereka penghormatan yang luar biasa atau penghargaan sesuai porsinya.

“Guru-guru yang dipilih memang selektif dan memiliki idealisme yang tinggi,” kata Mega. Seperti di zaman Ki Hajar Dewantara . Demikian pula guru-guru orang Cina meski mereka dalam kondisi miskin tetapi orang-orang kaya kalau bertemu guru mereka akan menunduk dengan hormat. Karena orang kaya itu sadar bahwa mereka bisa menjadi kaya karena guru mereka itu.

Artinya, kalau pemerintah tidak bisa memberikan uang bagi mereka untuk hidup layak berikanlah mereka penghargaan. Dari situ mereka bisa hidup layak. Saat ini penghargaan tidak, uang juga tidak. Pada akhirnya guru-guru dan dosen menjadi berantakan. ”Buat apa saya berkomitmen habis-habisan dan bekerja mati-matian sama saja dengan yang korup. Ya,lebih baik saya diam saja ..,” begitu pikir para guru tersebut.

Bagaimana pendapat Anda? (ASW)