Google

Monday, October 15, 2007

Al Gore : Korban “Efek Kupu-Kupu” yang Akhirnya Menjadi Kupu-Kupu Nan Indah


Topic : Academic, Business, Government

It is now clear that we face a deepening global climate crisis that require us to act boldly, quickly and wisely,” begitu pesan Al Gore dalam film dokumenter paling laris sejagad “An Inconvenient Truth” (2006). Film itu juga telah dinobatkan sebagai film dokumenter terbaik dalam ajang Piala Oscar 2007 beberapa waktu lalu.


Kata-kata itu mungkin dapat mewakili presentasi Al Gore, mantan Wapres AS di masa pemerintahan Bill Clinton, yang sungguh mempesona sekaligus mencekam dalam film dokumenter “An Inconvenient Truth”. Tayangan berdurasi 100 menit karya sutradara David Guggenheim itu memikat karena disampaikan sarat dengan data dan tabel hasil penelitian bertahun-tahun. Sudah begitu, Al Gore sengaja memberikan ilustrasi dengan animasi kartun dan selingan humor sehingga penyajiannya terasa segar. Menyaksikan film dokumenter produksi Paramount Classic itu seolah membawa penonton mengikuti sebuah kuliah terbuka dari seorang mahaguru ulung di bidang lingkungan dengan dukungan efek multimedia yang menawan.

Tidak mengherankan bila Al Gore bersama IPPC (Panel Antarpemerintahan PBB soal Perubahan Iklim) yang melibatkan 3000 ilmuwan berbagi hadiah Nobel Perdamaian 2007. Meski beberapa menganggapnya anugerah ini sebagai kontroversi tetapi banyak ahli memandang pantas menghubungkan polusi karbon dengan perang di masa depan.

Ancaman pemanasan global memang nyata. Setiap peningkatan suhu sebesar 1 derajat di wilayah Khatulistiwa akan menciptakan peningkatan suhu sebesar 12 kali lipat di wilayah kutub Utara dan Selatan. Kekuatiran mencairnya es di kedua kutub semakin terlihat. Harian Indopos, 4 November 2006 tahun lalu , misalnya, melaporkan bahwa sedikitnya 100 gunung es mengapung di Samudra Selatan, di sebelah Selatan Selandia Baru. Setelah menerima laporan tersebut, pihak Maritim Selandia Baru segera mengeluarkan peringatan navigasi kepada seluruh pengguna jalur perkapalan tersebut. Berdasarkan pengamatan Angkatan Udara Selandia Baru bongkahan es tersebut berukuran 2 x 1,5 kilometer persegi dengan tinggi sekitar 130 meter.


AS dan Australia adalah dua negara yang menolak menandatangani Protokol Kyoto 2002. Pemerintahan AS dibawah Presiden Bush berkilah bahwa menandatangani protokol itu akan mengakibatkan penggangguran besar di negaranya. Protokol itu mewajibkan 40 negara untuk mengurangi emisi karbon dioksida sedikitnya 5,2 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990 sebelum tahun 2008-2012. AS secara global menyumbang sekitar 30,3 persen dari pemanasan global sementara Eropa sebesar 27,7 persen dan Asia sejumlah 12,2 persen. Emisi karbon per kapita AS mencapai 5 persen sementara sumbangan emisi karbon AS berdasarkan wilayah mencapai 5,47 persen.


Saat ini jumlah Gas Rumah Kaca di atmosfer adalah yang paling besar daripada sebelumnya karena polusi yang disebabkan manusia. Itu menyebabkan Bumi jadi makin panas yang memicu perubahan iklim global yang ekstrem. Gletsyer di Kilimanjaro, Italia, Swiss, Peru dan Argentina dari tahun ke tahun makin menyusut dan menghilang. Di mana-mana terjadi badai, topan kencang termasuk Badai Katrina dahsyat yang melanda New Orleans, AS pada 29 Agustus 2005. Gelombang udara panas telah menewaskan 15.000 orang di Perancis, 14.000 di Belanda, 13.000 di Portugal dan 1400 orang Andhar Pradesh, India. Hujan dengan curah hujan di atas rata-rata juga terjadi dimana-mana. Akibat cairnya es di kutub maka negeri Belanda akan langsung tenggelam karena lokasinya yang lebih rendah dari laut dan kota-kota besar dunia seperti New York, Shanghai dan Calcutta terancam tenggelam dan ratusan juta manusia bakal kehilangan tempat tinggal.


Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim gobal yang ekstrem diantaranya akan membuat musim kering yang berkepanjangan di berbagai belahan dunia yang berakibat terhadap kegagalan panen. Amerika Serikat yang selama beberapa dekade dikenal sebagai lumbung gandum dunia mungkin kelak akan lebih memprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan domestik daripada mengekspornya. Australia, salah satu lumbung gandum dunia lainnya yang tidak menandatangi Protokol Kyoto juga telah merasakan dampak pemanasan global berupa kemarau terburuk dalam 100 tahun terakhir ( Kompas, 3 November 2006, “Australia Inginkan ‘Kyoto Baru’ di Asia”).

Korban Efek Kupu-Kupu

Dalam chaos theory dikenal istilah Efek Kupu-Kupu (The Butterfly Effect) yang mengacu pada penemuan bahwa pada sistem yang kacau, sebuah gangguan yang kecil di dalam sebuah sistem terkadang mendorong terjadinya perubahan besar terhadap keseluruhan sistem. Istilah tersebut muncul dari khasanah iptek di AS bahwa kepakan kecil sayap kupu-kupu dapat menciptakan perubahan kecil di atmosfer tetapi sekaligus mampu memicu terjadinya badai Tornado nan dahsyat.
Prinsip yang sama berlaku di masyarakat manusia. Perubahan yang kecil dalam sikap pandang seseorang pada suatu kesempatan ternyata mampu mendorong ke arah perubahan mendasar di dalam masyarakat secara keseluruhan.Al Gore, Wakil Presiden AS (1993-2001) di masa pemerintahan presiden Bill Clinton, adalah korban Efek Kupu-Kupu di kancah politik. Ketika Gore menjadi calon presiden dari Partai Demokrat berpasangan dengan Senator Joseph Lieberman pada tahun 2000, ia dikalahkan secara menyakitkan pasangan Partai Republik George W. Bush, Gubernur Texas yang berpasangan dengan Dick Cheney.Gore sesungguhnya memenangkan “popular vote” lebih dari 500.000 suara dari sekitar 105 juta pemilih di AS. Namun, ia gagal memenangkan “electoral vote” setelah 25 electoral votes di Negara bagian Florida dinyatakan merupakan milik Bush. Gore merupakan kandidat presiden AS pertama yang memenangkan “popular vote” tetapi kalah dalam “electoral votes”.


Penyumbang terbesar kegagalan Al Gore menjadi Presiden AS sesungguhnya akibat "Efek Kupu-Kupu" yang dilakukan seorang desainer grafis. Pada tahun 2000, Theresa LePore memiliki gagasan untuk memperbesar jenis huruf (font) yang terdapat pada kartu pemilihan umum yang ia rancang untuk Pemilu Presiden AS di kawasan Palm Beach, Florida, AS dengan alasan agar lebih mudah dibaca para pemilih. Namun, tanpa disadarinya desain baru kartu dengan dua halaman yang sama itu telah membuat bingung para pemilih tentang bagian mana yang seharusnya dicoblos.Sebagai hasilnya, 19.120 pemilih mencoblos gambar Pat Buchanan dan Al Gore sehingga kartu suara dinyatakan tidak sah. Sejumlah 3,407 pemilih dinyatakan memilih Pat Buchanan, hal yang mengejutkan Pat sendiri karena ia menduga hanya akan memperoleh ratusan pemilih saja. Sehingga diperkirakan ada 22.000 suara untuk Al Gore yang tidak terhitung atau salah coblos. Hasilnya seperti ditetapkan Mahkamah Agung AS bahwa George W. Bush yang memenangkan “electoral votes” di Florida, AS dan berhak masuk ke Gedung Putih. Sudah selayaknya, Bush berterima kasih atas jasa Theresa LePore.
Tanpa adanya "Efek Kupu-Kupu" seperti itu akankah Al Gore menjadi Presiden AS dan dunia menjadi lebih damai? Mampukah Gore menyelesaikan konflik Israel dan Palestina dengan adil? Akankah dia menyatakan Irak sebagai salah satu Poros Setan yang layak diserang terlebih dahulu karena memiliki senjata pemusnah massal yang berbahaya dengan konsekuensi perang yang berlarut-larut? Tidak ada yang tahu dengan pasti.


Andaikata Al Gore terpilih sebagai Presiden AS pada tahun 2000 lalu maka penulis buku laris Earth in the Balance : Ecology and the Human Spirit (1992) pasti akan meratifikasi Protokol Kyoto sehingga dampak pemanasan global tidak memburuk seperti saat ini ketika Presiden AS George W. Bush menolak untuk meratifikasi perjanjian itu pada 2002 karena lebih berpihak pada kepentingan para industrialis AS.

Melalui kuliah dan ceramahnya tentang dampak pemanasan global yang tak kenal lelah dari kota ke kota di hampir separuh negara bagian di AS mulai dari Nashville di Tennesse, Los Angeles, San Fransisco, Washington DC, New York, Columbus, Mineapolis hingga Ann Arbor di Michigan, ia menuai dukungan publik dan pers yang amat kuat. Berkat presentasinya yang sarat data ilmiah yang akurat publik diyakinkan akan bencana global yang bakal terjadi jika manusia mengabaikannya.Apa hasilnya? Sekalipun di tingkat negara AS, menolak meratifikasi Protokol Kyoto tetapi negara bagian dan kota-kota di AS secara bertahap akan dengan patuh menaati Protokol Kyoto tersebut. Dimulai dari negara bagian California, Oregon, Pensylvania dan diikuti pula negara bagian dan kota-kota di AS lainnya. Sesuatu yang ironis, bukan?
Langkah Al Gore bukannya tanpa halangan. Seorang ilmuwan bernama Philip Cooney yang semula bekerja pada American Petroleum Institute dan kemudian diangkat Presiden George W. Bush sebagai Kepala Staf Bidang Lingkungan di Gedung Putih berkali-kali melakukan pemutarbalikkan fakta tentang pemanasan global dalam laporan-laporan yang dikeluarkan Gedung Putih. Al Gore menyebut itu sebagai tindakan Gedung Putih yang memalukan sambil menyindir, “It is difficult to get a man to understand something when his salary depends upon his not understanding it.”


Ceramah Al Gore tidak hanya sebatas di dalam negeri, ia pun mengunjungi puluhan kota di luar negeri dari Toronto, London, Wina, Stockholm, Helsinki, Brussel, Geneva, Munich, Tokyo, Seoul hingga Beijing. Sambutan yang diperolehnya umumnya sangat hangat. Tidak mengherankan bila David Carr, seorang kolumis harian Times berpendapat, film dokumenter “An Incovenienth Truth” atau produksi National Geographic semacam “March of the Penguins” bakal menjadi kendaraan yang ampuh bagi bangkitnya jurnalisme advokasi baik di media cetak maupun elektronik.


Film dokumenter semacam itu mampu menggantikan isu-isu yang membosankan sekaligus menampilkan figur seseorang menjadi tontonan yang menghibur. Dengan anugerah Nobel Perdamaian 2007 ini dunia diingatkan kembali pada bahaya laten pemanasan global yang bukan main-main lagi melainkan harus ada tindakan nyata dan segera.

Bagaima pendapat Anda? (ASW)