Topic : Academic - Government
By Ari Satriyo Wibowo
Bar Code DNA ditemukan Paul Hebert dari University of Guelph, di Ontario, Kanada pada tahun 2003. Gagasannya menciptakan identifikasi unik bagi setiap spesies yang didasarkan pada kode-kode pendek DNA. Memisahkan spesies selanjutnya menjadi tugas yang sangat sederhana karena tinggal mengurutkan beberapa simbol kecil DNA saja.
Dr. Hebert mengusulkan bagian dari gen yang disebut Cyto Chrome C Oxidase I (COI) sebagai cocok untuk tugas tersebut. Sebab semua binatang memilikinya. Tampaknya memang bervariasi, tetapi sesungguhnya tak terlalu banyak, untuk digunakan sebagai suatu penanda yang dapat dipercaya. Yang lebih penting COI lebih mudah diekstrasi, karena itu merupakan satu dari banyak gen yang ditemukan di luar nukles dari sel yang dalam struktur disebut sebagai mitochondria.
Gagasan itu bekerja dengan baik dan secara dramatis mampu mengurangi waktu menjadi hanya kurang dari sekitar satu jam serta membutuhkan biaya kurang dari US$ 2 untuk mengidentifikasi satu spesies. Salah satu spesies yang berhasil diberikan bar code adalah vertebrata goby misterius temuan Dr.Victor yang kemudian dinamakan Coryphopterus kuna pada Juli 2007 lalu setelah menggunakan sekitar 600 huruf genetik. Itulah vertebrata pertama yang memperoleh Bar Code DNA.
Salah satu proyek terkait adalah Mosquito Barcoding Initiative yang dilakukan Yvonne-Marie Linton dari Natural History Museum di London. Tujuannya dalah melakukan bar code terhadap 80 persen populasi nyamuk di seluruh dunia dalam waktu dua tahun ke depan untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan nyamuk seperti Malaria, Demam Berdarah, Demam Kuning dan West Nile Fever. Nyamuk bertanggung jawab terhadap setengah miliar infeksi malaria dan satu juta kematian di dunia setiap tahunnya. Cuma upaya tersebut akan menemui kesulitan dalam memenuhi target waktu karena spesies nyamuk di dunia ini terdiri dari lebih dari 3500 spesies.
Sejauh ini, tim Dr. Linton telah menggunakan gen COI untuk mengenali 390 spesies nyamuk , yang ternyata 7 persen di antaranya telah berubah menjadi spesies baru. Anopheles oswaldoi, misalnya, dikenal sebagai pembawa penyakit malaria di belahan bumi sebelah utara tetapi tidak untuk bumi di belahan selatan seperti Brazil. Hal itu sempat memusingkan. Tetapi melalui bar code DNA akhirnya diketahui bahwa Anopheles oswaldoi terdiri dari 4 spesies dan hanya 1 spesies yang merupakan pembawa penyakit malaria.
Dunia pengobatan herbal juga akan memperoleh manfaat. John Kress dan David Erikson, keduanya bekerja pada Smithsonian, telah melakukan bar coding terhadap 689 spesies yang tercantum dalam World Economic Plants. Mereka bermaksud menggambarkan kandungan dan kualitas dari produk natural alamiah yang dapat digunakan untuk pengobatan. Untuk itu, mereka terpaksa menentukan standar bar code tersendiri karena gen COI tidak terdapat pada tanaman.
Dr. Hebert berharap bahwa sekitar setengah juta spesies sudah dapat dibuatkan bar code DNA pada lima tahun mendatang dan dapat dengan mudah diakses secara online.
Bagaimana pendapat Anda? ( Sumber : The Economist, 22 September 2007)
Bar Code DNA ditemukan Paul Hebert dari University of Guelph, di Ontario, Kanada pada tahun 2003. Gagasannya menciptakan identifikasi unik bagi setiap spesies yang didasarkan pada kode-kode pendek DNA. Memisahkan spesies selanjutnya menjadi tugas yang sangat sederhana karena tinggal mengurutkan beberapa simbol kecil DNA saja.
Dr. Hebert mengusulkan bagian dari gen yang disebut Cyto Chrome C Oxidase I (COI) sebagai cocok untuk tugas tersebut. Sebab semua binatang memilikinya. Tampaknya memang bervariasi, tetapi sesungguhnya tak terlalu banyak, untuk digunakan sebagai suatu penanda yang dapat dipercaya. Yang lebih penting COI lebih mudah diekstrasi, karena itu merupakan satu dari banyak gen yang ditemukan di luar nukles dari sel yang dalam struktur disebut sebagai mitochondria.
Gagasan itu bekerja dengan baik dan secara dramatis mampu mengurangi waktu menjadi hanya kurang dari sekitar satu jam serta membutuhkan biaya kurang dari US$ 2 untuk mengidentifikasi satu spesies. Salah satu spesies yang berhasil diberikan bar code adalah vertebrata goby misterius temuan Dr.Victor yang kemudian dinamakan Coryphopterus kuna pada Juli 2007 lalu setelah menggunakan sekitar 600 huruf genetik. Itulah vertebrata pertama yang memperoleh Bar Code DNA.
Salah satu proyek terkait adalah Mosquito Barcoding Initiative yang dilakukan Yvonne-Marie Linton dari Natural History Museum di London. Tujuannya dalah melakukan bar code terhadap 80 persen populasi nyamuk di seluruh dunia dalam waktu dua tahun ke depan untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan nyamuk seperti Malaria, Demam Berdarah, Demam Kuning dan West Nile Fever. Nyamuk bertanggung jawab terhadap setengah miliar infeksi malaria dan satu juta kematian di dunia setiap tahunnya. Cuma upaya tersebut akan menemui kesulitan dalam memenuhi target waktu karena spesies nyamuk di dunia ini terdiri dari lebih dari 3500 spesies.
Sejauh ini, tim Dr. Linton telah menggunakan gen COI untuk mengenali 390 spesies nyamuk , yang ternyata 7 persen di antaranya telah berubah menjadi spesies baru. Anopheles oswaldoi, misalnya, dikenal sebagai pembawa penyakit malaria di belahan bumi sebelah utara tetapi tidak untuk bumi di belahan selatan seperti Brazil. Hal itu sempat memusingkan. Tetapi melalui bar code DNA akhirnya diketahui bahwa Anopheles oswaldoi terdiri dari 4 spesies dan hanya 1 spesies yang merupakan pembawa penyakit malaria.
Dunia pengobatan herbal juga akan memperoleh manfaat. John Kress dan David Erikson, keduanya bekerja pada Smithsonian, telah melakukan bar coding terhadap 689 spesies yang tercantum dalam World Economic Plants. Mereka bermaksud menggambarkan kandungan dan kualitas dari produk natural alamiah yang dapat digunakan untuk pengobatan. Untuk itu, mereka terpaksa menentukan standar bar code tersendiri karena gen COI tidak terdapat pada tanaman.
Dr. Hebert berharap bahwa sekitar setengah juta spesies sudah dapat dibuatkan bar code DNA pada lima tahun mendatang dan dapat dengan mudah diakses secara online.
Bagaimana pendapat Anda? ( Sumber : The Economist, 22 September 2007)
|