Google

Wednesday, August 15, 2007

Shanti L. Poesposoetjipto : Etika Profesi dan Etika Industri Harus Menjadi Pegangan Semua Pihak

Topic : Business

By Ari Satriyo Wibowo

Meski ayahnya adalah pemilik perusahaan NVPD Soedarpo Corporation, perusahaan yang semula bergerak di bidang teknologi informasi dan distribusi farmasi, Shanti Lasminingsih Poesposoetjipto tidak otomatis dapat duduk di posisi top di perusahaan ayahnya. Lulusan teknik elektro jurusan komputer Universitas Munich, Jerman tahun 1974 ini harus melamar untuk posisi manajer di perusahaannya sendiri. Shanti baru menjabat sebagai Presdir Soedarpo Corporation antara Juli 1994 dan Juni 1996.

Antara 1974 dan 1997, ia mempelajari segala macam tentang bisnis pelayaran di Samudera Indonesia dan membangun karirnya dalam berbagai proyek teknologi informasi.

Ketika divisi EDP Soedarpo Corporation dan divisi farmasi mengalami masalah selama krisis ekonomi di tahun 1997, Shanti ikut andil dalam menyelamatkannya kedua bisnis tersebut dari libasan krisis. Tetapi karena divisi farmasi tidak ditanganinya langsung, akhirnya divisi itu dilepas ke PT Millenium Pharmacon International.”Kepemilikan keluarga kami di bisnis distribusi farmasi itu kini tinggal 4 persen,” ujar Shanti.

Saat ini Shanti menjabat sebagai Senior Business Advisor PT Ngrumat Bondo Utomo (NBU) sebuah holding company yang didirikan Agustus 1997 untuk menjadi payung bagi Samudra Indonesia Group, Asuransi Bintang, Loewe dan Soedarpo Informatika Group. Ia juga duduk di posisi yang sama untuk PT. Praweda Ciptakarsa Informatika and PT. Sumber Daya Praweda Informatika Group (Soedarpo Informatika Group).

Meski ia kini hanya pemegang saham minoritas di bisnis farmasi, Shanti masih diundang dalam berbagai diskusi yang diselenggarakan GP Farmasi termasuk dalam diskusi mengenai kerjasama ABG baru-baru ini. Tak jarang ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis di forum tersebut.

ABGNET berkesempatan melakukan wawancara dengannya. Berikut petikan wawancara dengannya yang telah disunting dan dipersingkat uraiannya :

Latar belakang pemain-pemain bisnis Indonesia, menurut Shanti, adalah pedagang dan perakit (assembler) sehingga ilmu dasarnya tidak ada.

Perlu diketahui lahirnya industri farmasi di Indonesia adalah merupakan proleferasi backward integration dari distributor.

Sebagai distributor mereka lebih mementingkan bagaimana menjual (how to sell) sedangkan bidang pemasaran (marketing) dipegang pihak vendor. Di bidang farmasi misalnya yang memegang pemasaran itu Merck sedangkan pihak lokal sebagai distributor hanya membantu menjual dan nantinya memperoleh marjin.

"Kalau yang menjadi distributor itu orang farmasi seperti Pak Yahya dari Sanbe. Ia belajar dulu dari Merck. Setelah mampu ia kemudian membuat sendiri dari paten-paten termasuk dari Merck yang sudah kedaluwarsa. Artinya, dalam berproduksi ia melakukan mee too," kata wanita kelahiran 9 April 1949 itu.

Tapi kalau melihat dari industri besar lain seperti industri mobil dan elektronik mereka hanyalah melakukan kegiatan assembling. Jadi yang dipelajari adalah knowledge manufacturing process without research and without product development. Kalau pun ada product development itu yang bersifat teknologi terapan. Lahirlah industri penunjang mulai dari batere hingga komponen kendaraan. Di dunia otomotif muncul Kijang kemudian disusul Panther dan lain-lain.

Waktu Shanti duduk di Dewan Riset Nasional (DRN) sebagai wakil dari kalangan praktisi bisnis ia mengatakan uang itu tercipta dari keuntungan assembling dan distribusi. Tetapi ilmu yang berasal dari riset tidak ada. Jadi kalau keuntungannya sudah melewati kebutuhan pokok dalam piramida Maslow maka mungkin baru terpikir untuk melakukan riset. "Tetapi umumnya orang dagang disuruh riset ya tidak bisa. Lain halnya seperti Dr. Boen dari Kalbe yang kebetulan seorang scientist," tambahnya.

Jadi kalau ingin terjalin kerjasama ABG harus ada simbiosis mutualisme (kerjasama saling menguntungkan) antara industri, akademi dan pemerintah. "Agar kerjasama ABG bisa terjalin baik maka tata niaga perlu dibenahi dan etika profesi dan etika industri harus benar-benar menjadi pegangan semua pihak," tegas Shanti.

Menurutnya di Indonesia ini tidak jelas antara hak dan kewajiban dan tanggung jawab sebagai konsekuensi dimilikinya hak. ”Orang di sini biasanya maunya punya hak tetapi tidak mau konsekuensi tanggung jawabnya,” ujar Shanti lagi.

Bagaimana pendapat Anda? (ASW)