Google

Friday, August 24, 2007

Peluang dan Tantangan Teknologi Nano di Indonesia

Topic : Government

By Ari Satriyo Wibowo


Perbandingan antara 1 meter dan 1 nanometer dapat diibaratkan perbandingan antara bola bumi dan bola pingpong. Seperti itulah gambaran teknologi nano. Dari kenyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa manusia secara pelahan-lahan memperoleh teknologi yang sulit dibayangkan. Teknologi yang di masa depan mampu menciptakan robot nano yang dapat memasuki pembuluh darah manusia untuk membersihkan pengotor dan membunuh penyakit guna mengobati pasien.

Hal itu dikemukan Dr. Nurul Taufiqi Rochman, M.Eng yang menjadi pembicara dalam Simposium Nanotechnology dengan tema "Nanotechnology State of The Art in Health Care and Pharmaceuticals" yang diselenggarakan perusahaan farmasi Combiphar di JW Marriot Hotel, Jakarta, Kamis, 23 Agustus 2007.

Dr. Nurul Taufiqu Rochman juga menjabat sebagai Ketua Masyarakat Nanoteknologi Indonesia. Pria kelahiran Malang, 5 Agustus 1970 ini setelah lulus SMA tahun 1990 menempuh pendidikan S1, S2 dan S3 di Bidang Material Lanjut, Kagoshima University dan lulus dengan predikat cumlaude pada tahun 2000. Selama 4 tahun ia menjadi peneliti tamu di Kagoshima Prefectural Institute of Industrial Technology dan kembali bekerja di Pusat Penelitian Fisika, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada Januari 2004. Ia juga memperoleh penghargaan sebagai Peneliti Muda Terbaik (2004) dari LIPI, Adhidharma Profesi dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII) tahun 2005 dan The Best Idea and Innovation Award (2005) dari Majalah SWA.

Menurut Dr. Nurul mengingat besarnya peluang dan dampak nanoteknologi dalam kehidupan manusia, maka negara-negara di dunia, khususnya negara maju berlomba-lomba mengalokadikan dana untuk berinvestasi membangun dan mengembangkan teknologi nano.

Pada beberapa tahun belakangan ini , keseriusan Jepang dalam menekuni teknologi nano sepertinya menjadikan Jepang berada di atas AS dalam pendanaan. Namun, terlepas dari dukungan industri, pemerintah AS masih yang teratas dalam mengalolasikan dana untuk biodang yang satu ini. Di Eropa, Jerman mengeluarkan dana tahunan yang jauh melampaui negara lain dan secara kasar hampir sama dengan dana seluruh negara Eropa, yang jika disatukan mencapai 300 juta Euro.

Melalui Program Tujuh Kerangka Kerja, Uni Eropa akan mengontribusikan 600 juta Euro per tahun hingga 2013. Sehingga jika dipandang keseluruhan, Uni Eropa merupakan yang terbesar dalam masalah pendanaan nanoteknologi dibandingkan USA dan Jepang.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut doktor yang karyanya dimuat di lebih dari 40 publikasi internasional serta memiliki 9 hak paten internasional ini ia merekomendasikan tujuh langkah yang dapat ditempuh Indonesia untuk merespon segala perkembangan seperti dapat di baca pada presentasinya di bawah ini.

















Bagaimana pendapat Anda? (ASW)