Google

Saturday, March 1, 2008

Investasi Sulit Masuk akibat Kebobrokan Birokrasi

Topic : Government


Kecenderungan investasi asing untuk enggan masuk dan bertahan di Indonesia selama ini dipicu oleh kebobrokan birokrasi, infrastruktur, dan fasilitas usaha. Masalah perburuhan dan aksi kaum buruh bukanlah penyebab utama kekhawatiran investor dalam menanamkan modal.

Ketua Umum Partai Buruh Muchtar Pakpahan mengemukakan hal itu di Jakarta, Jumat (29/2). Ia menanggapi pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam kunjungan ke Jepang, Kamis, bahwa masalah perburuhan dan aksi buruh sangat mengkhawatirkan pengusaha Jepang (Kompas, 29/2).

Muchtar, yang juga mantan Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), mengatakan, kebobrokan terjadi pada hampir seluruh sektor pendukung usaha. Namun, pemerintah belum menemukan solusi untuk mengatasi persoalan itu. Akibatnya, pengusaha tidak memiliki kepastian hukum dan berusaha.

Ia menyebutkan, persoalan birokrasi perizinan yang berbelit- belit, prasarana transportasi yang rusak parah, fasilitas listrik yang kerap terganggu akibat pemadaman, pungutan liar, maupun pajak sangat memberatkan dunia usaha dan memberikan rasa tidak nyaman berinvestasi.

”Iklim usaha penuh dengan ketidakpastian. Pemerintah jangan melempar tanggung jawab seolah-olah pengusaha takut berinvestasi gara-gara aksi buruh,” kata Muchtar.

Korbankan buruh

Aksi buruh, kata Muchtar, muncul akibat masalah ketenagakerjaan dan UU Perburuhan yang mengorbankan kepentingan buruh. Ia memberi contoh, persoalan karyawan kontrak (outsourcing) yang menimbulkan ketidakpastian pekerjaan.

”Kalau persoalan ketidakadilan buruh diselesaikan, pasti kami tidak akan melakukan aksi. Pemerintah selama ini hanya memberikan janji, tetapi tak ada upaya untuk mengatasi masalah buruh,” kata Muchtar.

Menanggapi hasil kunjungan wapres ke Jepang, Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre (TURC) Surya Tjandra menyatakan heran atas sikap takut pengusaha Jepang terhadap aksi buruh Indonesia.

”Di Jepang, aksi buruh tidak hanya spontan, bahkan dilakukan tiap musim semi, yang dikenal sebagai Shunto atau spring offensive. Jadi, aksi buruh pun sudah biasa di sana,” kata Surya.

Pada musim semi tersebut, di mana cuaca dan iklim sangat bersahabat, selalu digelar aksi buruh Jepang mulai dari pegawai pabrik hingga pegawai pemerintah. Isu yang dibahas bermacam-macam meski biasanya berkisar mengenai gaji.

Surya menilai ketakutan pengusaha Jepang bisa jadi dipicu pemberitaan media yang berlebihan. ”Terkadang media terlalu membesar-besarkan persoalan meski tidak menyentuh inti persoalan,” ujarnya.

Dia mencontohkan, media sering kali memberitakan aksi yang diikuti ratusan hingga ribuan buruh dengan dampak kemacetan parah atau memicu bentrokan dengan aparat. Namun, media tidak mengangkat isu utama persoalan ketenagakerjaan dan menyajikan solusi bagi buruh.

Surya menegaskan, aksi buruh sudah lebih terorganisasi, lebih terencana, dan sudah tahu fokus mengenai apa yang diminta. Terlebih karena mereka telah belajar berorganisasi dan mempunyai kelompok pendamping sehingga tindakan anarki yang dilakukan buruh jarang terjadi. (RYO/LKT)

Sumber : Harian Kompas, Sabtu, 1 Maret 2008 halaman 17