Topic : Academic, Business, Government
By Ari Satriyo Wibowo
Bila orang bertanya “What is your vision in 2025?” kepada Mahatir Mohammad dari Malaysia maka akan dijawab “Knowledge Based Economy.” Bila pertanyaan yang sama diajukan kepada Lee Kuan Yew dari Singapura jawabannya adalah “Knowledge Based Society.” Bagaimana dengan Indonesia? Jawaban untuk itu panjang sekali karena bisa mencapai 25 kata. Hal itu diungkapkan Miranda Gultom, Deputi Senior Gubernur BI ketika memberikan pengantar dalam acara bedah buku barunya berjudul “Essays in Macroenomics Policy : The Indonesia Experience” di Gedung Ristek Lantai 3, Jakarta, Selasa (11/3) kemarin.
Pada acara tersebut Menristek Kusmayanto Kadiman bertindak langsung sebagai moderator. Tampil sebagai pembedah buku ada tiga orang yang menyorotinya dari 3 sisi yang berbeda yakni
Dr. Ir. Edi Bambang Prasetyo dari Bioteknologi LIPI Cibinong, Dr. Ir. Teguh Rahardjo, Head of Planning Affairs Ristek dan Prof. Dr. Ir. Carunia Mulya Firdausy, MA, APU Deputy Minister of Societal Dynamics Ristek.
Dalam sambutan awalnya Menristek menggarisbawahi bahwa saat ini tidak perlu ada pertentangan antara teknokrat dengan ilmuwan humaniora. Kesadaran itu menurut Menristek sudah ditumbuhkan sejak Mei 1959. Bahkan, ketika PII dan ISEI dibawah pimpinan Ir. Sarminadi dan Marie Muhammad, SE kedua organisasi profesi ini sepakat untuk melakukan kerjasama. Para teknokrat mengembangkan teknologi sedangkan para ekonom mengatur dananya. Pemahaman tentang proses teknologi dalam fungsi produksi inilah yang telah membuat Jepang unggul dibandingkan negara lainnya.
Meski buku berisi 28 bab tersebut sarat dengan telaah ekonomi tetapi dalam buku itu tetap ditekankan bahwa kemajuan suatu bangsa tetap ditentukan oleh teknologi yang dikuasainya. Oleh karena itu andaikata Menristek Kusmayanto ditanya “What is your vision 2025?” maka serta merta dijawab dengan singkat “Innovation”.
Miranda mengemukakan susahnya membuat kebijakan di Indonesia karena data-data yang ada bersumber dari pertanyaan yang salah. Misalnya, survei yang dilakukan Biro Pusat Statistik terhadap 11.000 perusahaan menjadi tak bermanfaat karena dimulai dengan cara bertanya yang salah. “Akibatnya yang terjadi adalah Garbage In Garbage Out,” ungkap doktor ekonomi lulusan Universitas Boston, AS itu.
Ibu dua anak itu juga mengeluhkan bahwa para pelaku ekonomi banyak yang kebal terhadap The Law of Diminishing Return.Gambarannya sederhananya bila seseorang makan baso pertama kali akan terpuaskan karena menghilangkan rasa lapar tapi pada kesempatan makan lagi untuk kelima kalinya tidak lagi karena perut sudah kenyang.” Dalam kenyataan orang makin greedy sehingga akhirnya terjadi economic buble,” tambahnya.
Lebih lanjut Miranda menegaskan bahwa Indonesia memerlukan competitive advantage of nation yang disertai inovasi dan semangat berkompetisi yang tinggi.
Salah satu pembahas Bambang Prasetyo dari Bioteknologi LIPI menyoroti bahwa belum banyak orang Indonesia yang menyadari bahwa kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh intangible capital berupa sumber daya manusia, inovasi, penemuan baru dan paten . Bila hal itu disadari maka keunggulan bioteknologi Indonesia dapat dikomersialkan.” Bambu umur 3 tahun bila diolah kekuatannya akan setara dengan kayu jati umur 80 tahun,” ia mencontohkan.
Bagaimana pendapat Anda?
Wednesday, March 12, 2008
Bedah Buku Miranda Gultom "Essays in Macroecomic Policy : The Indonesian Experience"
Posted by KOMUNITAS ABG at 8:27 AM
Labels: academic, Business, Government
Subscribe to:
Comment Feed (RSS)
|