Google

Tuesday, March 11, 2008

Dari Diskusi Pakar Sosial dan Humaniora Mengenai Sel Punca

Topic : Government, Academic

By Ari Satriyo Wibowo

Perkembangan teknologi sel punca memiliki potensi besar untuk pengobatan berbagai penyakit sehingga pengembangannya memperoleh sebutan sebagai kedokteran regeratif. Bila dahulu untuk terapi penyakit dibutuhkan organ satu per satu seperti ginjal untuk ginjal, mata untuk mata maka saat ini dengan memanfaatkan sel punca yang bersifat pluripoten teknologi ini berpotensi besar untuk terapi berbagai penyakit seperti infark jantung, stroke, penyakit Parkinsonm Alzheimer, diabetes, osteoarthritis dan berbagai macam penyakit kanker seperti kanker darah dan sebagainya. Singkat kata pengembangan teknologi sel punca akan meningkatkan kualitas hidup umat manusia. Hal itu disampaikan dr. Boenjamin Setiawan, PhD dari Stem Cell and Cancer Institute (SCI) sekaligus ASPI (Asosiasi Sel Punca Indonesia) pada diskusi dalam rangka sosialisasi teknologi sel punca di kalangan ilmuwan sosial dan humaniora di Gedung Ristek, Lantai 23, Jakarta, kemarin.

Diskusi itu dihadiri antara lain Prof. Sediono Tjondronegoro dari IPB, Dr. Tamrin Amal Tomagola, Prof. Dr. Michael Soerjanto Puspowardoyo dari Filsafat UI, Dr. Mely G. Tan, Dr. Yekti Maunati dan Dr. M. Hisyam dari LIPI. Selaku tuan rumah adalah Dr. Amien Subandrio, Deputi IV Kementrian Ristek yang menjabat pula sebagai pengurus Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI) dan Tim Nasional Stem Cell Indonesia bentukan Depkes RI. Bertindak sebagai moderator Ibu Roosmalawati Rusman, PhD , Asisten Deputy Menristek Bidang Analisis Kebijakan Publik.

Menanggapi presentasi dr. Boen, Prof. Dr. Soerjanto Puspowardoyo bahwa saat ini perkembangan peradaban manusia mengalami kemajuan luar biasa dengan adanya teknologi. Konsep dasar peradaban itu dikembangkan untuk peningkatan kualitas hidup manusia. Teknologi pun pada awalnya untuk kepentingan manusia sehingga tidak dibenarkan apabila hal itu mengurangi peradaban manusia.

Soerjanto mengutip pendapat Habermans bahwa knowledge itu pada dasarnya tidak netral. “Knowledge yang dikembangkan dengan teknologi akan menjadi bersifat teknis belaka padahal dalam sejarah tujuan ilmu pengetahuan adalah menemukan kebenaran,” ujarnya.

Sementara itu, Tamrin Amal Tomagola, menyoroti bahwa kualitas hidup manusia didefinisikan secara berbeda-beda. Semua hasil pada akhirnya ditentukan mekanisme politik. Makin maju masyarakat maka pihak penguasa makin memberi ruang bagi choice (pilihan) dan alternatif. Sedangkan pada pemerintahan yang represif tidak ada pilihan maupun alternative. “Pemerintahan mengatasnamakan Tuhan untuk menakut-nakuti bahwa hal itu adalah kemauan Tuhan,” katanya.

Oleh karena itu, menurut Tamrin, sebaiknya para peneliti sel punca itu diberi kebebasan untuk melakukan penelitian tanpa perlu diberi limit atau batasan tertentu. “ Nanti, melalui proses politik maka hasil penelitiannya akan disaring,” Tamrin menambahkan.

Dr. Mely G. Tan menganologikan teknologi sel punca seperti halnya teknologi nuklir yang bersifat merusak (destructive) sekaligus bermanfaat (useful). Itu dua pilihan yang ada. Oleh karena itu harus dicari cara untuk mengendalikan. Dan karena saat ini masyarkat sedang bergerak menuju Knowledge Society maka kelak yang akan memegang kekuasaan adalah para ilmuwan (scientist).” Maka ketika memegang kekuasaan mereka juga harus memiliki rasa bertanggung jawab,” tuturnya.

Pada kesempatan itu Dr. Amien Subandrio mengisahkan alasan mengapa Ketua LIPI Prof. Umar Jennie membatalkan kerjasama dengan Korea Selatan. Hal itu karena teknologi yang dikembangkan di Korsel adalah embryonic stem cell yang membutuhkan donor sel telur sangat banyak. Dalam kerjasama itu, Indonesia diwajibkan untuk ikut menyumbangkan 100.000 sel telur. “Tentu saja hal ini ditolak dengan tegas Prof. Umar karena menyangkut ketahanan sebuah bangsa.”

Lebih lanjut Amien memberikan ilustrasi seandainya sel darah tali pusar penduduk Indonesi dimiliki pihak luar negeri maka pihak luar mampu membuat obat yang khusus untuk menyembuhkan penyakit yang diderita orang Indonesia. “Demikian pula dalam kondisi perang maka pihak luar negeri dapat menciptakan penyakit yang hanya bisa mengenai orang Indonesia sementara pihak musuh tetap kebal terhadap penyakit tersebut,” paparnya.

Dalam diskusi tersebut mereka umumnya menyepakati bahwa terapi yang layak dikembangkan adalah therapeutic cloning dan bukannya reproductive cloning. Bukan menggunakan embryonic stem cell melainkan adult stem cell. Serta sependapat bahwa teknologi sel punca memiliki aspek hukum yang begitu rumit.

Bila kali ini diskusi dilakukan dengan para praktisi di lingkungan ASPI maka pada kesempatan mendatang diskusi akan diselenggarakan dengan praktisi Tim Nasional Stem Cell Indonesia di bawah Depkes RI yang banyak terlibat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan tentang teknologi sel punca di Indonesia.

Bagaimana pendapat Anda?