Google

Tuesday, March 18, 2008

Pemanis Rendah Kalori Bisa Memicu Kegemukan

Topic : Academic

By Ari Satriyo Wibowo

Pemanis rendah kalori selama ini selalu menjadi pilihan bagi orang yang hendak melakukan diet atau mereka yang mengidap penyakit diabetes. Sayangnya, hasil riset Dr. Susan Swithers dan Dr. Terry Davidson dari Universitas Purdue di Indiana, AS yang dipublikasikan di jurnal Behavioral Neuroscience justru menunjukkan bahwa beberapa senyawa yang ada pada pemanis rendah kalori justru dapat memicu kegemukan.

Kedua peneliti itu sampai pada kesimpukan tersebut setelah melakukan eksperimen pada hewan tikus. Mereka melakukan percobaan pada dua kelompok tikus. Kelompok pertama diberikan makanan yogurt yang telah diasupi saccharine sementara pada kelompok kedua disediakan yogurt yang dicampur gula biasa.

Keduanya kemudian mencatat perkembangan berat badan dua kelompok tikus itu setelah lima minggu. Hasilnya kelompok tikus yang mengonsumsi pemanis buatan ternyata lebih berat dibandingkan yang tidak mengonsumsi gula. Eksperimen dilanjutkan dengan memberikan pudding cokelat berkalori tinggi kepada dua kelompok tikus tersebut. Hasilnya, tikus yang mengonsumsi gula mengurangi porsi makan yogurtnya setara dengan jumlah pudding coklat yang mereka konsumsi. Sementara, tikus yang mengonsumsi pemanis buatan tetap mengonsumsi jatah yogurt mereka dengan lahap.

DR. Swithers dan Dr. Davidson juga mengukur suhu tubuh tikus sebelum dan sesudah makan coklat. Pada kondisi nirmal otak meningkatkan suhu tubuh pada sebelum dan sesudah makan. Ini diperlukan untuk mengeluaran energi secara intensif pada saat proses pencernaan makanan bekerja. Seperti yang sudah diduga kelompok tikus yang mengonsumsi gula mengalami kenaikan suhu normal. Sementara pada kelompok pengonsumsi pemanis buatan terjadi peningkatan suhu tubuh secara perlahan-lahan, yang menandakan terjadinya aktivitas pencernaan.

Keduanya lalu berpendapat ada perubahan persepsi otak terhadap hubungan antara pemanis buatan dan kalori. Riset sebelumnya menunjukkan bahwa otak berpikir bahwa adanya pemanis adalah merupakan pertanda adanya makanan berkalori tinggi. Tetapi setelah diberikan asupan pemanis rendah kalori beberapa kali maka otak kehilangan kemampuan menghitung jumlah kalori yang diberikan. Akibatnya, otak gagal menghentikan nafsu makan hewan pada batas yang wajar.

Bila hal tersebut juga berlaku di tubuh manusia maka merupakan sebuah ironi. Jika pemanis buatan dikonsumsi untuk keperluan diet yang terkontrol hal itu tidak menjadi masalah. Tetapi, jika tidak --- misalnya, dikonsumsi orang-orang yang menderita diabetes --- maka malahan bisa menimbulkan kegemukan.

Bagaimana pendapat Anda?

Sumber : “Metabolic Syndrome II (obesity) : Sweetness and Light”, The Economist, Februari 16, 2008 pages 89