Google

Monday, June 23, 2008

Teori Butterfly Effect Mengindikasikan Indonesia Bakal Tertib di Masa Depan



Sumber gambar : http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/3/30/Sensitive-dependency.svg/300px-Sensitive-dependency.svg.png

Topic : Academic

By Satjipto Rahardjo

Amat sulit membayangkan Kejaksaan (Agung) lebih terpuruk dari sekarang. Bagaimana mungkin lembaga publik yang diandalkan menjadi salah satu ujung tombak telah ambruk?

Untuk sedikit ”menghibur” kejaksaan, menurut Sebastiaan Pompe, Mahkamah Agung sudah beberapa tahun lebih dulu mengalami kolaps (institutional collapse) seperti itu (Pompe, 2005).

Bangkit dan berubah

Jika integritas Kejaksaan Agung dirusak oleh ulah beberapa pejabat puncaknya, menurut studi Pompe, Mahkamah Agung mengalami kolaps karena (1) keberanian telah berubah menjadi kepengecutan, (2) kemampuan merosot menjadi tidak lagi mampu (incompetence), (3) integritas merosot menjadi korupsi struktural, dan (4) kehormatan berubah menjadi tercela (contempt).

Kepolisian (Polri) sedikit banyak juga sudah mendapat giliran dengan kejadian di Unas beberapa waktu lalu. DPR juga sudah beberapa lama menjadi sasaran kritik, cemooh, dan parodi.

Maka, sungguh dramatis keadaan yang menimpa kita. Rasanya tidak ada lagi yang tersisa. Menangis dan meratap? Sebentar boleh dan itu alami. Namun, hal lebih baik dan diperlukan adalah bangkit serta berubah. Keambrukan institusi publik negeri ini harus berhenti sampai di sini.

Karena itu, kita tidak boleh lagi kecolongan. Kita tidak boleh terpaku hanya pada Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Polri, dan DPR, tetapi juga seluruh institusi publik yang melayani bangsa.

Awal ketertiban baru

Kini sudah terjadi pergeseran dalam sains, khususnya tentang konsep ketertiban (order) dan kekacauan (chaos). Keduanya tidak lagi berdiri terpisah dibatasi tembok tebal, tetapi berkelindan.

Ilya Prigogine, penerima Nobel di bidang kimia, menulis buku Order Out of Chaos. Itu tidak hanya disuarakan ilmu kimia, tetapi juga sudah merembes ke dalam ranah ilmu-ilmu lain, seperti The Chaos Theory of Law.

Kita sudah diperkaya paradigma dan perspektif baru bahwa kekacauan bukan ”kiamat”, tetapi awal suatu ketertiban baru. Dalam kekacauan tersimpan bibit- bibit ketertiban baru. Dalam konsep baru ini, ketertiban bukan suatu konsep statis, tetapi sebuah proses dinamis.

Perubahan bisa terjadi hanya oleh faktor/kejadian kecil dan sederhana (strange attractor), tetapi kemudian berubah skala menjadi kejadian luar biasa. Ini disebut sebagai butterfly effect. Kepak sayap kupu-kupu di Hawaii bisa menyebabkan suatu perubahan cuaca besar-besaran di New England. Itulah teorinya.

Marilah kita lihat dan tempatkan keambrukan institusi pelayanan publik dalam perspektif baru itu. Ini membuat kita bersemangat untuk bangkit kembali dari keterpurukan dan kekacauan. Semangat bangkit ini antara lain karena didukung sains mutakhir. Sains pasca-Newtonian ini seolah berkata kepada kita, ”Kamu, bangsa Indonesia, tidak akan terus-menerus kacau seperti sekarang, tetapi bisa berubah menjadi bangsa yang tertib teratur.”

Ada bukti empirisnya. Kendati dikepung masyarakat yang korup, jaksa, hakim, dan polisi kecil di pelosok tetap bertahan dalam kemuliaan martabat profesinya. Laporan Bank Dunia (Village Justice in Indonesia, 2004) memastikan kehadiran mereka. Inilah strange attractors yang kita miliki, yang diharapkan mampu memunculkan butterfly effect berupa badai ketertiban baru di negeri ini.

Perlu keberanian

Memang dibutuhkan keberanian untuk merasa sakit karena operasi untuk mendukung munculnya kupu-kupu kecil itu perlu dilakukan. Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Mabes Polri telah membuat cetak biru pembaruan institusi mereka. Namun, itu semua adalah skema abstrak dan ideal. Skema itu perlu dibuktikan menjadi kenyataan. Kenyataan itulah yang dilihat seluruh bangsa, bukan skema- skema abstrak. Kenyataan itu berupa kekacauan dan keambrukan, sangat jauh dari skema abstrak dan ideal.

Namun, perlukah kekacauan itu? Pertanyaan ini amat ironis. Kekacauan yang mahal itu diperlukan guna menunjukkan di mana masih ada lubang-lubang dalam rancangan ideal yang telah dibuat. Kita menjadi tahu di mana ada kebocoran. Kekacauan ini seyogianya segera diintegrasikan dengan cara diterima sebagai koreksi terhadap rancangan itu.

Pasti ada yang salah dalam konsep cetak biru lama. Jaksa Agung berbicara tentang ”disiplin moral”. Mungkin ini salah satu butir koreksi sesudah melihat kebocoran di tubuh Kejaksaan Agung. Hal yang penting, rancangan baru segera dibuat dan langkah-langkah nyata segera dilakukan. Tugas kita adalah terus menghidupkan semangat untuk bangkit dan melakukan kontrol publik. Teori baru sudah mengatakan adanya harapan baru untuk keluar dari kekacauan dan menjadi bangsa yang tertib.

Satjipto Rahardjo adalah Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

Sumber : Artikel Opini Kompas, Senin, 23 Juni 2008 dengan judul "Kini Saatnya Memunculkan Ketertiban" oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH