Google

Saturday, June 21, 2008

Tahukah Anda ?



Konsep Triple-Co Bagi Kemajuan Pertanian Indonesia


Konsepsi Triple-Co, yaitu co-ownership (pemilikan bersama), co-determination (ikut menentukan), dan co-responsibility (ikut bertanggung jawab) sebagai prinsip kebersamaan dalam membangun badan-badan usaha. Co-ownership bisa dilaksanakan melalui sistem equity loan bagi plasma rakyat.

Asas kebersamaan yang memihak si lemah ini tidak menentang asas ”perlakuan sama” (equal treatment), pemihakan macam ini tidak diskriminatif.

Petani (koperasi) kopra dan sawit adalah saka guru industri minyak goreng. Petani (koperasi) tembakau dan cengkeh adalah saka guru industri rokok. Karena menyediakan kehidupan murah (low-cost economy) bagi buruh miskin, ekonomi rakyat menjadi saka guru perusahaan menengah dan besar. Secara ekonomi, mereka harus terbawa maju dan teremansipasi.

Beginilah demokrasi ekonomi Indonesia.

Jangan sampai mentalitas tersubordinasi tetap kukuh dipelihara meski beberapa PIR mulai mengoreksi diri.

Tukirin, petani gigih, menemukan bibit jagung unggul berkat kerja keras dan menyatunya local wisdom dalam dirinya. Tiba-tiba ia digugat mantan investor ”inti” dan dituduh memalsukan bibit. Pengadilan mengalahkan Tukirin (Metro TV, 24/5/ 2008). Padahal, bentuk bibit jagung unggul temuan asli Tukirin lain dari bibit investor. Penjualannya pun tanpa merek. Tidak ada pemalsuan. Harga jual bagi teman-temannya hanya Rp 10.000 per kilogram (kg). Sementara harga bibit jagung monopolistik itu Rp 40.000 per kg. Hukuman percobaan dia terima setelah proses pengadilan yang mencekam dan memberikan trauma berat.

Tukirin bukan satu-satunya korban kejahatan ”cultuurstelsel baru” yang subordinatif-monopolistik dan merampas hak demokrasi ekonominya.
Nasib Mujahir, penemu bibit ikan mujair pada zaman Jepang; Mukibat, penemu bibit singkong unggul; dan Gondeng Tebo, penemu bibit karet unggul GT1 kondang, lebih baik daripada Tukirin. Tukirin dianggap melanggar UU No 12/1992 tentang Budidaya. ”Kebenaran adalah kekuasaan”. Beruntung, Tukirin dibantu LSM, bukan lembaga penelitian negara dan bukan peradilan yang predikatnya pro-iustitia.

Representasi sosial kultural petani dipasung kapitalisme rakus dan bersifat predator. Tukirin, Mujahir, Mukibat, Gondeng Tebo, dan banyak lagi merupakan jenius-jenius lokal kewirausahaan, yang kehadirannya diperlukan bagi peran global Indonesia.

Sumber : Disarikan dari artikel opini "CultuurStelsel Baru” oleh Sri Edi Swasono di Harian Kompas, Sabtu, 21 Juni 2008