Google

Thursday, May 22, 2008

STOVIA Sebagai Cikal Bakal Pergerakan Kebangkitan Nasional



Topic : Academic, Government

By Ari Satriyo Wibowo


Ikatan Alumni Universitas Indonesia – Fakultas Kedokteran (ILUNI- FK) di bawah pimpinan dr. Doddy P. Partomihardjo, Sp.M bekerjasama dengan Perhimpunan Sejarah Kedokteran Indonesia (PERSEKI) dalam rangka memperingati Seabad Kebangkitan Nasional 20 Mei 2008 menyelenggarakan Pameran Foto dan Pemutaran Film Dokumenter dengan tema “Stovia – Kemunculan Pergerakan Kebangkitan Nasional “ bertempat di aula FKUI yang dibuka Wakil Ketua MPR RI Bapak A.M. Fatwa pada Rabu, 21 Mei 2008.

Sementara, seminar internasional bertemakan “Stovia sebagai Pemunculan Golongan Elit Intelektual yang Membangkitkan Semangat Kebangsaan” diselenggarakan di Gedung Stovia – Museum Kebangkitan Nasional di Jalan Abdurahman Saleh, Kwini, Jakarta Pusat pada Kamis, 22 Mei 2008. Tampil sebagai pembicara antara lain Prof. Dr. Lerissa (UI), Dr. Daniel Dhakidae, Goenawan Mohamad dan pembicara asing seperti Max Lane (Belanda), Herman Keppy (Belanda), Dr.Hans Pols (Australia)dan Andrian Pieter.

Apa yang dimaksud dengan Kebangkitan Nasional itu? Hal itu terkait dengan munculnya kesepakatan di antara sejumlah mahasiswa kedokteran Bumi Putera pada lembaga pendidikan STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau Sekolah untuk pendidikan Dokter Bumi Putera) pada tanggal 20 Mei 1908 di Weltevreden Batavia (sekarang Jakarta Pusat). Mereka telah mendirikan suatu perhimpunan atau organisasi orang-orang Jawa bernama “ Boedi Oetomo” yang akan menjadi inti persatuan umum di masa yang akan datang.

Para mahasiswa pelopor yang berjumlah tujuh orang itu terdiri dari Soetomo, Soeradji, Goenawan Mangoenkoesoemo, Soewarno, Goembreg, Mohammad Saleh dan Soelaeman dengan penganjur utama Dr. Wahidin Soedirohoesodo. Dr. Wahidin memerlukan hadir sehubungan upayanya untuk mewujudkan sebuah lembaga beasiswa bagi para pemuda Bumi Putera agar bisa melanjutkan studi dengan baik. Dalam diskusi dibicarakan mengenai hal-hal umum tentang masa depan kebangsaan dan perlunya agen perubahan untuk memelopori pembangunan kebangsaan.

Gagasan para pendiri dengan cepat memperoleh dukungan berbagai badan pendidikan Bumi Putera seperti sekolah pertanian (Landouw School) di Buitenzorg ( sekarang Bogor), Sekolah Dokter Hewan (Veeartsnij School) di tempat yang sama, Sekolah Kepala Negeri (Hoofdenschool) di Magelang dan Probolinggo, Sekolah malam untuk penduduk (Burger avond Schoool) di Surabaya, Sekolah Pendidikan Guru Bumi Putera di Bandung, Yogyakarta dan Probolinggo.

Makna perjuangan kebangsaan makin menggelora di dalam diri tokoh-tokoh pemuda seperti Dr. Cipto Mangunkusumo, Dr. Sitanala, Dr. Laoh, Dr.Latumenten, Dr, Abdul Rivai, Dr. Tehupeiory kakak beradik. Termasuk di dalamnya terdapat mahasiswa yang tidak sempat menuntaskan studi seperti Suwardi Suryaningrat, Tirto Adhisurjo dan Abdul Muis. Sejumlah mahasiswa lainnya Seperti Mohammad Roem, Assaat dan Sudiman Kartohadikusumo bahkan melanjutkan ke bidang studi lain dan menjadi ahli hukum. Roem dikemudian hari dikenal sebagai perunding RI yang andal dengan pihak Belanda.

Selain AK Ganie dan Leimena yang sudah disebut di atas terdapat sejumalh mahasiswa STOVIA lainnya seperti Abu Hanifah, Sukiman, Sarwano dan lain-lain.

Satiman Wirjosandjojo kakak Sukiman pada tahun 1915 mendirikan Tri Koro Darmo (Tiga Tujuan Mulia) yang kemudian menjadi Jong Java. Pada saat pendiriannya 50 mahasiswa STOVIA langsung menjadi anggota.Jong Java merupakan kekuatan politik pemuda yang nyata dan amat berpengaruh pada kongres pemuda ke-2 tanggal 28 Oktober 1928. Jong Java bersama organisasi lainnya berfusi menjadi Indonesia Muda pada tahun 1930.

Goenawan Mohamad penyair sekaligus redaktur senior Majalah Tempo dalam makalahnya berjudul “Melintasi Taksonomi” menyebut pemerintah Hindia Belanda menyiapkan STOVIA pada tahun 1851 terutama untuk melayani kepentingan pemilik perkebunan di Sumatera Timur. Tujuannya tak lain agar para buruh yang didatangkan dari Jawa perlu dijaga kesehatannya agar bisa tetap produktif. Sejak awal abad ke-20, STOVIA diperbaiki agar jadi tempat untuk para pemuda --- terutama mereka yang datang dari kalangan yang disebut “bumiputera” --- dilatih jadi tenaga kesehatan. Sejak 1904, diploma STOVIA dapat mengantar seseorang lulusan ke sebuah sekolah kedokteran di Belanda di tingkat lanjut. Di tahun 1913, masa kuliah diperpanjang hingga tujuh tahun, untuk mempersamakan STOVIA dengan NIAS (Sekolah Dokter Hindia Belanda) yang didirikan Belanda di Surabaya pada tahun itu. Para lulusan kedua lembaga itu bergelar dokter Hindia atau Dokter Djawa. Tidak mudah untuk meraih gelar tersebut. Selama 14 tahun pertama abad ke-20, hanya ada 135 orang yang selesai sampai lulus.

Sebagai “dokter Hindia” atau “dokter Djawa” gaji mereka di dinas pemerintahan dan perkebunan jauh lebih rendah dibandingkan dokter Belanda. Dorongan untuk mendapatkan tenaga medis berkualitas tetapi murah itulah yang mendasari lahirnya STOVIA. Di tahun 1904, imbalan “dokter Djawa” dinaikkan menjadi 150 gulden per bulan tetapi jumlah ini masih kecil dibandingkan pendidikan mereka yang berat dan panjang.

Bagaimana pun STOVIA sungguh merupakan “kawah candradimuka” yang memunculkan intelektual elit Indonesia guna mempersiapkan diri menjadi negara dan bangsa yang merdeka.

Bagaimana pendapat Anda?