Google

Wednesday, May 7, 2008

Perkembangan Terapi Gen Paling Mutakhir dari Pennsylvania, AS



Topic : Academic

By Ari Satriyo Wibowo

Keberhasilan terapi gen selama ini masih menunjukkan angka yang kecil. Dari ribuan pasien yang menjalani terapi gen hanya sedikit yang merasakan manfaatnya. Uji klinis terapi gen pertama kali terjadi tahun 1990 terhadap pasien yang menderita penyakit langka dan jarang ditemukan berupa penyakit kehilangan kekebalan tubuh atau lazim disebut SCID (Severe Combined Immunodefeciency Diseases). Terapi serupa terhadap sekitar 24 pasien lainnya di seluruh dunia juga berjalan sukses. Itu saja.

Namun, baru-baru ini terbetik kabar gembira dari peneliti di Universitas Pennsylvania, AS setelah mereka berhasil melakukan koreksi terhadap gen yang dapat menyebabkan kebutaan. Demikian laporan terbaru dari The New England Journal of Medicine.


Mereka memanfaatkan virus yang secara genetika telah direkayasa untuk memperkenalkan versi gen bernama RPE65 kepada 6 orang penderita penyakit retina mata yang lazim disebut Leber’s congenital amaurosis. Empat pasien mengalami kemajuan dalam penglihatan. Percobaan sebelumnya dengan teknik sama pada anjing yang mengalami kebutaan juga berjalan sukses.

Katherine High dari Howard Hughes Medical Institute di Maryland, AS dan salah satu direktur dalam proyek riset itu, optimis keberhasilan itu masih dapat diperluas. Ia mengharapkan penelitian itu akan mampu mengoreksi 10 kerusaka genetik yang dapat mengakibat seseorang menderita penyakit Leber’s, seperti beberapa bentuk dari retinitis pigmentosa, nama sekelompok kondisi genetik mata.

Terapi pada penyakit seperti cystic fibrosis atau muscular dystrophy, yang melibatkan satu atau beberapa perubahan genetika turunan, uji klinisnya dilakukan dengan mengoreksi versi dari gen yang cacat pada pasien. Sedangkan, untuk penyakit seperti kanker, terapi gen dimaksudkan untuk membunuh sel kanker. Len Seymour, peneliti pada Universitas Oxford , menggunakan pendekatan DNA sebagai obat.

Dulu, kata dr. Seymour, orang berpikir salah bahwa akan mudah untuk memperkenalkan material genetik pada sel penyakit. Ia mengibaratkan usaha peneliti untuk memperkenalkan gen itu seperti " melemparkan karburator ke tempat duduk mobil dan mengharapkan mobil itu bergerak".

Sukses yang sudah diperoleh sejauh ini terjadi pada penyakit yang relatif mudah untuk memperkenalkan gen. Pada SCID, misalnya, sel sumsum tulang belakang awal dapat dipindahkan, diperbaiki dan kemudian disuntikkan kembali ke tempatnya. Pada kasus Leber’s congenital amaurosis virus yang membawa gen yang telah diperbaiki dapat disuntikkan langsung ke retina yang kemudian lansung menginfeksi sel retina. Suntikan langsung juga dipergunakan dalam uji terapi gen pada pasien penderita Parkinsons serta pada pasien yang menderita muscular dystrophy.

Masalah lain terapi gen terletak pada vector pembawa gen yakni si virus. Kadang-kadang virus ini memprovokasi reaksi kekebalan yang kuat --- yang telah membawa kematian pada Jesse Gelsinger, pemuda AS umur 18 tahun, yang memiliki gen rusak yang mencegah organ hatinya memproduksi enzim yang mampu menghancurkan ammonia. Pada 1999 ia merupakan orang pertama yang dupublikasikan meninggal sebagai akibat uji klinis dari terapi gen.

Virus juga dapat menyebabkan mutasi genetika ketika mereka mengintegrasikan diri dalam DNA manusia. Dari 27 orang penderita SCID yang diterapi di seluruh dunia, 4 diantaranya mengalami leukemia dan seorang diantaranya telah meninggal, kata dr. Seymour, sambil menambahkan fakta bahwa kebanyakan anak-anak penderita SCID yang diterapi tidak memiliki sistem kekebalan tubuh yang normal dan meninggal pada awal masa kanak-kanak mereka.

Saat ini, riset dikembangkan untuk memperbaiki vektor dari virus. Salah satu caranya adalah menghilangkan kemampuan untuk mengaktifkan gen lokal ketika virus diintegrasikan ke dalam genome si tuan rumah. Uji coba yang dilakukan di Pennsylvania, AS adalah menggunkan virus yang telah berintegrasi dalam sel ketimbang dalam sel DNA. Sementara, di Universitas Oxford, Inggris Dr. Seymour mengembangkan “virus siluman” yang dilapisi dengan polimer sehingga dapat menjadi tempat persembunyian virus dari sistem kekebalan tubuh. Hal itu mengijinkan virus yang telah dimodifikasi untuk bersirkulasi lebih lama di aliran darah pasien sehingga memiliki peluang lebih baik untuk mencapai tumor yang tersebar di seluruh tubuh. Beberapa kelompok riset sedang mencoba mengembangkan polimer sintetis untuk mengantar gen yang akan menggantikan peran virus.

Kebanyakan terapi gen difokuskan untuk mengatasi penyakit kanker. Salah satu pendekatan yang dilakukan Shenzhen SiBiono GeneTech, sebuah perusahaan di RRC, adalah menggantikan tumor-supressor gene yang rusak dengan versi yang benar. Pada tahun 2003 perusahaan itu berhasil mengobati penyakit kanker pada kepala dan leher pada sekitar 10% dari 2,5 juta penderita kanker di RRC setiap tahunnya dan memperoleh hak untuk mengomersialisasikan untuk pertama kalinya terapi gen di sana.

Terapi menjanjikan lainnya adalah virotherapy. Teknik ini memanfaatkan virus secara selektif untuk menyerang hanya sel kanker saja. Ada sekitar lusinan uji coba dilakukan di area tersebut. Pada tahun 2006 peneliti dari Hebrew University di Israel mengisolasikan sebuah varian virus yang menyebabkan penyakit Newcastle, sebuah penyalit menular pada burung yang mematikan. Varian ini dapat disasarkan pada sel kanker terpilih pada manusia. Uji coba pada pasien kanker otak mampu menyembuhkan satu dari 14 pasien yang ditangani.

Sekalipun perkembangannya lambat, Dr High optimis tentang masa depan terapi gen. Dia mengingatkan bahwa terapi gen baru dimulai sungguh-sungguh 15 tahun yang lalu ( ketika uji SCID dimulai). Ini, dia menambahkan, harus memasuki konteks: pengembangan dari pencangkokan sumsum tulang belakang atau monoclonal-antibody. Kedua-duanya membutuhkan waktu beberapa dekade. Obat yang " biologis", seperti vaksin, monoclonal antibodies dan terapi gen, berasal dari proses biologi dan lebih kompleks dibanding bahan-kimia yang secara tradisional menjadi arus utama dunia farmasi.

Terapi gen boleh jadi cabang paling rumit dari ilmu biologi. Penelitian saat ini masih pada tingkat dasar anak tangga dari sebuah tangga yang tinggi. Tetapi, kemajuan pesat di bidang medis memungkinkan keberhasilan terapi gen yang lebih besar lagi di masa depan.

Bagaimana pendapat Anda?

Sumber : “Seing is Believing”, The Economist, May 1. 2008