Google

Monday, July 23, 2007

Tantangan, Peluang dan Inovasi melalui R&D di Industri Farmasi


Topik : Academic, Business

Dinamika ekonomi di pasar, dinamika internal ilmu pengetahuan mengenai produksi serta peran pemerintah sebagai penghubung di berbagai tingkatan berbeda telah memicu terjadinya kerjasama Triple Helix yang melibatkan tiga sektor yakni institusi akademis (A, Academic), kalangan bisnis (B, Business) dan pemerintah (G, Government).

Demikian dikemukakan Ketua LIPI Prof. Drs. Umar Anggara Jenie, Apt dalam seminar sehari bertema " Challenges, Opportunities and Innovation through R&D in the Pharmaceutical Industries" yang diselenggarakan Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GP Farmasi) di Gedung Widya Graha LIPI, Senin, 23 Juli 2007.

Seminar itu dibagi dalam tiga sesi dengan menampilkan pembicara seperti Prof. dr. Henk Timmerman dari Belanda, Prof. Dr. Amin Soebandrio dari Kantor Menristek, Ir. Arief Budi Witarto, PhD dari LIPI, dr. Boenjamin Setiawan, PhD dari Kalbe, Ir. Dudi Hidayat, MSc dari LIPI, Dr. Adi Santoso dari Bioteknologi LIPI, Dr. Agus Haryono dari Puslit Kimia LIPI dan Dr. Tenny Mart dari FMIPA Fisika UI.

Dalam makalahnya yang berjudul “Kegiatan R&D Pharmaco-Chemistry di Indonesia”, Umar A. Jenie menguraikan tiga jenis kerjasama R&D antara universitas dan industri yang dikenal di dunia yakni Model 2, Model 2 + 2 dan Model Triple Helix.

Model 2 adalah kerjasama universitas dan dunia usaha dalam negeri. Misalnya, hal ini diterapkan dalam kerjasama Fakultas Farmasi UGM, PT Indofarma dan PT Kalbe Farma dalam mengembangkan turunan Curcumin berupa Pentagamavunon (PGV), Hexagamavunan (HGV) and Gamavuton (GVT) dengan hasil berupa US Patent No: US 6,777,447 B2 a.n. Reksohadiprodjo et al. yang terdaftar sejak 17 Agustus 2004.

Model 2 +2 merupakan kerjasama universitas dan dunia usaha satu negara dengan universitas dan dunia usaha negara lainnya. Salah satunya kerjasama RC-Biotechnology LIPI + PT Kimia Farma dengan BMBF, Franhoufer GmbH + Sartorius Co dalam memproduksi Interferon-a 2a (IFN-a 2a), Human Serum Albumin (HSA) and Antibodi M-12 menggunakan teknik Molecular Farming.

Model Triple Helix ABG adalah model kerjasama tiga sektor yakni Akademis, Bisnis dan Pemerintah (G, Government). Keterlibatan G sangat diperlukan karena peraturan tentang prioritas seleksi riset dan pendanaan riset berada di tangan pemerintah. Peran utama G dalam model kerjasama Triple Helix adalah dalam hal peraturan dan aspek keuangan.

Selama akhir abad ke- 19 hingga akhir abad ke-20 universitas berkembang menjadi produsen ilmu pengetahuan yang berbeda di mata masyarakat. Universitas berubah menjadi “ menara gading” yang susah disentuh langsung oleh masyarakat. Peraturan universitas berubah menjadi tinjauan kualitas dan pengakuan akademis yang kemudian dikenal sebagai norma akademis universitas.

Kondisi universitas di abad ke-21 telah berubah. Menurut Umar A. Jennie mengutip pendapat Etzkovits H dan Leydesdorff L. (2000) saat ini ini universitas bergerak menuju model kewirausahaan dan meningkat perannya dalam perkembangan ekonomi melalui eksploitasi produk ilmu pengetahuan. Konsekuensinya relevansi ekonomi dan sosial harus menjadi bagian integral dari sistem normatif akademis.

Bila relevansi ekonomi dan sosial sudah menjadi bagian integral sistem normatif akademis, maka sekarang universitas bukan lagi merupakan institusi yang memproduksi ilmu pengetahuan tetapi bersama industri dan pemerintah menjadi sebuah instusi bagi penerapan pengetahuan produksi kepada masyarakat.

Jadi, ketiganya akhirnya saling tumpang tindih “Di mana yang satu mengambil alih peran yang lain dengan keterkaitan hubungan organisasi hibrida,” papar Umar Jenie.

Interaksi ABG tersebut menghasilkan Pusat Kerjasama (Cooperations Centers) di universitas, Aliansi Strategis (Strategic Alliance) di industri dan Pusat Inovasi Nasional (National Innovation Center) di pemerintahan. Sementara kerjasama saling berbagi di antara ABG ada tiga jenis pula yakni cost sharing, resources sharing dan brain/knowledge sharing.

Prof. Dr. Henk Timmerman dari Belanda dalam presentasinya berjudul “Targeted R&D Through Stucture Activity Relationship Studies” lebih banyak membahas tentang konsep selektivitas obat-obatan. Dikatakannya sebuah senyawa memenuhi kriteria selektivitas apabila senyawa itu memiliki efek terhadap satu sel tetapi tidak berpengaruh pada sel-sel lainnya. Ia juga membahas perihal efek samping obat yang diterangkan sangat teknis sekali lengkap dengan bagan biokimianya.

Sementara itu, Prof. Dr. Amin Subandrio dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi dengan makalah berjudul Difficulties Doing R&D in Indonesia menyoroti kondisi industri Indonesia yang lebih menekankan aktivitas down stream ketimbang up stream. Akibatnya aktivitas yang dilakukan hanyalah formulating (membuat formula), filling (mengisi) dan packaging (mengemas) saja tanpa adanya aktivitas R&D yang sesungguhnya.

Tidak mengherankan bila kemudian muncul fenomena “Tutuko” yang diambil dari istilah dalam bahasa Jawa, “Sing Teko Ora Tuku-tuku, Sing Tuku Ora Teko-teko” (Yang membeli tidak tertarik membeli dan yang membeli tidak tertarik untuk berkunjung).

Oleh karena itu, Amin Subandrio menawarkan strategi untuk industri farmasi dan kesehatan antara lain melalui peningkatan apresiasi dan promosi terhadap teknologi domestik untuk komersialisasi, peningkatan kesadaran publik tentang produk berbasis bahan alam, penciptaan iklim yang kondusif terhadap HaKI, keterlibatan institusi kesehatan dan obat luar negeri dalam transfer teknologi, peningkatan keterlibatan masyarakat dalam penentuan kebijakan mengenai pengembangan produk kesehatan dan obat serta peningkatan daya saing produk kesehatan dan obat dalam negeri.

Dr. Terry Mart dari Departemen Fisika FMIPA UI dengan makalah berjudul “ Tantangan dan Kesulitan melakukan penelitian di Indonesia” menekankan pentingnya kita untuk membedakan Riset Unggulan dan Riset Impian. “Riset Unggulan adalah riset di mana kita unggul dan mampu bersaing di skala internasional. Riset impian adalah riset di mana kita tidak unggul tetapi tetap ingin berkiprah,” tandasnya.

Pembicara lainnya Dr. Boenjamin Setiawan, PhD dengan makalah berjudul “Mengatasi Masalah R&D dengan kerjasama ABG memaparkan apa yang telah dikerjakannya di Laboratorium Kalbe dan Stem Cell and Cancer Institute (SCI) seperti melakukan R&D dalam drug delivery enteral dan transdermal drug delivery dengan menggunakan Franz Diffusion Cells. Pilihan jatuh pada topik penelitian itu karena memiliki beberapa keuntungan seperti ketersediaan literature dan referensi, peralatan R&D dan adanya bantuan dana penelitian.

Di bidang Stem Cell, dr. Boen sudah melakukan riset antara lain mouse embryonic stem cell ( SCNT), adult stem cell dari Peripheral Blood untuk Critical Limb Ischemia, Luka bakar, Cartilage, Stroke dan AMI dan Human Umbilical Cord Blood Xeno Free Expansion.

Sedangkan, dalam program penelitian kanker sudah dilakukan riset berupa cancer prevention program, molecular diagnosis and therapy, biomarkers dan therapeutic cancer vaccines.

Dr. Adi Santoso dari Bioteknologi LIPI menyajikan presentasi berjudul “Expression of Human erythropoletin in pichia Pastoris & Assesment of the biochemical & biological properties of the recombinant protein”.

Adi Santoso dikenal sebagai ilmuwan Indonesia yang berhasil memproduksi human erythropoletin (hEPO) yang berguna bagi penderita ginjal dan anemia dengan harga yang lebih murah. Ia menggegerkan jagat bioteknologi dunia berkat temuan produksi human erythropoietin (hEPO) dalam ragi dan tanaman barley (sejenis gandum). Ini temuan pertama di dunia. Bioteknolog Inggris dan Korea Selatan bahkan gagal mewujudkannya.

Temuan hEPO pada tanaman dan ragi disinyalir mampu mengubah wajah dunia kedokteran -- khususnya pengobatan anemia -- selamanya. Harga satu miligram hEPO kini dibanderol Rp 80 jutaan atau Rp 1 miliar per gram lantaran dibuat dari sel mamalia. Dampaknya, biaya cuci darah atau suntik hEPO bagi penderita anemia membumbung tinggi hingga Rp 24 juta per bulan.

Dengan hEPO berbasis media ragi (Pichia pastoris) dan tanaman barley, biaya produksi hEPO dapat ditekan menjadi sepersepuluh dari biaya yang diperlukan saat ini.

Paling tidak ada lima kesimpulan yang dapat diambil dari seminar sehari itu yakni :

  1. Kerjasama erat antara A (AKADEMI), B (BISNIS) dan GOVERNMENT (G) sangat diperlukan
  2. Pihak pemerintah harus menciptakan lingkungan yang kondusif untuk R&D
  3. R&D inovatif harus dirangsang dengan memberikan berbagai insentif (pajak, kepabeanan dll.)
  4. Industri harus menyediakan proyek penelitian untuk program S1,S2 dan S3 universitas
  5. Industri dan universitas harus kerjasama dalam R&D teraplikasi yang menghasilkan produk baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Bagaimana pendapat Anda sebagai pembaca awam? (ASW)