Topik : Academic
Prof. dr. Henk Timmerman selama dua hari berturut-turut, Minggu dan Senin (22 dan 23 Juli 2007) , tampil menjadi bintang diskusi dan seminar di kalangan ABG Farmasi.
Yang pertama dalam dinner talk dengan tema “Memperat Kerja Sama Akademi, Bisnis dan Government (ABG) untuk Kemajuan Bangsa” di Hotel Four Season Jakarta dan yang kedua di acara Seminar Sehari GP Farmasi di Gedung Widya Graha LIPI.
Siapakah sesungguhnya dia? Prof. dr. Timmerman adalah pakar kimia medisinal terkemuka di Belanda yang pernah mengajar di Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda selama 15 tahun sejak 1980. Ia kini tinggal bersama istri tercinta di sebuah kota kecil tak jauh dari kota Leiden, Belanda.
Kimia medisinal atau farmakokimia adalah ilmu untuk merancang struktur senyawa obat, menyintesisnya, serta mengevaluasi aktivitasnya terhadap penyakit. Dengan ilmu ini struktur senyawa obat dapat dirancang dengan lebih akurat sehingga aktivitasnya diharapkan dapat lebih tinggi dan efek sampingnya dapat dikurangi.
Disiplin ilmu ini dinamakan kimia medisinal atau farmakokimia karena pada mulanya merupakan paduan ilmu kimia dan farmasi. Dalam 10 tahun terakhir kimia medisinal berkembang maju dengan diterapkannya program komputer pada tahap perancangan struktur senyawa obat.
"Program ini mempercepat penemuan struktur senyawa obat yang cocok bagi tubuh manusia serta menghemat biaya sintesis dan pengujian obat, sehingga penyediaan obat bagi masyarakat Indonesia dapat berlangsung lebih efisien," jelas Ketua LIPI Prof. Drs. Umar Anggara Jenie, Apt.
Pria kelahiran tahun 1937 itu dikenal kimiawan medisinal Indonesia setelah memberikan bantuan untuk riset kimia Curcumin (Kunyit) pada Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada. Berkat bantuannya kerjasama Fakultas Farmasi UGM dan dua institusi bisnis PT Indofarma dan PT Kalbe Farma berhasil mengembangkan turunan Curcumin berupa Pentagamavunon (PGV), Hexagamavunan (HGV) and Gamavuton (GVT) dan memperoleh hak paten di AS.
Prof. Timmerman sebagai pakar farmakokimia selalu menekankan agar kita tidak terlalu berharap terhadap munculnya obat yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Saat ini para ahli biologi molekuler yang melakukan berbagai riset genetika percaya bahwa dengan rekayasa genetika manusia akan mampu menyembuhkan segala penyakit. “Lebih dari 50 tahun lalu ketika kimia organik sintetis sedang naik daun, para ahli percaya akan adanya era berakhirnya segala macam penyakit. Kemudian tahun 1960-an ketika para ahli farmakologi baru saja menemukan berbagai reseptor mereka memperkirakan bahwa kanker dapat disembuhkan pada tahun 2000.”
Sekarang optmisme tumbuh lagi dengan keberhasilan manusia memetakan gen manusia dalam proyek Genome bahwa semua penyakit pada akhirnya bisa diatasi. Tetapi, imbuh Timmerman, mereka lupa bahwa pada 1960-an orang juga belum mengenal adanya HIV dan AIDS, temuan H2-antagonist, ACE-blockers dan proton pump inhibitor belum muncul dan kata-kata seperti COX, prostagladin dan protease inhibitor sama sekali belum pernah terdengar.
“Ambil contoh mengenai penyakit asma. Pada tahun 1960-an para ilmuwan berkesimpulan bahwa antihestamin yang merupakan penyebabnya. Tetapi kita sekarang tahu bahwa banyak faktor penyebab penyakit itu. Peradangan, misalnya, merupakan salah satu penyebab. Oleh karena itu, asma saya anggap sebagai “dirty desease” sehingga tidak bisa diobati dengan satu obat tunggal,” ujarnya.
Prof. Timmerman yang datang pertama kali ke Indonesia 25 tahun lalu melihat bahwa di Indonesia, riset belum menjadi budaya dan masih diabaikan kalangan ABG (Academic, Business, Government). Oleh karena itu, ia menyarankan agar Indonesia segera memiliki universitas riset yang sesungguhnya. Sedangkan dari dunia bisnis, ia mengharapkan bersedia bekerjasama erat dengan universitas dan dunia internasional. Caranya? Dengan melakukan fokus pada beberapa jenis riset yang bisa langsung diterapkan.
Baru-baru ini Prof. Timmerman menjadi sponsor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk memberikan penghargaan bagi kimiawan medisinal Indonesia yang berprestasi. Penghargaan berupa The Henk Timmerman Award senilai 1.000 dollar AS itu diberikan hanya kepada seorang kimiawan medisinal yang menunjukkan riset terbaik di bidang kimia medisinal berupa paten dan publikasi ilmiah.
Di tahun 2007 ini Henk Timmerman Award dianugerahkan kepada Nunung Yuniarti (28 tahun) dosen Fakultas Farmasi UGM . Nunung dibawah bimbingan Prof. Supardjo berhasil menemukan sintesa Curcumin dengan nama Gamavuton-0. Temuan pada 2003 itu telah dipatenkan di AS pada tahun 2004. Bahkan, dalam penelitian selanjutnya ditemukan pula senyawa Kalium Dehidrozineton yang berkhasiat sebagai bahan anti peradangan, pereda rasa sakit dan anti mikroba. Temuan ini telah dipatenkan di Indonesia tahun 2005.
Prof. Timmerman datang ke Indonesia didampingi istri tercinta. Ketika ditanya bagaimana kesannya tentang Jakarta kedua pasangan suami istri itu mengaku senang tinggal di Jakarta. "Tetapi kami berdua lebih betah tinggal di Yogyakarta atau Bandung yang kondisi lalu lintasnya tidak seramai Jakarta.” Bagaimana pendapat Anda sebagai orang awam? (ASW)
Prof. dr. Henk Timmerman selama dua hari berturut-turut, Minggu dan Senin (22 dan 23 Juli 2007) , tampil menjadi bintang diskusi dan seminar di kalangan ABG Farmasi.
Yang pertama dalam dinner talk dengan tema “Memperat Kerja Sama Akademi, Bisnis dan Government (ABG) untuk Kemajuan Bangsa” di Hotel Four Season Jakarta dan yang kedua di acara Seminar Sehari GP Farmasi di Gedung Widya Graha LIPI.
Siapakah sesungguhnya dia? Prof. dr. Timmerman adalah pakar kimia medisinal terkemuka di Belanda yang pernah mengajar di Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda selama 15 tahun sejak 1980. Ia kini tinggal bersama istri tercinta di sebuah kota kecil tak jauh dari kota Leiden, Belanda.
Kimia medisinal atau farmakokimia adalah ilmu untuk merancang struktur senyawa obat, menyintesisnya, serta mengevaluasi aktivitasnya terhadap penyakit. Dengan ilmu ini struktur senyawa obat dapat dirancang dengan lebih akurat sehingga aktivitasnya diharapkan dapat lebih tinggi dan efek sampingnya dapat dikurangi.
Disiplin ilmu ini dinamakan kimia medisinal atau farmakokimia karena pada mulanya merupakan paduan ilmu kimia dan farmasi. Dalam 10 tahun terakhir kimia medisinal berkembang maju dengan diterapkannya program komputer pada tahap perancangan struktur senyawa obat.
"Program ini mempercepat penemuan struktur senyawa obat yang cocok bagi tubuh manusia serta menghemat biaya sintesis dan pengujian obat, sehingga penyediaan obat bagi masyarakat Indonesia dapat berlangsung lebih efisien," jelas Ketua LIPI Prof. Drs. Umar Anggara Jenie, Apt.
Pria kelahiran tahun 1937 itu dikenal kimiawan medisinal Indonesia setelah memberikan bantuan untuk riset kimia Curcumin (Kunyit) pada Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada. Berkat bantuannya kerjasama Fakultas Farmasi UGM dan dua institusi bisnis PT Indofarma dan PT Kalbe Farma berhasil mengembangkan turunan Curcumin berupa Pentagamavunon (PGV), Hexagamavunan (HGV) and Gamavuton (GVT) dan memperoleh hak paten di AS.
Prof. Timmerman sebagai pakar farmakokimia selalu menekankan agar kita tidak terlalu berharap terhadap munculnya obat yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Saat ini para ahli biologi molekuler yang melakukan berbagai riset genetika percaya bahwa dengan rekayasa genetika manusia akan mampu menyembuhkan segala penyakit. “Lebih dari 50 tahun lalu ketika kimia organik sintetis sedang naik daun, para ahli percaya akan adanya era berakhirnya segala macam penyakit. Kemudian tahun 1960-an ketika para ahli farmakologi baru saja menemukan berbagai reseptor mereka memperkirakan bahwa kanker dapat disembuhkan pada tahun 2000.”
Sekarang optmisme tumbuh lagi dengan keberhasilan manusia memetakan gen manusia dalam proyek Genome bahwa semua penyakit pada akhirnya bisa diatasi. Tetapi, imbuh Timmerman, mereka lupa bahwa pada 1960-an orang juga belum mengenal adanya HIV dan AIDS, temuan H2-antagonist, ACE-blockers dan proton pump inhibitor belum muncul dan kata-kata seperti COX, prostagladin dan protease inhibitor sama sekali belum pernah terdengar.
“Ambil contoh mengenai penyakit asma. Pada tahun 1960-an para ilmuwan berkesimpulan bahwa antihestamin yang merupakan penyebabnya. Tetapi kita sekarang tahu bahwa banyak faktor penyebab penyakit itu. Peradangan, misalnya, merupakan salah satu penyebab. Oleh karena itu, asma saya anggap sebagai “dirty desease” sehingga tidak bisa diobati dengan satu obat tunggal,” ujarnya.
Prof. Timmerman yang datang pertama kali ke Indonesia 25 tahun lalu melihat bahwa di Indonesia, riset belum menjadi budaya dan masih diabaikan kalangan ABG (Academic, Business, Government). Oleh karena itu, ia menyarankan agar Indonesia segera memiliki universitas riset yang sesungguhnya. Sedangkan dari dunia bisnis, ia mengharapkan bersedia bekerjasama erat dengan universitas dan dunia internasional. Caranya? Dengan melakukan fokus pada beberapa jenis riset yang bisa langsung diterapkan.
Baru-baru ini Prof. Timmerman menjadi sponsor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk memberikan penghargaan bagi kimiawan medisinal Indonesia yang berprestasi. Penghargaan berupa The Henk Timmerman Award senilai 1.000 dollar AS itu diberikan hanya kepada seorang kimiawan medisinal yang menunjukkan riset terbaik di bidang kimia medisinal berupa paten dan publikasi ilmiah.
Di tahun 2007 ini Henk Timmerman Award dianugerahkan kepada Nunung Yuniarti (28 tahun) dosen Fakultas Farmasi UGM . Nunung dibawah bimbingan Prof. Supardjo berhasil menemukan sintesa Curcumin dengan nama Gamavuton-0. Temuan pada 2003 itu telah dipatenkan di AS pada tahun 2004. Bahkan, dalam penelitian selanjutnya ditemukan pula senyawa Kalium Dehidrozineton yang berkhasiat sebagai bahan anti peradangan, pereda rasa sakit dan anti mikroba. Temuan ini telah dipatenkan di Indonesia tahun 2005.
Prof. Timmerman datang ke Indonesia didampingi istri tercinta. Ketika ditanya bagaimana kesannya tentang Jakarta kedua pasangan suami istri itu mengaku senang tinggal di Jakarta. "Tetapi kami berdua lebih betah tinggal di Yogyakarta atau Bandung yang kondisi lalu lintasnya tidak seramai Jakarta.” Bagaimana pendapat Anda sebagai orang awam? (ASW)
|