Google

Sunday, July 22, 2007

R&D Merupakan Ujung Tombak Kemajuan Sebuah Bangsa


Topik : Academic, Business, Government


Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
dan Kalbe menyelenggarakan “Dinner Talk” dengan tema “Memperat Kerja Sama Akademi, Bisnis dan Government (ABG) untuk Kemajuan Bangsa” di Presidential Suite Four Season Hotel pada Minggu malam, 22 Juli 2007. Acara ini hanya dihadiri tamu undangan terbatas setingkat CEO dan para akademisi terkemuka.

Dalam acara tersebut tampil tiga tokoh yang mewakili ABG (Academic, Business, Goverment) yakni Prof. Dr. Henk Timmerman dari Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda dengan presentasi “Some Observation on Performing Research” mewakili dunia akademis, Menristek Dr.Ir. Kusmayanto Kadiman dengan presentasi berjudul “Program Inovasi Nasional Melalui R&D” mewakili kalangan pemerintah dan dr. Boenjamin Setiawan, PhD mewakili dunia usaha dengan materi presentasi “ Inovasi Melalui R&D dengan mempererat kerjasama ABG.”

Dikemukakan Prof. Timmerman, ketika ia datang ke Indonesia 25 tahun lalu, apa yang dilihatnya di dunia universitas Indonesia praktis tidak ada riset. Yang ada hanya kuliah tetapi tanpa didukung riset. Hanya sedikit pelatihan praktis dengan infrastuktur dan fasilitas sangat minim. Tenaga penelitinya tidak memiliki ketrampilan dasar serta tidak memiliki kontak dengan dunia internasional. Semua itu akibat tidak adanya tradisi riset di Indonesia.

Bagaimana dengan kondisi saat ini? “Di tingkat universitas ada perubahan dari tingkat proyek ke program,” tutur Prof. Timmerman. Sayangnya, orang-orang terbaik di universitas seringkali dipromosikan untuk menduduki jabatan birokrasi penting di Jakarta. Sebagai akibatnya universitas kekurangan kader-kader terbaiknya di bidang riset. Sementara itu, di dunia usaha lebih tidak jelas lagi dalam hal inovasi, pembiayaan dan kerjasama dengan dunia akadenis.

Prof. Timmerman akhirnya memberikan saran agar Indonesia mulai mengembangkan universitas riset. Selanjutnya ia menyarankan agar merekrut orang-orang terbaik di bidang riset dan berikan mereka imbalan yang bagus. Mulai melakukan riset yang tujuannya dijabarkan dengan jelas dan memungkinkan untuk dikerjakan. Kemudian temukan perimbangan yang tepat antara riset ilmu dasar dan ilmu terapan. Danai proyek tersebut untuk jangka panjang dan lakukan hubungan dengan dunia internasional. Jangan lupa pula menerbitkan publikasi mengenai riset-riset yang telah dilakukan.

Sebagai gambaran Prof. Timmerman menyajikan data mengenai lulusan S3 yang berhasil dicetak berbagai Negara. AS pada 1983 mencetak 19.274 doktor dan pada 2003 menghasilkan 26.894. Eropa dari 25.000 (1983) menjadi 50.000 (2003). India dari 6.597 menjadi 13.733.Jepang dari 7.233 menjadi 16.314. Korsel dari 845 menjadi 6.690. Sedangkan, RRC kurang dari 125 pada 1983 menjadi lebih dari 8200 pada 2003.

Sedangkan, sarannya bagi dunia bisnis, diharapkan mereka mau bekerjasama erat dengan dunia akademis dan internasional. Lakukan fokus pada beberapa jenis riset saja yang bisa langsung diterapkan.

Pada kesempatan berikutnya Menristek Kusmayanto Kadiman mengemukakan berbagai peraturan pemerintah yang telah disusunnya. Misalnya, dulu perguruan tinggi yang bekerjasama dengan pihak swasta maka dananya berdasarkan UU APBN harus disetorkan kepada pemerintah karena pemerintah dianggap sudah membiayainya. Akibatnya, universitas tidak memiliki dana penelitian itu. Sekarang berdasarkan PP No. 20/2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan maka dana dari pihak swasta tersebut boleh dibelanjakan . Sedangkan PP No. 41/2006 mengatur kerjasama penelitian dengan pihak asing untuk memberdayakan para peneliti Indonesia agar tetap berhak atas paten dan publikasi ilmiah. Oleh karena itu, pihak asing yang melakukan penelitian di Indonesia diwajibkan memiliki local partner sekaligus equal partner.

Yang paling gres adalah PP No. 35/2007 tentang pengalokasian sebagian pendapatan badan usaha untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi. Intinya adalah pemberian insentif pajak dan kepabeanan bagi industri yang melakukan kegiatan R&D.

Tentang konsep ABG yang dirintisnya. “Saya sengaja menggunakan triple helix ABG agar terdengar lebih keren, “ ujar Kusmayanto,”Saya juga suka dengan semangat ABG (Anak Baru Gede) yang selalu kompak dan resources share (berbagi bersama) yang justru hilang saat seseorang sudah menjadi dewasa.”

Sementara itu, pada sesi terakhir dr. Boenjamin Setiawan, PhD dari Kalbe Farma menyampaikan presentasi berjudul “Inovasi Melalui R&D dengan Mempererat Kerjasama antara Dunia Akademis, Bisnis dan Government.”

Mengapa harus ada kerjasama di antara ABG? Menurut dr. Boen universitas merupakan tempat pelatihan paling penting untuk meningkatkan SDM. Sementara peningkatan SDM merupakan kunci untuk menghapus kemiskinan. Universitas adalah pemasok SDM dan industri adalah tempat menampung dan mengembangkan SDM selanjutnya. Universitas adalah tempat untuk mengembangkan R&D ilmu dasar dan terapan.

Bagaimana dengan peran pemerintah? Bagi dr. Boen pemerintah adalah katalisator untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk R&D yang inovatif di universitas maupun industri.

Oleh karena itu, di luar negeri untuk mempererat kerjasama ABG dibentuk University-Industry- Cooperative Research Organization. Untuk itu, industri harus membuka diri dengan memberikan kuliah tamu di universitas, memberikan beasiswa dan kesempatan R&D kepada para mahasiswa. Dana penelitian industri harus 50% dari semua biaya penelitian total (pemerintah 45%, industri 50% dan universitas 5%).

Indonesia bersama Filipina menempati urutan paling belakang dalam Business & Growth Competitive Rangking. Dalam peringkat daya saing dunia tahun 2004 Indonesia menempati rangking ke-60 jauh tertinggal dibandingkan Singapura (rangking 2 ), Malaysia (rangking 16), Thailand (29) dan Filipina (52).

Bagaimana dengan orang yang bekerja di R&D di tiap Negara? Pada tahun 2005, AS menempati peringkat pertama dengan 1. 328.413 orang, disusul RCC dengan 820.685 orang, Jepang (649.680 orang). Bagaimana dengan Indonesia? Agaknya ini merupakan tugas Menristek untuk menghitungnya tetapi dalam perkiraan dr. Boen ada sekitar 10.000 orang.

Sehubungan dengan PP No. 35/2007 yang diluncurkan Menristek baru-baru ini maka dr. Boen menyarankan agar selain insentif perpajakan, kepabeanan serta bantuan teknis R&D sebaiknya diberikan pula Double Deduction Tax Incentive seperti yang telah dilakukan Malaysia. “Ini akan lebih merangsang dunia industri untuk melakukan R&D,” ujar dr. Boen beralasan.

Asumsi yang dilakukan dr. Boen dengan kalkulasi apabila APBN setiap tahun naik 7%, dana riset naik 20 %-100 % per tahun, dana industri naik 40 %- 100 % setiap tahun dan GDP meningkat 7 % per tahun. Maka bila pada tahun 2007 dana APBN sebesar Rp 730 triliun, dana ristek Rp 1 trilun dan GDP 3500 maka dana R&D Indonesia saat ini hanya 0,042 % dari GDP. “Sangat kecil sekali, “ ungkapnya.

Bila asumsi dasarnya diterapkan pemerintah maka pada 2015 nilai APBN Indonesia Rp 1.370 triliun, dana ristek 20 % dan GDP mencapai 5940 maka pada saat itu dana R&D Indonesia bisa mencapai 1% dari GDP.

Menurut dr. Boen, R&D merupakan ujung tombak kemajuan sebuah bangsa. Bangsa Israel mengalokasikan 4,5 % dari GDP untuk R&D, Swedia 4% dan Finladia 6,6%. Hasilnya? “Kemajuan teknologi negara-negara itu berkembang pesat. Finladia yang berpenduduk sedikit sangat dikenal dengan pabrik Nokia yang memiliki teknologi canggih di bidang ponsel,” katanya.

Bangsa Asia pun diramalkan akan mencapai kemanjuan pesat di abad 21 ini karena melakukan investasi yang besar di bidang R&D. Mereka dalah RRC, Jepang, India, Korsel dan Taiwan. Bila tak ingin ketinggalan Indonesia pun harus segera mulai dari sekarang melakukan R&D melalui kerjasama ABG. Bagaimana pendapat Anda sebagai orang awam? (ASW)