Google

Friday, July 20, 2007

Menjadi Hebat Berkat LUCKY dan DJITU



Topik : Business


Jaringan toko obat AS, Walgreens, adalah sebuah perusahaan kuno yang selama empat dasawarsa menerapkan pasar umum dalam kinerjanya. Tahun 1975 perusahaan itu berhasil meningkatkan kinerja perusahaan dan mulai meraih sukses luar biasa. Dari tahun 1975 hingga tahun 2000, Walgreens telah mencatat kinerja di pasar saham hingga 15 kali lipat. Prestasinya mampu mengalahkan perusahaan teknologi Intel yang hanya mampu meningkat dua kali lipat, General Electric meningkat lima kali lipat dan Coca-Cola delapan kali lipat.

Penjelasan apakah yang bisa menerangkan perusahaan itu dapat naik mendadak dan terus-menerus, keluar dari keadaan yang sedang-sedang saja? Jim Collins memulai riset selama lima tahun untuk mencari tahu. Dari daftar 11 perusahaan yang ia teliti, kesimpulannya dituangkan dalam buku “Good to Great : Why Some Companies Make the Leap … And Others Don’t.” Keunggulan perusahaan diukur dalam jangka waktu sedikitnya 15 tahun. Perusahaan yang Jim teliti antara lain Fannie Mac (hipotek financial), Gillete (silet), Kimberley-Clark (popok bayi dan tissue kertas), Kroger (pasar swalayan berdiskon), Nucor (baja), Philip Morris (rokok, cokelat, kopi) dan Pitney Bowes (peralatan kantor).

Seperti halnya penelitian yang dilakukan Jim Collins lewat buku laris sebelumnya yakni “Built to Last” ia memberikan perusahaan-perusahaan itu pembanding yang sepadan pula. Walgreens, misalnya, memiliki pembanding jaringan toko obat Eckerd.

Walgreens tidak hanya lebih baik dan unggul tetapi juga hebat. Walgreens punya konsep sendiri tentang yang terbaik dan hebat yaitu toko obat yang berlokasi di tempat yang nyaman, dengan keuntungan tinggi untuk setiap kunjungan konsumennya.


Pelajaran yang ditekankan Jim Collins : “Jangan merasa puas karena semata-mata baik atau unggul. Tentukan apa yang diperlukan untuk menjadi hebat.”

Dua tokoh di industri farmasi yang bersahabat sejak sama-sama kuliah di bangku Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yakni dr. Kahar Tjandra (Mahakam) dan dr. Boenjamin Setiawan (Kalbe) seperti halnya Jim Collins ternyata juga tidak puas untuk sekadar menjadi baik atau unggul. Mereka selalu berupaya untuk menjadi hebat di bidang masing-masing.

Berdasarkan catatan harian Kompas, dr. Kahar Tjandra lahir di Padang, Sumatera Barat, 24 November 1929. Ayahnya, Hardi Sjarif, dan ibunya, Noviar Sjarif, membesarkannya di Sawahlunto. Ia bersekolah hingga kelas 7, sempat terhenti sebelum kemudian menamatkannya di sekolah Jepang. Karena tidak ada SMP di kota kecil itu, ia pun bertani, memelihara ayam, membuat tambak ikan, dan menjual hasilnya.

Tahun 1948, Tjandra diantarkan ayahnya ke Padang untuk melanjutkan sekolah SMP dan dititipkan di rumah neneknya. Di belakang rumah neneknya ada kebun sangat luas. Ada pohon pisang dan kelapa di sana. Ia menjual buah pisang dan daunnya, juga buah kelapa, dengan gerobak dorong. Kacang asin dan cuka juga dijualnya.

Ketika masuk SMA, Tjandra memilih sekolah di Jakarta. Ayahnya meminta dipindahkan tugas ke Jakarta untuk menemaninya. Waktu SMA Tjandra menjadi tukang catut skuter. Saya membeli tiga skuter. Uang mukanya cuma sepersepuluh. Enam bulan kemudian ketika pesanan datang harga langsung naik. Ia pun menjual suratnya. Dua skuter dijualnya, sedang yang satu diperolehnya secara gratis. Waktu kuliah di FKUI, Tjandra terus berdagang.

Sejak kecil cita-citanya menjadi arsitek. Namun, karena jurusan arsitektur ada di ITB Bandung, ia batal kuliah arsitek. Karena di Jakarta yang paling top dan bergengsi saat itu adalah kedokteran, maka masuklah Kahar Tjandra ke FKUI. Setelah lulus kedokteran melanjutkan spesialisasi laboratorium.

Dia sempat menjadi dokter Departemen Kesehatan, lalu masuk wajib militer dan menjadi dokter berpangkat letnan satu di Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD yang sekarang bernama Koppasus). Setelah itu, ia berkarya di RSCM Cipto Mangunkusumo selama 20 tahun sembari mengajar di FKUI.

Ia membuka Apotik Mahakam tahun 1967. Setelah pensiun, Tjandra menggeluti bisnis secara penuh-salah satu produknya yang terkenal adalah obat anti septik bermerek dagang Betadine. Kelompok Mahakam miliknya sangat dikenal.

Tjandra juga sangat peduli pada orang lain yang kekurangan. Ia rela membantu puluhan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-almamaternya-yang orangtuanya tidak mampu. Sejak tahun 1984, Kahar Tjandra sudah membantu membiayai kuliah "adik-adik kelasnya" itu. Lebih dari 30 dokter yang sudah berhasil dicetaknya lewat “program anak asuh “ itu. Dulu hal itu ia lakukan diam-diam, bahkan si penerima beasiswa tidak tahu siapa yang membantunya, tetapi kini bentuk hubungannya lebih terbuka. Ia juga memiliki bisnis hotel dan berbagai bisnis lainnya. Anak-anak asuhnya yang sudah jadi dokter ada yang bekerja di klinik yang melayani pegawai dan tamu hotelnya.

Dalam bincang-bincang beberapa minggu lalu dr. Kahar Tjandra mengungkapkan rahasia pribadinya menjadi sukses adalah berkat falsafah LUCKY yang diyakininya . Kata itu ia jabarkan dari LOVE TO GOD yakni seseorang itu harus memiliki kecintaan terhadap Tuhan dan taat kepada semua perintah-Nya. Kemudian, UNDERSTANDING yakni seseorang harus memiliki pemahaman terhadap bisnis yang dijalankannya. Menyusul selanjutnya, CONNECTION yaitu seseorang perlu memiliki hubungan yang baik dengan kalangan pemerintah dan relasi bisnis. Lalu, KNOWLEDGE yakni dalam menjalankan bisnis seseorang perlu memiliki pengetahuan yang mencukupi. Dan hasil akhir dari kesemuanya itu berupa YIELD yakni keuntungan dari bisnis yang dijalankannya.

Sementara bagi dr. Boenjamin Setiawan , rahasia agar perusahaan tetap bisa bertahan, unggul dan menjadi hebat adalah tergantung pada manusia (People) yang ada di dalam perusahaan itu. Manusia yang seperti apa? “ Manusia yang DJITU,” begitu dr. Boen selalu menandaskan.

Dalam penuturannya kepada Majalah SWA, dr. Boen menjelaskan tentang konsep atau falsafah DJITU yang diyakininya sebagai berikut :

DJITU merupakan akronim Disiplin dan Dedikasi, Jujur dan Jeli, Inovatif dan Inisiatif, Tulus dan Tanggung jawab, serta Ulet dan Unggul. Akronim DJITU disusun dr. Boen sekitar 3-4 tahun setelah Kalbe Farma berdiri. Penjabarannya:

Disiplin. “Bangsa Indonesia disiplinnya payah sekali. Kalau janji, sering tidak tepat waktu,” kata Boen. Dedikasi juga penting. “Kalau you mau melakukan sesuatu, mesti dengan passion, dengan senang hati.”

Kemudian, jujur. “Jujur di Indonesia juga masalah besar, karena korupsinya bukan main. Jadi, jujur itu penting,” ungkapnya. Selanjutnya, jeli melihat perubahan yang akan datang.

Inovatif dan inisiatif pun harus selalu ada. Lalu, tulus, yang berarti ikhlas alias jangan berpura-pura, dan mesti punya tanggung jawab. Berikutnya, ulet dan unggul. “Ini yang selalu saya tekankan.”

Selain itu, emotional intelligence dan cognitive intelligence sangat dibutuhkan pula. Inteligensi kognitif, berarti otaknya harus cerdas. Namun, pintar saja tidak cukup. Yang lebih penting, inteligensi emosionalnya. “Orang boleh pintar, tapi kalau tingkah lakunya bandit, berabe. Saya pikir, lebih baik emotional intelligence-nya yang diperbesar.”

Belakangan ketika dr. Boen bertemu dengan mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh, SH beliau diperkenalkan dengan Falsafah 3 H yakni Hongsui (memiliki tata ruang yang bagus), Hopeng (memiliki koneksi) dan Hoki (memiliki keberuntungan).

Menurut dr. Boen falsafah itu kiranya dapat dikembangkan menjadi 5 H dengan mencari dua kata lagi dalam bahasa Cina (Mandarin / Hokkian) yang memiliki suku kata awal “Ho”. Barangkali di antara pembaca ada yang memiliki koleksi kata seperti itu? Silakan untuk berbagi dengan memberikan komentar pada tulisan ini. Bagaimana pendapat Anda sebagai orang awam? (ASW)