Topic : Academic
Sesudah teknologi informasi-komunikasi (TIK) mendominasi seluruh sektor kehidupan, bioteknologi kini menjadi gelombang ekonomi baru yang bakal menjadi kekuatan ekonomi dunia. Meski pun demikian, tampaknya Indonesia masih kurang menyiapkan diri menyambut kencangnya arus bioteknologi yang melanda dunia.
Begitulah statement Anies Baswedan PhD, rektor Universitas Paramadina ketika membuka Talk Show Series Biotechnology, The Next Great Entrepreneurial Wave yang pertama itu mengambil topik ‘Molecular Genomics’, di Universitas Paramadina. Indonesia sebenarnya mempunyai ilmuwan bioteknologi kelas dunia, bahkan banyak pendapat yang menyatakan bahwa dalam bidang biotek sumber daya manusia kita lebih maju dibandingkan Malaysia & Singapura. Sudah saatnya Indonesia secara serius memfasilitasi mereka untuk berkembang, karena penguasaan bioteknologi tidak hanya mampu meningkatkan pamor Indonesia didunia internasional, tetapi juga mampu mendatangkan manfaat ekonomis yang nyata. ”Kalau tidak, akan terjadi brain drain.” katanya lagi. Universitas Paramadina sedang dalam proses mendirikan program studi dan pusat riset bioteknologi. ”Alhamdulillah banyak pihak menyatakan komitment penuh mendukung rencana ini, termasuk dari kalangan swasta yang ternyata sangat concern. ” Anis menambahkan.
Di antara kekurangan Indonesia dalam bioteknologi adalah minimnya jumlah sumber daya manusia karena pendidikan bioteknologi yang ada terbatas hanya pada jenjang S2 dan S3 – dan itu pun hanya pada beberapa universitas negeri. Kondisi ini bertolak belakang bahkan dengan negara tetangga Malaysia yang menyebar program studi bioteknologi sejak dari S1, seperti kondisi di negara maju lain. Bahkan, sayangnya lagi, beberapa program studi S1 yang ada pun hanya berbasis pada aplikasi biologi (MIPA), kedokteran dan sejenisnya. ”Belum ada yang berbasis teknik atau rekayasa seperti sudah lazim di Jepang, Eropa dan AS,” kata Dr. Arief B. Witarto, Ketua Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia (YMBI), yang menjadi pembawa acara talkshow itu.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Universitas Paramadina, bekerjasama dengan YMBI, dan menghadirkan ahli bioteknologi kelas dunia asal Indonesia seperti Dr. Muhammad Arief Budiman, peneliti senior di perusahaan genom AS, Orion Genomics, dan Dr. Wahyu Purbowasito ahli ilmu genome imprinting, yang kini menjadi Kepala Lab Teknologi Gen di Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT.
Diskusi juga menyimpulkan bahwa, dengan mengembangkan bioteknologi berbasis teknik/rekayasa, manfaat bioteknologi akan lebih terdorong pada penciptaan produk yang harusnya menjadi tiang dari munculnya kewirausahaan bioteknologi (bioenterpreneurship). Kalau tidak, maka bioteknologi hanya akan menjadi ilmu dan penelitian yang tidak tuntas untuk menelorkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat. Itu sebabnya, perguruan tinggi sangat perlu mengembangkan minat pada bidang bioteknologi agar mejadi salah satu elemen masyarakat yang mendorong kemajuan dan berguna bagi bangsa.
Bioteknologi adalah gelombang ekonomi baru setelah teknologi informasi-komunikasi atau TIK yang sekarang mendominasi seluruh sektor kehidupan, dan menjadi kekuatan ekonomi dunia (orang-orang terkaya di dunia adalah wirausaha pemilik perusahaan TIK, seperti Microsoft, Google, dsb). Buktinya, sudah muncul dalam dunia kedokteran dan pertanian. Untuk kedokteran misalnya, obat-obat berbasis protein -- seperti insulin untuk diabetes dan inteferon untuk hepatitis -- telah menumbuhkan perusahaan farmasi baru seperti Genentech, Amgen, yang dapat bersaing dengan perusahaan farmasi tua seperti Bayer, dsb. Persis seperti ketika Apple dan Microsoft muncul menyaingi IBM, dll.
Besarnya perusahan-perusahaan farmasi baru itu karena produk-produk obat bioteknologi dirasakan benar manfaatnya -- karena lebih ampuh dan kurang efek sampingnya -- dibandingkan obat generasi sebelumnya (yang berbasis sintetik kimia). Di bidang pertanian, misalnya, banyak perusahaan kimia kini berhasil menjaring keuntungan besar melalui pemanfaatan bioteknologi dengan cara mengkombinasi produk pestisida, herbisidanya dengan tanaman budidayanya yang direkayasa genetika agar cocok dengan produk kimianya itu. Berkat hasil produksi herbisida dan kedelai transgenik yang anti herbisida, umpamanya, perusahaan ’Monsanto’ bisa meraup penjualan yang tinggi karena kedelainya sangat dibutuhkan masyarakat Indonesia untuk membuat tempe, tahu dan kecap. Sebagian besar kedelai diimpor Indonesia dari AS -- yang kebanyakan adalah produk transgenik sehingga murah dan produktifitas tinggi.
Bioteknologi dan Indonesia
Bioteknologi adalah teknologi yang berbasis sumber daya hayati. Karena rekayasa genetik, rekayasa protein, semua bersumber dari makhluk hidup. Keragaman hayati Indonesia adalah modal besar untuk Indonesia berjaya dalam era bioteknologi berikutnya. Sebuah situasi yang berbeda dengan era TIK yang berbasis pada sumber daya manusia semata. Indonesia tidaklah terlambat dalam memulai bioteknologi sejak 1980-an, Pemerintah membuat kebijakan, membangun lembaga dan mengirimkan sumber daya manusia belajar ke luar negeri. Sayangnya, dibanding negara berkembang lain seperti Kuba, bioteknologi sebagai upaya kewirausahaan/bioenterpreneurship belum tumbuh subur; sehingga belum ada satu pun produk bioteknologi dalam negeri yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Sementara di Kuba, masyarakatnya sudah merasakan obat-obat bioteknologi dengan gratis, berkualitas, sampai pelayanan penyakit jantung dapat dilakukan di pusat-pusat layanan kesehatan (semacam Puskesmas di Indonesia) karena memproduksi produk-produk obat bioteknologi seperti streptokinase (untuk jantung), dan sebagainya.
Bioteknologi genom
DNA adalah dasar informasi biologi yang dimanfaatkan dalam bioteknologi. Keseluruhan DNA dari satu makhluk hidup disebut genom. Oleh karena itu talkshow seri pertama ini membahas bioteknologi genom/molecular genomics. Genom dipelajari dengan membaca urutan DNA penyusunnya. Saat ini, informasi genom manusia, bakteri, hewan, tanaman, sudah mulai selesai dibaca dan tersedia dengan gratis untuk dapat diakses melalui internet. Bagaimana kita mampu memanfaatkannya itu?
Sumber daya manusia bioteknologi Indonesia yang menjadi nara sumber talkshow ini adalah salah satu yang bekerja di bidang ini di AS. Dr. Muhammad Arief Budiman, menyelesaikan pendidikan S1, S2, S3 di AS pada bidang genom dan sekarang bekerja sebagai peneliti senior di perusahaan genom AS, Orion Genomics. Informasi genom dari tumbuhan yang dibaca, misalnya kelapa sawit, bisa memberikan informasi bagaimana meningkatkan produktivitas minyak sawit dengan cara merekayasa gen-gen yang penting dalam produksinya. Sebagai contoh kegiatan yang dilakukannya dalam aplikasi bioteknologi genom untuk pertanian.
Untuk kedokteran , misalnya, saat ini telah dipetakan gen-gen penyebab kanker payudara pada wanita, dan kanker prostat pada pria. Dengan pengetahuan itu, akan diproduksi perangkat diagnostik sehingga dapat mencegah munculnya kanker sebelum tumbuh meluas. Lebih dari itu, ia juga dapat menjadi cara mengobati penyakit-penyakit kanker dengan merancang obat khusus terhadap gen-gen yang aktif ketika menjadi kanker. Manfaat bioteknologi genom tidak hanya pada aplikasi bisnisnya, melainkan juga untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia seperti, siapa nenek moyang kita pertama, dari mana berasal, dsb. Proyek Genographic yang digelar oleh Yayasan National Geographics, AS dan IBM, umpamana, dilaksanakan untuk ”membaca” bagian genom tertentu dari suku-suku di seluruh dunia demi mencari tapak jejak asal usul manusia yang sampai pada satu titik, ibu pertama manusia (homo sapiens) di benua Afrika yang menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Nara sumber berikutnya, Dr. Wahyu Purbowasito menyelesaikan S1, S2, S3 di Jepang dan saat S3 mempelajari ilmu genome imprinting. Informasi dalam DNA ternyata dipadu dengan informasi dari lingkungan yang muncul sebagai respon dan tercatat di buku genom kita. Genome imprinting mempelajari bagaimana hal itu terjadi dan melihat korelasinya pada beberapa penyakit. Di Indonesia, Dr. Wahyu bergabung dengan Balai Pengkajian Bioteknologi dan menjadi Kepala Lab Teknologi Gen. Walaupun tidak lagi meneruskan studi serupa, tapi Lab ini tetap bergerak memanfaatkan teknologi genom yang mungkin berkembangan lebih jauh nanti sesuai kebutuhan.
Bioteknologi dan Paramadina
Kekurangan Indonesia yang lain dalam bioteknologi adalah kurangnya kuantitas sumber daya manusia, karena pendidikan bioteknologi yang ada terbatas jenjang S2, S3 dan hanya pada beberapa universitas negeri. Ini berbeda dengan negara tetangga Malaysia yang menyebar program studi bioteknologi sejak dari S1, seperti kondisi di negara maju lain.
Beberapa program studi S1 yang ada berbasis pada aplikasi biologi (MIPA), kedokteran dan sejenisnya. Belum ada yang berbasis teknik/rekayasa seperti sudah lazim di Jepang, Eropa dan AS. Dengan mengembangan bioteknologi berbasis teknik/rekayasa, manfaat bioteknologi akan lebih terdorong pada penciptaan produk yang harusnya menjadi tiang dari munculnya kewirausahaan bioteknologi (bioenterpreneurship). Kalau tidak, maka bioteknologi hanya menjadi ilmu dan penelitian yang tidak tuntas dalam upaya menghasilkan produk yang bermanfaat. Dengan semangat itu, Universitas Paramadina, mengembangkan minat pada bidang bioteknologi untuk mejadi salah satu perguruan tinggi yang mendorong kemajuan dan pemanfaatan bioteknologi di Tanah Air.
Monday, June 16, 2008
Indonesia Kurang Siap Sambut Bioteknologi Sebagai ’Gelombang Ekonomi Baru’
Subscribe to:
Comment Feed (RSS)
|